Part 4 (Ketika Hidayah Menyapa)

1881 Words
Part 4 (Ketika Hidayah Menyapa) Lelah dan sakit yang masih terasa di sekujur tubuh membuat Bara terlelap setelah mandi. Ia terbangun mana kala suara merdu Pak Amin terdengar begitu nyaring dan sendu memanggil seluruh umat Muslim di sekitarnya. Sebuah panggilan yang selama ini selalu ia abaikan. Panggilan untuk menunaikan kewajiban kepada Sang Pencipta. Azan. Hanya beberapa kali saja Bara mendengar panggilan azan, ketika Bandot membawanya keluar untuk bertemu seseorang. Pemuda itu berdiri di samping jendela masjid dengan kaca yang sangat bersih. Setiap hari Pak Amin selalu membersihkan seluruh bagian masjid dengan baik. Kedua manik hitam pemuda itu menatap dari balik kaca bening sesosok muazin yang bersuara merdu. Mendadak ada sesuatu yang terasa memukul-mukul dadanya. Sakit, tetapi tak berdarah. "Asyhadu allaa ilaaha illallah ...." Kalimat itu membuat hati Bara yang selama ini kering, mendadak diterpa hujan deras. Pemuda tampan yang 'tersesat' itu merasakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Sesuatu yang besar, yang selama ini tak pernah ia sadari. "Hayya alash sholah ...." Lagi, kalimat azan selanjutnya membuat hati Bara bergetar hebat. Bulu kuduknya meremang. Tubuhnya yang tampak sedikit kurus mulai bergetar. Tanpa sadar ia mengepal erat kedua tangannya. Sepasang matanya terasa panas. Tetes demi tetes air mata itu mulai menggenang di pelupuknya. "Hayya alal falah ...." Kali ini kedua kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang terus bergetar. Akhirnya, pemuda malang itu pun luruh ke lantai, menopang tubuh dengan kedua lututnya. Bendungan air mata yang ia tahan sekuatnya kini pecah. Mengalirkan air bening yang deras di kedua pipi. Ia terisak dengan bahu berguncang. Dirinya benar-benar merasa begitu hina, begitu kotor, dan dipenuhi oleh dosa. "Allahu akbar, Allahu akbar! Laa ilaha illallah ...." Kalimat terakhir dari panggilan azan yang diserukan oleh Pak Amin membuatnya bersimpuh. Ia bersujud, merasakan dinginnya lantai masjid di keningnya. Ia tumpahkan tangis yang deras tanpa tertahan. Tangis yang masih belum Bara sadari apa sebabnya. Hanya sebuah rasa yang begitu besar, yang membuat hati pemuda itu merindu teramat sangat pada Tuhannya. Beberapa orang mulai berdatangan. Mereka menatap heran pada lelaki asing yang bersujud seraya menangis di serambi masjid. Beberapa di antaranya saling berbisik. Suara-suara itu pun membuat Pak Amin yang mendengarnya segera bertanya pada salah satu jamaah yang sudah berada di barisan saf salat. "Ada apa? Kok ramai sekali?" "Ada orang nangis, Pak, di luar." "Siapa?" "Tidak tahu." Pak Amin langsung bisa menebak orang yang dimaksud. Sebab, sangat jarang ada orang luar penduduk yang salat di masjid mereka. Dikarenakan masjid itu berada di tengah-tengah lingkungan warga, bukan di tepi jalan raya. Dan satu-satunya orang asing yang kini ada di masjid An Nur adalah Bara, pemuda yang ia beri tempat tinggal bersamanya. Lelaki berusia enam puluhan itu pun segera keluar dan menghampiri Bara yang masih bersujud di tempatnya. Pemuda itu tampak tak menyadari akan kehadiran jamaah yang berbisik-bisik tentangnya. "Nak, kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Amin lembut sambil memegang pundak Bara. "Saya ... saya ...." Bara tak mampu meneruskan kata-kata. Lidahnya keluh. Hanya air mata yang terus keluar dari kelopak matanya. “Bapak-Bapak, masuklah,” pinta Pak Amin kepada para jamaah. Warga yang hendak salat pun menuruti dan segera berjalan ke dalam masjid. "Ada apa, Nak? Katakanlah ...." Dengan lembut Pak Amin bertanya setelah para jamaah tidak ada lagi di serambi. Pemuda itu mengangkat kepala, lalu duduk di hadapan Pak Amin. Sorot mata tajamnya tak terlihat lagi. Hanya sorot kerinduan dan penyesalan yang terlihat di wajah tampannya yang penuh deraian air mata. "Saya takut, Pak. Saya berdosa. Saya rindu pada Tuhan ...." Pemuda itu tergugu. Mengingat setiap film yang berputar dalam kehidupannya. Pak Amin mengelus punggung Bara. "Bertobatlah. Sesungguhnya Allah maha penerima tobat." "Apa Allah akan mengampuni saya?" tanyanya dengan suara yang terdengar parau. "Allah mengampuni siapa saja yang memohon ampun kepadanya, Nak Bara." Pemuda itu semakin terisak, mengingat betapa kelam hidup yang ia jalani sehingga tak mengenal Tuhannya. Beberapa jamaah memperhatikan pemuda itu dari dalam masjid melalui kaca jendela yang bening dan bersih, dengan tatapan iba sekaligus kagum. Bisik-bisik syukur pun keluar dari lisan mereka. "Bangunlah. Wudu, kita salat berjamaah," pinta Pak Amin. "Sa-saya tidak tahu caranya." "Mari ikut saya." Lelaki paruh baya itu berdiri, lalu melangkahkan kaki menuju tempat wudu pria. Bara mengekor di belakangnya. "Bacalah basmalah dalam hati jika kamu wudu di dalam kamar mandi," kata Pak Amin. Bara mengangguk. "Ikuti gerakan saya." Pak Amin membasuh kedua tangan bergantian. Bara mengikuti tiap gerakan yang dicontohkan lelaki berusia lebih dari setengah abad itu. Berkumur, lalu membersihkan hidung. Kesejukan mulai mengalir di tubuh Bara kala ia membasuh wajah. Rasa sejuk yang belum pernah singgah pun ia rasakan kini. Sebuah ketenangan yang tak pernah ia dapatkan, sekarang hadir kala tangannya membasuh kepala hingga tengkuk. Semua perasaan nyaman itu terasa asing dalam kehidupannya. Terakhir, ia membasuh dan menggosok sela-sela jari kaki seperti yang dilakukan oleh Pak Amin. "Insyaa Allah, nanti saya akan ajarkan kamu pelan-pelan bagaimana wudu yang sempurna, juga doa setelahnya," ucap Pak Amin seraya berjalan ke dalam masjid. "Terima kasih, Pak," jawab Bara di belakangnya. "Sekarang kita salat dulu, kamu ikuti saja gerakannya. Niatkan dalam hati untuk salat karena Allah." Pemuda itu mengangguk. Berdiri di belakang Pak Amin yang berada di saf pertama. Para jamaah yang sedari tadi memperhatikan pemuda asing itu, kini mulai merapatkan saf hingga tak ada celah. Para jamaah di sana sudah paham bahwa celah dalam saf salat akan diisi oleh setan. "Allahu akbar." Imam mulai bertakbir setelah seorang jamaah melantunkan iqamah. Angin lembut seolah-olah menerpa wajah Bara, membuatnya merasa merinding di sekujur tubuh. Sesuatu yang besar mendorong pasokan air matanya keluar lagi. Ia merasa begitu kecil di hadapan Sang Pencipta. Hatinya bergetar hebat. Ingin ia berlari kencang menuju cahaya yang mulai tampak di hadapan. Air mata itu tumpah begitu saja kala wajahnya menyentuh sajadah. Ia bersujud, merendahkan diri pada Illahi. Hatinya mulai merasakan sentuhan cinta Rabbul Izzati. Sujud, tak pernah sekali pun ia melakukannya. Ia merasa begitu pongah, merasa diri bukanlah seorang hamba. "Assalamualaikum warahmatullah ...." Bara segera berlari ke kamarnya begitu imam selesai mengucapkan salam. Ia tumpahkan segala sesak yang selama ini bersarang di dalam d**a. Bara bersimpuh di atas lantai dan mulai menangisi dosa-dosa yang luasnya tak terhingga. *** Suara ketukan di pintu kayu kamar yang menjadi rumah barunya itu menyadarkan Bara dari lamunan. Ia pun beranjak untuk membukanya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Pak Amin. Lelaki itu khawatir pada Bara, yang sudah satu jam lebih mengurung diri di dalam kamar, sejak ia selesai salat Asar tadi. "Saya baik-baik saja, Pak." Pemuda itu pun melangkah keluar dan duduk di sudut teras masjid. Pak Amin menyodorkan sebuah kantong plastik berisi bungkusan. "Makanlah. Saya yakin kamu belum makan dari pagi." Bara menatap sejenak bungkusan itu, lalu melemparkan pandangan jauh ke depan. "Saya tidak lapar, Pak," ucapnya pelan. Kedua matanya terlihat sayu. Wajah sendu itu memperlihatkan pandangan yang kosong. "Nak Bara," Pak Amin menepuk pundaknya, "makanlah meski tidak lapar." Pria yang menjadikan masjid sebagai rumahnya itu meletakkan bungkusan di sebelah Bara. "Bapak ingin menceritakan sebuah kisah padamu. Jika sudah selesai makan, masuklah ke dalam." Pak Amin melangkah memasuki masjid. Meninggalkan Bara yang termangu menatap punggung lelaki yang begitu peduli padanya. Ia mengambil sebuah bungkusan kertas nasi dari dalam kantong plastik. Nasi berisi lauk pauk dari sebuah rumah makan Minang yang tampak lezat itu tak mampu membuat nafsu makannya muncul. Kehidupannya yang kelam, dan masih menjadi buronan Bandot, membuat rasa laparnya seolah-olah menghilang. Namun, perutnya harus tetap diisi agar ia punya tenaga untuk melakukan sesuatu. "Pak Amin, saya sudah selesai makan." Bara berdiri di depan pintu masjid. Memberitahu Pak Amin yang sedang membaca sebuah kitab tuntunan hidup umat Muslim, Alquran. "Masuklah." Bara pun melangkah menghampiri lelaki itu, lalu duduk di hadapan sesosok orang tua yang begitu lembut memperlakukannya seperti anak sendiri. Berbeda jauh dengan Bandot yang selalu berkata kasar. Bahkan tak jarang pukulan demi pukulan ia terima dari lelaki bengis itu. "Kamu pernah mendengar kisah Umar bin Khattab?" tanya Pak Amin setelah meletakkan kembali mushaf ke dalam lemari. "Saya tidak tahu, Pak. Tidak pernah mendengarnya. Siapa dia, Pak?" tanya Bara penasaran. Pak Amin mulai bercerita. "Dulu, di zaman Rasulullah, ada seorang lelaki yang sangat ditakuti oleh masyarakat di daerahnya. Beliau orang yang sangat kuat secara fisik. Tidak takut pada apa pun." Bara mendengarkan dengan saksama. "Umar sangat hebat, tapi sayang ...." Pak Amin menjeda kalimatnya sambil menggeleng-geleng pelan. "Tapi kenapa, Pak?" "Dia sangat membenci Islam. Membenci Nabi Muhammad," lanjut Pak Amin. "Beliau tak segan membunuh siapa saja yang menentangnya. Semua orang takut melihatnya." Pak Amin berhenti sejenak. Memperhatikan respons dari raut wajah pemuda di hadapannya. Bara terlihat antusias mendengar kisah yang akan dilanjutkan Pak Amin. Tampak dari bibirnya yang sedikit membentuk huruf O dan kedua mata yang menyipit. Kalimat terakhir Pak Amin tentang Umar mengingatkannya pada Bandot yang juga tak ada belas kasih untuk membunuh, serta ditakuti oleh pengikutnya. "Bahkan, ia juga membunuh anak perempuannya demi mengikuti ajaran nenek moyang." Kelopak mata Bara melebar mendengar kalimat itu. Ia mengira hal tersebut hanya terjadi di zaman modern seperti ini saja. Di mana, semakin canggih zaman, semakin banyak manusia yang berperilaku seperti binatang. "Lalu, Pak?" Ia tak sabar mendengar kelanjutannya. "Umar bin Khattab, beliau sangat benci dengan Islam, juga orang yang membawa ajaran tersebut. Rasulullah, adalah target utamanya untuk dibunuh. Dan saat beliau pergi menuju rumah Rasulullah, ia mendengar adiknya sedang membaca firman Allah, Alquran." Pak Amin berhenti sejenak sembari menarik napas dan memperhatikan ekspresi pemuda berhidung mancung yang masih tampak antusias mendengar kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. "Lalu, apa yang terjadi, Pak?" "Hidayah Allah menyapa. Hatinya menerima semua kebenaran yang ada di dalam Alquran." "Jadi, Umar tidak jadi membunuh Rasulullah?" "Tidak. Beliau kemudian mendatangi Rasulullah untuk masuk Islam. Mengucap dua kalimat syahadat. Bahkan, beliau menjadi salah satu sahabat utama di sisi Rasulullah. Khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash Shidiq." Bara mengangguk. Ada desir-desir yang menjalar di seluruh nadinya mendengar kisah Umar bin Khattab yang pada akhirnya memeluk Islam dan menjadi khalifah kedua. "Apakah Allah akan mengampuni dosa saya seperti Allah mengampuni Umar?" Pemuda itu menunduk. Kedua matanya menyusuri lekuk-lekuk kubah di sajadah berwarna hijau yang terbentang di dalam masjid An Nur. "Allah Maha Pengampun. Allah menyukai hamba-Nya yang bertobat, seberat apa pun dosanya." Gerimis menyelimuti kedua mata pemuda itu. Bara menginginkan sesuatu dari Allah. Sebuah ampunan dan rahmat dari Zat yang telah menciptakannya. *** Suara anak-anak ramai terdengar di pekarangan masjid. Mereka berpakaian rapi dan sopan. Anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu mengenakan pakaian muslim dengan corak yang beragam. Gadis-gadis kecil menutup rambut dengan jilbab yang berwarna-warni. Masing-masing membawa buku yang tak pernah dilihat oleh Bara. "Pak, kenapa sore ini ramai anak-anak?" tanya Bara yang membantu Pak Amin membersihkan masjid seusai salat Asar. "Mereka mau ngaji," jawab Pak Amin. "Ngaji?" "Iya. Kamu ... bisa ngaji?" tanya orang tua itu pelan. Bara menggeleng lemah. Mengaji? Mendengar kata itu saja ia sangat jarang. Bahkan, satu huruf hijaiyah pun ia tidak tahu. "Jangan sedih. Insyaa Allah Bapak akan mengajarimu." "Terima kasih, Pak." "Kak Rania datang!" Anak-anak itu berteriak dan menghambur ke arah seorang gadis yang sedang berjalan di pekarangan masjid. Gadis bermata indah yang senantiasa menutupi wajahnya dengan sehelai kain bernama cadar. "Assalamualaikum," salam Rania pada anak-anak. Sepasang manik hitamnya bertemu pandang dengan pria yang pagi tadi mengancamnya menggunakan pisau lipat. Ia lalu mengalihkan pandangan pada anak-anak yang mendekatinya. Ada sebuah debaran dalam d**a Bara ketika pandangan mereka bertemu. Mata indah itu mampu menghipnotisnya untuk menatap lagi dan lagi. Sebuah tatapan yang memberikan keteduhan di hatinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD