Part 16 (Rasa Itu Bernama Cinta)
"Hadirmu bagai cahaya. Senyummu membawa harapan. Andai aku bukanlah Bara, dapatkah hati ini kau pilih?" ~Bara~
***
"Rania …." Pemuda itu berjalan mendekati Rania yang berdiri tak jauh dari tempatnya memeluk Pak Amin. Dari sorot matanya, gadis itu tampak sedih dan menahan tangis.
Kini, Bara sudah Berdiri di hadapan seorang gadis bercadar yang selalu membuatnya merasakan debar-debar dan kerinduan di dalam d**a. Sosok itu kini hadir di hadapannya, membawa kembali cahaya yang sempat hilang. Kehadirannya mengobati luka yang sempat menganga di hati Bara.
Bara menunjukkan senyumnya pada Rania. Ia tatap lembut wajah yang tertutup dengan sehelai kain itu. Garis mata Rania yang indah selalu mampu menciptakan kesejukan dan keindahan di taman hati Bara yang berkali-kali gersang. Rania ... gadis itu benar-benar datang, menjenguknya, melihatnya di dalam ruangan, tempat orang-orang yang dianggap jahat dan b***t dikurung. Bara merasa tengah bermimpi indah atas kehadiran sosok bidadari itu di dalam ruangan ini.
Rania menunduk dengan perasaan yang teriris nyeri melihat kondisi Bara. Ia masih tak tahu apa yang sudah dilakukan pemuda itu hingga harus mendekam di balik jeruji besi bersama para narapidana lainnya. Ia pun berusaha untuk menyembunyikan raut kesedihan yang sudah teramat jelas tampak dari sorot matanya. Ada banyak tanya yang memenuhi pikiran gadis itu tentang pemuda yang kini sedang menatapnya sendu. Namun, ia hanya mampu membisu, membiarkan detik demi detik berlalu tanpa ada kata yang terucap dari bibirnya.
"Bara …."
Suara Pak Amin mengalihkan perhatian pemuda itu dari Rania.
"Iya, Pak." Bara lantas berbalik dan duduk di salah satu kursi. Pak Amin pun turut duduk di hadapannya. Rania yang sejak tadi berdiri saja, juga kini turut untuk mengambil kursinya di sebelah Pak Amin.
Bara dan kedua orang yang mengunjunginya itu hanya terpisah oleh sebuah meja berbentuk persegi berwarna cokelat tua.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Pak Amin lembut, mengalirkan angin yang begitu sejuk ke telinga hingga menembus kesendirian di relung hati Bara.
Bara tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa tidak baik dan ingin segera keluar dari sana, tapi juga merasa mungkin ini hukuman dari Allah untuk semua perbuatannya, untuk menghapus dosanya.
“Saya baik-baik saja, Pak.” Bara akhirnya terus mencoba untuk tegar, dan menjawab pertanyaan Pak Amin dengan senyum yang sedikit ia paksakan.
"Bagaimana kamu bisa seperti ini, Nak?" tanya Pak Amin dengan gurat kesedihan yang tak mampu ditutupi oleh orang tua itu. Kata “Nak” yang terucap dari bibirnya membuat hati Bara semakin sakit. Sakit karena merasa telah membuat orang tua baik hati itu kecewa atas semua yang telah ia lakukan.
"Maafkan saya, Pak. Dari awal saya menyembunyikan semuanya dari Pak Amin,” aku Bara yang selama ini masih belum mau bercerita apa pun kepada orang tua itu. Namun, malam ini ia ingin menjelaskan apa yang terjadi dengannya hingga mendekam di balik jeruji besi kepada orang tua itu, juga di hadapan Rania sekaligus.
“Saya tidak pulang kalau malam karena bekerja di sebuah klub malam. Saya tahu itu bukan pekerjaan yang baik. Tapi ... dari pagi sampai malam saya mencari pekerjaan dan bersedia bekerja apa saja, tidak ada satu pun yang mau menerima saya bekerja, kecuali tempat itu.” Suara Bara terdengar bergetar, mengingat bagaimana sulitnya ia mencari kerja seharian.
Pak Amin menghela napas berat mendengarnya. Ia tak mengira Bara akan bekerja di tempat seperti itu. Namun, bukan rasa kecewa yang hinggap di hatinya untuk Bara, melainkan rasa iba pada pemuda malang itu.
Rania tak kalah terluka mendengarnya. Ia membayangkan betapa sulitnya mencari pekerjaan, apalagi untuk orang yang mungkin dianggap tidak memiliki kemampuan.
“Dua malam saya bekerja di sana, ada kejadian yang membuat saya tidak bisa diam,” lanjut Bara.
“Apa itu?” tanya Pak Amin, tak sabar mendengar kisahnya lagi.
“Seorang tamu pria memaksa teman wanitanya masuk dan diam-diam menaruh narkotika ke dalam minuman wanita itu. Saya mencoba mencegah dengan berpura-pura menyenggol wanita itu hingga gelasnya jatuh. Saya dan lelaki itu pun berkelahi hingga manajer saya dan lelaki itu menuduh saya melakukan penyerangan dan merusak fasilitas,” tutur Bara panjang lebar menceritakan semuanya.
Rania mendengarkan dengan hati teriris. Berkali-kali cairan bening itu ingin menerobos keluar dari kelopak matanya, tetapi ia tahan dengan terus mendongak dan satu tangannya mengusap-usap d**a dari balik kerudungnya yang panjang untuk menenangkan diri.
Pak Amin merasa tak tahan lagi. Air mata mengalir dari kelopaknya yang sudah keriput. Ia merasa sedih dan miris mendengar penuturan pemuda di hadapannya itu.
Suasana hening seketika. Pak Amin dan Rania tidak mampu berkata apa-apa. Hanya bisa merasakan kepahitan yang terjadi dalam hidup pemuda asing bernama Bara.
"Saya bukan orang baik, Pak. Mungkin ini adalah hukuman buat saya," ujar Bara memecah keheningan. Ia arahkan pandangan pada meja yang memisahkan ia dengan Pak Amin dan Rania.
"Allah menyayangimu, Nak. Dia ingin kamu keluar dari sana, dari tempat kerjamu di klub malam itu, dengan cara-Nya," tutur Pak Amin lembut setelah mengusap air mata dengan jarinya yang gemetar.
Kalimat Pak Amin menimbulkan secercah harapan lagi bagi Bara untuk menjadi hamba yang lebih baik.
"Apakah Allah akan mengampuni saya, Pak?" tanyanya penuh harap.
"Percayalah, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Allah akan menguji hamba-Nya yang bertobat dan mengampuni dosanya. Kamu harus kuat dan jangan pernah berputus asa dari rahmatnya. Yakinlah bahwa ini yang terbaik agar kamu mendapat pekerjaan yang lebih baik dan halal. Allah pasti akan menolongmu dan mengeluarkanmu dari sini, Nak. Karena kamu tidak bersalah dalam kasus perkelahian itu."
Kata-kata yang keluar dari lisan Pak Amin selalu mampu memberikan ketenangan di hati Bara. Ia pun tersenyum dan merasa lega, juga bahagia karena masih ada orang yang mau memberikan nasihat dan semangat hidup padanya. Juga ada Allah, yang ia yakini memberikan jalan terbaik untuk dirinya keluar dari tempat yang buruk, seperti kata Pak Amin.
Bara kemudian menoleh, memandang Rania yang masih saja membisu. Gadis itu kini menunduk, menatapi meja yang memisahkan jarak mereka.
Ingin sekali Bara mendengar pendapat Rania, meski hanya satu kalimat yang keluar dari bibir gadis itu. Namun, sang gadis dengan mata indah itu masih betah mengurung suaranya.
Bara lantas mencoba mengatakan sesuatu padanya, tetapi lidahnya mendadak kelu saat melihat raut kesedihan dari sorot mata Rania. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Bara merasa begitu hina. Gadis di hadapannya itu pasti kecewa. Rania pasti akan membencinya, pikirnya.
“Bara ....”
Bara menoleh mendengar panggilan lembut 7 teter
"Tetaplah memohon kepada Allah untuk kebaikanmu, Nak. Yakinkah bahwa apa yang terjadi padamu saat ini adalah yang terbaik untukmu," nasihat Pak Amin.
Bara mengangguk, meresapi setiap kalimat yang keluar dari bibir orang tua itu.
“Terima kasih, Pak. Doakan saya agar bisa keluar dari sini dan memperbaiki diri."
"Insyaa Allah." Pak Amin menyodorkan sebuah buku tuntunan salat yang diberikan Rania kepadanya.
Bara mengambil buku itu, membuka lembaran pertama, lalu menutupnya kembali.
"Rania …." Ia kembali menatap Rania yang masih mematung tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Terima kasih." Hanya itu yang mampu Bara ucapkan untuk gadis di hadapannya, meski ada banyak kata yang ingin ia sampaikan.
Rania mendongak, memandang wajah sayu lelaki bermata elang yang sering ia sebut namanya dalam doa.
Pandangan keduanya bertemu untuk beberapa saat, yang menimbulkan rasa sakit, sedih, dan harapan di hati keduanya.
"Waktu kunjungan habis." Seorang sipir datang memberi tahukan, bahwa Bara harus segera kembali masuk ke ruang tahanan.
Kesedihan melanda hati Bara. Rindu yang besar masih mendominasi perasaannya. Ia berharap mendengar suara Rania walau hanya satu kata. Namun, gadis itu masih saja tak bersuara sampai ia berdiri untuk meninggalkan tempat itu.
Ada sedikit kecewa di hati Bara. Ia berharap Rania mengatakan sesuatu, tetapi detik demi detik berlalu, kakinya mulai melangkah keluar, gadis itu masih diam membisu.
"Semoga Allah menjagamu."
Suara lembut Rania menghentikan langkahnya di depan pintu. Sepasang bibir Bara menciptakan lengkung tanpa perintah. Desir kebahagiaan menjalari hatinya. Ia menoleh, memandang mata indah Rania yang kini telah basah.
Ya! Gadis itu menangis, di hadapannya. Menangis untuknya.
Rania mendekati Bara tanpa menghapus air mata yang terus membasahi kain cadarnya. Ia menyodorkan sebuah buku kecil ke hadapan pemuda itu.
"Terima kasih, Rania," ucap Bara lembut seraya menerima buku kedua pemberian Rania. Senyum bahagia tampak jelas di wajah tampannya. Ia pun melangkah kembali ke tahanan dengan hati yang berbunga kian merekah.
Rania mengusap air mata dengan ujung kerudung. Ada luka yang semakin membesar kala melihat punggung lelaki itu menjauh. Cinta. Baru ia menyadari, bahwa rasa yang selama ini ia anggap simpati, ternyata lebih dari itu.
***