Seorang remaja putra yang baru lulus SMA berdiri menatap dirinya sendiri di depan cermin besar di dalam kamarnya. Rambut sudah ditata dengan gel rambut khusus pria, pakaian sudah rapi, minyak wangi sudah disemprot. Sekarang, ia siap mengikuti pelajaran pertamanya sebagai seorang mahasiswa baru di sebuah universitas swasta di Jakarta.
Dengan penuh semangat, pemuda berkulit putih itu mengambil tas ransel, yang berisi buku-buku yang sudah ia siapkan semalam untuk mengikuti mata kuliah yang akan dosennya ajarkan hari ini. Ia lantas bergegas turun dari kamarnya menuju ruang makan untuk menikmati sarapan bersama keluarga tercinta.
Di kamar lain di rumah itu, seorang siswi masih mengenakan jilbab putihnya di depan cermin. Ia tak kalah semangat dengan sang kakak yang memulai hari pertamanya sebagai mahasiswa, siswi berseragam putih abu-abu ini juga dengan penuh semangat menyambut hari pertamanya sekolah sebagai murid SMA.
Ia mengambil tas dari lemari di dalam kamar yang sudah berisi buku-buku pelajaran yang ia susun semalam. Lalu, bergegas turun dari kamarnya menuju ruang makan untuk sarapan bersama kedua orang tua dan sang kakak. Makan bersama, sebuah kebersamaan yang selalu dijalani dalam keluarga itu.
Di dapur, sang ibu yang sudah menyiapkan sarapan bersama sang suami, duduk menunggu kedua anaknya. Tak lama, keduanya datang hampir bersamaan.
Bara dan Rania tersenyum menyambut kedua anaknya. Adnan dan Zahra.
“Semuanya tampak lebih bersemangat pagi ini,” ucap Rania sambil menyendok nasi goreng ke piring sang suami.
“Alhamdulillah, Umi. Setiap hari harus disambut dengan semangat. Apalagi ini hari pertama di sekolah baru,” sahut Zahra penuh semangat.
“Bagus! Harus begitu!” imbuh Bara.
“Semangat!” timpal Adnan.
Bara dan Rania memandang kedua anaknya dengan penuh cinta. Mereka yang dulu masih bayi, sekarang tak terasa sudah beranjak dewasa.
Bara mengalihkan pandangan kepada sang istri dan menatapnya lembut.
“Anak-anak kita sudah besar, ya, Sayang,” ucapnya. Rania mengangguk dan tersenyum. Melihat dua anak yang tumbuh dewasa saja sudah bisa menciptakan kebahagiaan di keluarga kecil mereka.
Sementara, di tempat lain seorang gadis duduk dengan wajah cemberut di meja makan sambil menatap sandwich dan segelas s**u di hadapannya. Meja makan besar dengan 6 kursi di dalam rumah mewah itu hanya terisi satu kursi saja untuknya. Sang ayah sangat jarang berada di rumah. Sedangkan ibunya telah lama meninggal dunia, dan ia hanyalah anak satu-satu di keluarga itu.
“Papa jam berapa berangkat, Bi?” tanya sang gadis bernama Laura kepada asisten rumah tangga yang berdiri di sampingnya. Wanita paruh baya itu yang menyiapkan semua kebutuhan Laura selama bertahun-tahun.
“Jam 5 Subuh, Non.”
“Tidak bilang apa-apa?”
“Tidak ada. Bapak langsung pergi begitu saja. Kelihatannya sedang terburu-buru.”
Laura menghela napas untuk melepas kekesalannya. Hanya bisa dihitung jari ia melihat sang ayah di rumah. Namun, harapannya agar sang ayah bisa menemaninya menikmati makanan selalu saja pupus. Padahal, hari ini adalah hari pertamanya menyambut hari sebagai seorang mahasiswi. Ingin sekali ia mendengar sebuah kalimat dari sang ayah yang bisa menambah semangatnya. Namun, harapan itu juga harus ia buang jauh-jauh.
“Duduklah, Bi. Aku tidak mau makan sendirian,” pintanya kepada sang asisten rumah tangga.
Wanita paruh baya itu pun menurut. Ia turut sarapan menemani anak majikannya seperti biasa. Ada rasa iba dan sedih di mata tua wanita itu melihat Laura yang terus menunggu untuk bisa makan bersama keluarga satu-satunya, sang ayah. Gadis itu tak pernah kekurangan materi, tetapi kekurangan cinta, kasih sayang, dan perhatian yang seharusnya ia dapatkan dari sebuah keluarga.
***
“Sekolah yang rajin, ya, Adikku,” ucap Adnan sambil mengusap kepala Zahra.
“Iya, Kakakku. Tapi jangan diacak begini donk hijabnya,” protes Zahra. Sebab, usapan tangan Adnan di kepalanya membuat kerudung remaja itu menjadi kendur dan tertarik ke depan. Adnan memang suka sekali mengusili adik satu-satunya itu.
Adnan tertawa kecil, lalu mengucapkan salam sebelum kembali melajukan motornya menuju kampus.
Di depan gedung jurusannya, motor yang dikendarai Adnan nyaris saja terjatuh akibat sebuah mobil sedan berwarna merah yang tiba-tiba menyalip dan berhenti di depannya.
Adnan mengucap istigfar sambil terus memperhatikan mobil tersebut. Ia hendak menegur orang yang keluar dari mobil itu.
Laura pun turun dari mobil dengan pakaian yang modis. Ia bahkan lebih cocok terlihat sebagai seorang model dibandingkan mahasiswa. Celana jeans ketat dipadukan dengan kemeja putih yang membentuk lekuk tubuhnya, rambut panjang tergerai indah, juga kacamata hitam yang masih bertengger manis menutupi sepasang mata indahnya.
Gadis itu menatap Adnan yang melotot ke arahnya, lalu membuka kacamata.
“Hey, whats wrong?” ucapnya dengan tanpa rasa bersalah. Mobil yang ia naiki pun melaju menuju tempat parkir untuk roda empat.
Adnan semakin geram melihat sikap wanita di hadapannya.
“Kalau berhenti itu lihat-lihat. Jangan sampai mencelakai orang lain!” ujar Adnan geram.
“Oh, maaf. Kamu celaka? Tapi, bukan aku yang bawa mobil, sopirku. Aku hanya memintanya untuk berhenti di sini,” balas gadis itu dengan gaya centil dan masih menunjukkan keangkuhannya.
“Mungkin kamu butuh sopir baru!” gumam Adnan.
“Apa? Kamu mau jadi sopirku?” ejek gadis itu sambil menatap Adnan dari ujung rambut hingga kaki. “Tapi maaf, kamu sepertinya lebih cocok jadi tukang kebun di rumahku,” cibirnya dan berlalu menghampiri sang sopir yang berlari ke arahnya sambil menyodorkan kunci.
Adnan mencebik kesal.
“Saya langsung pulang, ya, Non. Semoga kuliahnya lancar,” ucap lelaki paruh baya yang mengendarai mobil Laura. Lalu menghampiri Adnan.
“Maaf, Mas. Saya tadi tidak melihat ada motor Masnya di samping. Mas tidak apa-apa?” tanya lelaki itu dengan wajah bersalah, sangat berbeda dengan majikannya.
Adnan luluh melihat sikap orang tua di depannya.
“Oh, iya, Pak. Tidak apa-apa. Lain kali lebih hati-hati,” ucap Adnan dengan sopan.
Sopir itu mengangguk. “Kalau begitu saya permisi dulu, assalamualaikum.
“Waalaikumussalam.”
Orang tua itu berjalan meninggalkan Adnan dan Laura yang kini saling melihat dengan tatapan tidak senang. Laura pun berjalan dengan angkuh melewati Adnan.
“Mungkin kamu perlu belajar tata krama dari sopirmu,” ujar Adnan ketika Laura melintas di depannya.
Laura spontan menoleh padanya dengan tatapan tajam.
“Mungkin seharusnya aku tabrak saja motormu sampai remuk!” geram Laura, lalu berjalan ke dalam gedungnya.
Adnan menghela napas panjang seraya mengucap istigfar untuk membuang rasa kesal di hatinya. Ia menatap gedung yang sama yang akan ia datangi.
“Satu fakultas? Semoga tidak sering bertemu gadis angkuh itu,” gumamnya, lalu menepikan motornya di tempat parkir khusus roda dua yang berada tepat di depan gedung.