Part. 24 (Mencoba Melupakan)
"Jika kehadiranku membahayakanmu, aku akan pergi. Meninggalkan separuh hati yang telah kau curi." ~Bara~
***
Bara semakin menyadari posisinya, menyadari siapa dirinya untuk mengharap wanita bermata indah nan baik agamanya, keluarganya, dan status sosial yang teramat jauh dengannya. Rania … mungkin ini saatnya Bara untuk melepaskan seluruh perasaan yang mengikat hatinya untuk gadis itu.
Dalam sujud di salat malamnya yang telah diajarkan Pak Amin, Bara mencurahkan seluruh perasaannya kepada Sang Khaliq. Ia pasrahkan segalanya, takdir kehidupannya, termasuk jodoh kepada-Nya. Ia lepaskan dengan ikhlas segala perasaan yang mengikat hatinya dengan Rania selama ini.
“Ya Allah, bimbinglah aku agar menjadi hamba yang ikhlas menyembah-Mu, yang tulus bertobat karena-Mu, yang hanya mengharap rida-Mu. Kupasrahkan hidup dan matiku pada-Mu, takdirku, jodohku. Jika perasaan dalam hatiku ini membuatku tidak ikhlas beribadah, membuat seseorang tersakiti, maka hilangkanlah, Wahai Rabb-ku. Dan lindungilah Rania di mana pun berada. Berikanlah ia jodoh yang terbaik, yang sepadan dengannya, dan bisa bersamanya di dunia dan akhirat.”
***
Hari demi hari terus berlalu. Bara semakin mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan belajar bersama Pak Amin setiap malam. Perlahan, ia mulai bisa mengendalikan perasaannya terhadap Rania, meski sebersit Rindu terkadang masih menghampiri.
Bara kembali bekerja seperti sebelumnya, penuh semangat dan keuletan. Sesekali ia tertawa mendengar celotehan pekerja lainnya di sela-sela pekerjaan mereka.
“Makin lama, kulit Bara akan sama dengan kita, hitam gosong. Tak seperti awal dia kerja bangunan,” canda salah seorang dari mereka. Bara tersenyum lebar mendengarnya, diikuti tawa pekerja lain yang mendengar.
“Biar makin gagah, ya, Bara! Laki-laki berkulit gelap itu macho!” timpal seorang pemuda yang usianya tak jauh berbeda dengan Bara.
Semuanya tertawa di bawah terik matahari yang begitu menyengat. Peluh keringat membanjiri kaus lusuh yang dikenakan para pekerja proyek perumahan itu—yang memang mereka khususkan untuk bekerja. Sebagian orang bahkan sudah melepaskan bajunya dan membiarkan kulit mereka langsung tersengat sinar matahari.
Bara menatap kulit tangannya yang memang tampak lebih gelap dari sebelum ia bekerja sebagai kuli bangunan. Baru dua mingguan ia bekerja di sana, sinar matahari yang langsung menembus kulitnya itu dengan cepat mengubah warna. Namun, ia tak mempermasalahkan hal itu. Bara justru tampak senang dengan perubahan kulitnya yang kini menjadi sedikit gelap. Ia begitu menikmati pekerjaannya saat ini. Baginya, bekerja apa pun itu, selama itu baik dan halal, semuanya sama, terlebih di hadapan Allah. Dari ilmu yang diajarkan Pak Amin, Bara selalu mengingat dan mengimani bahwa Allah tidak memandang rupa maupun harta. Namun, Allah memandang ketakwaan dari hamba-hamba-Nya.
Mengingat hal itu, mendadak membuat Bara menjadi teringat kembali akan satu sosok seorang gadis anggun bermata indah, yang sudah berhari-hari ini mulai ia hilangkan dari hatinya. Namun kini, gadis bernama Rania itu kembali berputar di kepalanya.
‘Jika Allah tak memandang hamba-Nya dari rupa dan harta, apakah seorang muslimah taat seperti Rania juga tidak mempermasalahkan hal itu? Apakah aku memiliki kesempatan yang sama untuk memohon kepada Allah yang menggenggam hatinya?’ batin Bara.
‘Astaghfirullah ... kenapa aku masih saja mengharapkannya? Bukankah Pak Amin bilang agar aku selalu menjaga hati untuk wanita yang menjadi istriku kelak? Bukankah siapa pun yang menjadi istriku adalah yang terbaik di mata Allah?’ Bara kembali berperang batin. Ia juga mengingat nasihat Pak Amin bahwa apa yang kita sukai belum tentu itu yang terbaik untuk hamba-Nya. Dan, apa yang tidak disukai, belum tentu itu yang terbaik untuk hamba-Nya. Dan Allah Maha Tahu apa-apa yang terbaik untuk setiap hamba-Nya.
“Bara!” Teriakan salah seorang pekerja membuyarkan lamunan Bara. Pikirannya tentang Rania mendadak buyar. Ia pun tersadar dan malu sendiri saat teman-teman kerjanya melihat dan menertawakannya yang terus mengaduk pasir.
“Mau sampai kapan diaduk? Buruan bawa ke sini!” pinta salah seorang pekerja yang sejak tadi menunggu Bara mengantar pasir tersebut padanya.
“Ah, maaf, Pak,” ucapnya sambil bergegas membawa ember yang telah ia isi pasir yang sudah dicampur rata dengan air dan semen.
“Sabar, Bara. Besok sudah malam Minggu. Tinggal sehari lagi ketemu cewekmu,” seloroh salah seorang bapak yang sedang memasang batu bata.
Para pekerja lain tertawa mendengarnya. Bara hanya tersenyum malu. Mereka pasti mengira dirinya berpacaran dan tak sabar menunggu hari pertemuan dengan sang kekasih. Faktanya, ia hanya merindukan sosok seorang gadis yang begitu jauh berbeda dengan dirinya, seperti langit dan bumi.
***
Sidang skripsi kuliah di jurusan kedokteran di sebuah kampus negeri di Jakarta baru saja selesai. Rania menjadi salah satu mahasiswa yang berhasil menyelesaikan kuliah kedokterannya hingga selesai sidang hari ini. Ia tinggal menunggu waktu wisuda sambil menjalani profesi barunya sebagai dokter di salah satu rumah sakit besar di ibukota tersebut.
“Selamat, ya, Bu Dokter. Besok sudah mulai bekerja,” ucap Pandu saat ia makan malam bersama Rania dan kedua orang tua mereka. Lelaki itu baru sempat mengucapkan selamat kepada sang adik atas kelulusan sang adik di jenjang S1 Fakultas Kedokteran. Akhir-akhir ini, Pandu memang lebih sibuk di kepolisian hingga ia sering pulang larut untuk memecahkan berbagai kasus kriminal.
“Terima kasih, Kak. Selamat juga untuk Kak, yang tak lama lagi menjadi seorang suami dari Mbak Zahra.”
Pandu tersenyum. Meski sudah siap lahir dan batin untuk menikah memulai hidup dalam bahtera rumah tangga, tetap saja ia merasa gugup menjelang hari pernikahannya itu.
“Jangan lupa dihafal ijab kabulnya, Kak. Jangan sampai salah sebut nama mempelai perempuan.”
Gurauan Rania membuat tawa kedua orang tuanya pecah. Suasana makan malam keluarga mereka terasa semakin hangat. Sedangkan Pandu, ia tampak menahan rasa malunya atas gurauan sang adik.
“Oh ya, salah satu teman Kakak ada yang bekerja di Rumah Sakit Syifa Medika. Kalau kamu mengalami kesulitan di sana, minta saja bantuannya. Dia tahu kamu adik Kakak, Kakak sudah cerita padanya,” ujar Pandu memberitahu adiknya, sekaligus mengalihkan perhatian orang tua mereka dari dirinya yang terasa gugup menjelang hari H pernikahannya.
“Siapa namanya, Kak?”
“Irham.”
“Oh, laki-laki ....”
“Iya, laki-laki. Masih singel juga,” ucap Pandu dengan penekanan ucapan yang penuh arti, membuat kedua orang tua mereka tersenyum melihat kedua anaknya yang sudah sama-sama dewasa.
Rania pun turut tersenyum, meski di dalam hatinya, sama sekali belum terpikirkan untuk mengenal atau taaruf dengan lawan jenis. Ia sendiri masih bimbang, antara belum siap, atau menunggu seseorang yang telah berubah datang kembali ke kehidupannya.
***