"Kak, cepat ke sini, lorong dekat rumah! Ada yang sekarat." Seorang gadis menutup teleponnya, lalu berlari mendekati seorang pemuda dengan tubuh penuh lebam.
Gadis bermata bening itu jongkok di samping sang pemuda yang telah memejamkan mata. Ia memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan lelaki itu.
"Masih bisa ditolong," gumamnya. Ia hendak mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Namun, tiba-tiba tangan lelaki itu menggenggam erat pergelangannya. Gadis bercadar itu pun terkejut. Spontan ia menarik tangannya, tetapi cengkeraman lelaki itu begitu kuat.
"Siapa kau? Di mana polisi-polisi itu?" tanya pemuda itu dengan suara berat. Mata elangnya menatap tajam gadis yang masih jongkok di sisinya.
"Sa-saya hanya ingin menolongmu," jawab gadis bernama Rania itu, dengan tetap berusaha menarik tangannya dari cengkraman pria yang tak dikenal.
"Apa kau yang membunyikan sirene?"
Rania terdiam. Rasa takut mulai menghampirinya. Ia mulai menyesal mendatangi pemuda itu dan memeriksa kondisinya. Namun, naluri kemanusiaan membuatnya harus melakukan itu.
"Jawab!" bentak sang pemuda yang diketahui bernama Bara.
"Iya." Rania kembali menarik tangannya, dan kali ini terlepas. Ia memijit pergelangan yang terasa sakit.
"Bawa aku ke rumahmu." Bara berusaha berdiri meski beberapa kali nyaris terjatuh.
Rania terkejut mendengar permintaan pemuda asing itu. Tidak mungkin membawa orang asing ke rumah. Tidak ada siapa-siapa di sana. Kedua orang tuanya sedang umrah. Sedangkan sang kakak yang bertugas di kepolisian saat ini sedang dinas malam.
"Tunggulah, kakakku akan segera tiba. Kami akan membawamu ke rumah sakit."
"Jangan bawa aku ke rumah sakit!" Suara Bara meninggi. Ia kembali mencengkeram tangan Rania. Membuat gadis itu sedikit menjerit dan bertambah takut.
"Lepaskan tanganku!" rintih Rania.
"Di mana rumahmu?" tanya Bara pelan, tetapi cukup mengintimidasi Rania. Sorot tajam dari matanya membuat gadis itu bergidik.
Rania bergeming. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Lelaki itu mendekat. Membuat Rania mundur perlahan. Semakin dekat, membuat sepasang mata bulat gadis di hadapannya berkaca-kaca. Tina-tiba, Bara terkulai menabrak tubuh Rania. Keduanya terjatuh bersama di tanah.
Tubuh Rania tertindih oleh pemuda yang kini tak sadarkan diri. Ia berusaha mendorong pemuda itu ke samping, tetapi tubuh kurusnya tak memiliki tenaga untuk melakukan itu.
‘Ya Allah, tolong hamba-Mu!’ doa Rania dalam hati.
***
‘Bagh! Bugh!’
Suara pukulan dan tendangan menggema di malam yang sepi. Seorang pemuda berusaha sekuat tenaga melawan lima orang pria bertubuh besar. Namun, ilmu bela diri yang sangat baik mampu membuatnya bertahan dan melawan mereka tanpa bantuan.
Ia melompat, menerjang satu di antara mereka hingga beberapa lawannya terjatuh. Pemuda itu kembali menangkis serangan dari samping dengan lengan kekarnya. Ia layangkan tinju ke wajah hitam lelaki di hadapannya. Sedang kaki kirinya menendang pria lain.
Namun, tiba-tiba sebuah tendangan hebat mendarat di punggungnya. Satu orang lainnya datang dan menyerangnya dari belakang. Pemuda itu terjatuh. Hal itu menjadi kesempatan bagi lawan untuk menyerangnya.
Pukulan dan tendangan melayang ke tubuhnya dari kepala hingga kaki. Ia tak mampu lagi melawan. Terkulai lemah di tanah dengan menahan sakit akibat serangan mereka.
TTiba-tiba terdengar suara sirene mobil polisi. Semakin lama, sumber suara itu semakin dekat ke tempat kejadian. Enam orang bertubuh kekar itu pun pergi meninggalkan Bara agar tak berurusan dengan pihak berwajib.
"Arg!" Pemuda beriris hitam pekat itu merintih akibat nyeri di sekujur tubuh. Beberapa luka memar di tangan, hingga berdarah di bagian wajah.
Susah payah ia berusaha bangkit, lagi-lagi terjatuh. Tubuhnya terlalu lemah untuk berdiri. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang, lalu terkulai lemah dj tanah.
***
"Rania!" Seorang anggota kepolisian berlari dan segera menarik Bara dari tubuh Rania.
"Kak!" Rania berdiri, menatap wajah sang kakak yang penuh amarah.
Lelaki berusia 30 tahun itu merapatkan gigi-gignya karena geram. Wajahnya merah menahan emosi atas apa yang dilihatnya terhadap sang adik.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan suara tinggi.
"Jangan salah paham, Kak. Nanti Rania ceritakan. Kita harus menolongnya dulu," pinta Rania.
"Kau berhutang penjelasan pada Kakak!"
Lelaki berseragam polisi dengan tulisan Pandu di bahu kanan itu memapah tubuh Bara ke dalam mobil.
"Ke mana, Kak?"
"Rumah sakit."
"Tapi ...."
"Jangan banyak bicara." Lelaki bergaris wajah tegas itu masih kesal dengan adik satu-satunya. Melihat Rania ditindih lelaki tak dikenal yang dipenuhi luka membuatnya marah. Ingin rasanya ia memukul pemuda itu, tetapi akal sehatnya menolak.
***
"Rania, apa yang kau lakukan di sana?" Pandu meminta penjelasan kepada adiknya atas apa yang terjadi malam ini.
Mereka telah sampai di rumah, meninggalkan pemuda yang masih tak sadarkan diri di rumah sakit. Sebelumnya, Pandu telah membayar biaya rumah sakit untuk pengobatan lelaki yang masih belum mereka ketahui namanya.
"Tadi Rania pulang kuliah, jalan kaki dari simpang rumah kita. Rania lihat ada yang berkelahi. Pemuda itu dikeroyok oleh beberapa orang. Lalu Rania bunyikan alarm sirene yang Kakak berikan,” jelas Rania. “Orang-orang itu lari, mengira polisi tiba. Rania hanya mencoba menolong lelaki itu," lanjutnya.
"Lalu, bagaimana bisa kalian ...." Pandu tak meneruskan kalimatnya.
"Kakak jangan salah paham. Dia tidak mau dibawa kerumah sakit. Tiba-tiba pingsan, dan ... menabrak Rania,” ujar gadis itu pelan.
Pandu menarik napas. Akalnya berusaha mencerna apa yang dikatakan Rania. Meski banyak hal lagi yang masih ingin ia tanyakan, Pandu memilih diam.
"Kak ...."
"Rania, cukup ini yang terakhir kali. Kakak tidak ingin kau terlibat urusan orang. Kau tidak tahu siapa yang kau tolong, Rania. Bisa saja dia itu preman, pengedar narkoba, buronan, atau siapa pun."
"Iya, Kak. Maafkan Rania."
"Tidurlah. Kakak harus segera kembali ke markas."
Pandu terpaksa meninggalkan sang adik seorang diri di rumah karena ia mendapatkan shift malam.
Rania mengangguk dan berlalu ke kamarnya.
***
Seorang pemuda bertubuh jangkung termenung di sebuah taman. Tak memiliki tujuan, tak tahu ke mana kaki harus melangkah. Setelah kabur dari rumah ayah angkatnya, ia kini bagai buronan yang dapat terbunuh kapan saja.
Bara, seorang anak terlantar yang dibuang oleh ibunya sejak usia lima tahun hingga dipertemukan dengan seorang kepala gengster yang sangat ditakuti masyarakat. Ia pun diangkat sebagai anak, dan menjadikannya perisai bagi lelaki berjiwa iblis yang kini sangat ia benci.
Bandot, begitu orang-orang memanggil kepala gengster itu. Keberadaannya tak terendus, bahkan oleh pihak kepolisian sekali pun. Ia seorang kepala gengster yang sangat kejam. Mengambil anak-anak jalanan baik masih kecil maupun remaja untuk dijadikan b***k. Melakukan begal di beberapa titik yang ia tentukan. Tak segan membunuh korban, bahkan pengikutnya sekalipun. Ia memperkosa pengikut wanita dan menjadikan mereka sebagai giliran pengikut pria, setelah ia puas menikmati tubuh malang itu.
Bara, hanya dia yang tak pernah mau ikut mencicipi wanita malang yang diperbudak Bandot. Hatinya miris melihat kelakuan ayah angkatnya. Beberapa kali ia mencoba kabur dari rumah, tetapi selalu saja tertangkap oleh para algojo setia Bandot.
Pukulan demi pukulan ia terima setiap kali para algojo itu membawanya ke hadapan sang pemimpin. Bandot tak pernah memaksanya melakukan apa yang pengikutnya lakukan, tetapi juga tak pernah melepaskannya. Pasalnya, Bara akan ia jual pada kelompok guy di luar negeri. Untuk menjadikannya pemuas lelaki berkelainan seksual.
Hal itu diketahui Bara saat ia mendengar Bandot berbicara di telepon. Seminggu lagi adalah waktu yang ditentukan untuk membawanya pada seorang utusan dari luar. Mendengar itu, darah pemuda berusia 25 tahun itu mendidih. Selama 20 tahun Bandot membesarkannya, ternyata hanya untuk menjualnya
Tanpa berpikir panjang, Bara berlari menerjang lelaki itu. Kemarahan yang ia pendam selama ini, bagai bom waktu yang akhirnya meledak. Di kepalanya, hanya ada dua pilihan; membunuh Bandot, atau ia yang mati.
Sayang, saat terjangan terakhir yang mungkin akan melepaskan ruh Bandot dari raga, seorang algojo menangkisnya, membuatnya terpental. Ia berbalik diserang oleh beberapa pengikut Bandot. Beruntung, kemampuan bela diri yang selama ini ia pelajari diam-diam mampu membuatnya bertahan dan melarikan diri dari markas terkutuk itu.
Di tengah pelariannya, lima orang algojo setia Bandot menemukannya, menyerangnya beramai-ramai. Mereka berusaha melumpuhkan dan membawanya kembali ke hadapan Bandot. Saat itulah suara sirene polisi terdengar dan membuat orang-orang bertubuh besar itu lari meninggalkan tubuhnya yang tak berdaya. Hingga akhirnya dipertemukan dengan Rania, gadis bercadar yang akan masuk dalam lingkar hitam kehidupan Bara.
***