Part 14 (Kepedulian Rania)

1361 Words
Part 14 (Kepedulian Rania) Gadis itu terluka. Mendapati kecewa. Hingga ia menyadari perihal sebuah rasa yang selama ini membuat detak jantungnya tak karuan. Rasa yang memang tak seharusnya ia biarkan tumbuh dan bersemi di hati. Akankah rasa itu semakin nyata bernama Cinta, atau hanya singgah untuk meninggalkan luka? *** "Rania?" Pandu dan Pak Amin terkejut melihat gadis itu berdiri di dekat gerbang. Entah sejak kapan Rania berasa di sana. Ia pasti sudah mendengarkan percakapan mereka. Apalagi kalimat terakhir yang diucapkan Pak Amin cukup keras dan bisa didengar hingga ke gerbang masjid. Pak Amin menghela napas berat. Ia tahu Rania pasti telah mendengar ucapannya dan merasa sedih juga kecewa seperti dirinya. Orang tua itu pun menyesali ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri hingga harus berkata-kata dengan suara yang cukup keras, yang mungkin bisa menimbulkan hal yang lebih buruk jika ada warga yang mendengar ucapannya. Orang tua itu lantas menyandarkan punggungnya yang mendadak terasa lelah di dinding masjid. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sementara itu, Pandu segera berlari menghampiri adiknya yang masih di gerbang masjid. "Kau menangis, Nin?" Pandu heran melihat adiknya mengusap mata dengan ujung cadarnya. Ia tahu persis kalau air mata sang adik baru saja menetes dari sepasang manik hitam itu. Demi apa? Apakah karena pemuda itu? Pikir Pandu yang tak percaya Rania bisa sesedih itu hanya karena mendengar kabar lelaki asing yang tak jelas asal usulnya. Rania lantas menggeleng dan berusaha tersenyum agar sang kakak tidak curiga. "Rania hanya kelilipan, Kak," jawabnya. "Benarkah?" tanya Pak Amin yang tiba-tiba sudah menghampiri kedua kakak beradik itu dan berdiri di belakang Pandu. Pak Amin tahu persis bahwa ada rasa di hati Rania dan Bara. "Rania … mau mengajar anak-anak dulu." Gadis itu tak ingin menjawab. Ia bergegas masuk masjid meninggalkan dua orang yang sedang bertanya-tanya akan sikapnya, terutama sang kakak, Pandu. ‘Dia … dipenjara? Ya Allah, benarkah itu? Kenapa?’ batin Rania terus bertanya-tanya sendiri untuk mencari jawaban yang sudah pasti tak ia temukan jika tidak bertanya kepada kakaknya. Hatinya kini merasa tidak tenang memikirkan apa yang telah terjadi terhadap Bara. *** Setelah mengajar mengaji, Rania segera menemui Pandu untuk meminta penjelasan atas apa yang telah ia dengar di masjid. Pemuda bernama Bara telah benar-benar mencuri perhatiannya hingga membuatnya tak tahan lagi untuk segera mencari tahu tentang kehidupan lelaki yang membuat jantungnya beberapa kali berdebar-debar itu. "Kak …." Rania duduk di sebelah Pandu yang sedang membaca Alquran di ruang tengah. "Iya, ada apa, Nin?" Lelaki itu menutup mushaf dan meletakkannya di nakas. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan sang adik padanya. Namun, Pandu tetap berusaha tenang seolah-oleh tidak terjadi apa-apa. "Kenapa ... dia dipenjara, Kak?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Rania yang tak lagi ditutupi oleh cadar ketika berada di dalam rumah. Kulitnya seperti kuning langsat. Bibir tipis serta hidung yang mancung membuatnya bagaikan gadis keturunan Arab. Kecantikannya tak kalah dengan artis-artis yang selalu muncul di layar televisi. Itulah sebabnya keluarganya meminta Rania menggunakan cadar. Agar ia dan lelaki yang melihat terhindar dari fitnah atas kecantikan yang Allah berikan padanya. "Dia berkelahi di klub malam, merusak fasilitas di sana dan melakukan penyerangan kepada pengunjung," jawab Pandu masih berusaha tetap tenang. Sedangkan hatinya merasa sedikit marah pada sang adik yang tampak begitu peduli pada sosok asing kaki tangan penjahat yang selama ini menjadi buronannya. "Klub malam?" Gurat kecewa tampak jelas di wajah cantik Rania--wajah polos tanpa riasan—saat mendengar tempat seperti itu disebut sang kakak. "Kenapa wajahmu begitu?" tanya Pandu penuh selidik. Rania segera bersikap biasa agar sang kakak tidak curiga bahwa ada sebuah rasa di hatinya untuk pemuda asing bernama Bara itu. Ia pun berpura-pura hanya ingin tahu nasib orang yang telah ia tolong. Tentu sangat bertolak belakang dengan hatinya yang penuh pergolakan. Rasa yang masih belum dapat ia pastikan itu kini mulai menemukan titik terang. "Apa yang salah dengan wajah Rania, Kak?" "Jelas sekali kau terlihat mengkhawatirkannya," jawab Pandu tanpa basa-basi lagi dan terus bersikap seolah-olah ia tidak tahu apa yang dirasakan adik satu-satunya. "Rania hanya ingin tahu, lelaki yang kita tolong itu kenapa. Itu saja,” elak Rania. "Seperti yang kau dengar tadi, Rania. Begitulah dia." "Kenapa dia berkelahi, Kak? Apa Kakak sudah menanyakan padanya? Tidak adakah yang membantunya keluar dari penjara?" Rania tak mampu lagi menutupi rasa gelisah dan penasarannya terhadap Bara. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan gadis itu pun justru membuat Pandu semakin penasaran akan perasaan yang dimiliki adiknya kepada pemuda itu. "Kenapa kau terlihat penasaran sekali?" selidik Pandu. "Kak, tolong jawab …," pinta Rania. Ia mengabaikan rasa penasaran sang kakak. "Kau menyukainya, Rania?" tanya Pandu tanpa basa-basi lagi. Pertanyaan sang kakak mengejutkan gadis itu. Sekaligus membuatnya semakin yakin atas sebuah rasa yang selama ini bersarang di dadanya. Rasa yang tumbuh sejak pertama kali pemuda itu belajar membaca Iqra dengannya di masjid. Rania menggeleng. Ia berusaha menyembunyikan perasaannya. Gadis itu yakin sang kakak akan marah atas apa yang menerpa hatinya kini. Sementara, ia tak mampu menolak rasa yang hadir begitu saja. Tak mampu memilih siapa orang yang bisa masuk ke relung hatinya. "Rania, jangan tanyakan lagi tentang orang itu. Buanglah perasaanmu jauh-jauh padanya. Banyak-banyaklah beristigfar, agar setan tidak membuatmu jatuh dalam perasaan yang tak semestinya." Pandu mengingatkan Rania untuk menata hati. Menyukai seseorang yang belum halal baginya dapat mempengaruhi keimanannya. Setan selalu melihat celah yang besar kala seorang anak manusia memiliki perasaan kepada orang yang belum halal baginya. "Rania mengerti, Kak," jawabnya pelan. Ia menunduk, menutupi semburat gerimis yang menari-nari di kedua matanya. "Kak …." Ia mengangkat wajah ketika air mata itu tak lagi menggenang di pelupuk. "Kau benar-benar menangis untuknya, Rania? Untuk laki-laki yang bukan mahrammu?” Suara Pandu meninggi. Ia benar-benar tidak menyangka adiknya akan selemah itu terhadap cinta. Bahkan melabuhkan hatinya pada lelaki yang menurutnya sama sekali tidak pantas untuk Rania. Rania menggeleng dengan bibir membisu. Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa selemah ini. Mengapa Bara bisa begitu penting baginya? Mengapa hatinya terasa sakit saat mengetahui kenyataan pahit yang sedang dialami lelaki itu? Pandu merasa frustrasi melihat sikap adiknya yang sangat berbeda dengan Rania yang ceria selama ini. Ia lantas mengusap wajahnya dengan kasar dan menjatuhkan punggungnya di sofa. “Pergilah ke kamarmu dan minta ampun pada Allah,” tegas lelaki itu setelah menegakkan kembali punggungnya. "Boleh Rania menjenguknya di penjara, Kak?" Bukannya menuruti perintah sang kakak, Rania justru meminta izin untuk mengunjungi Bara. Pandu sedikit terkejut sekaligus marah atas permintaan sang adik. Ia tak menyangka Rania akan meminta hal itu. Seberapa besar perasaan yang dimiliki adiknya untuk pemuda berandal itu? Bagaimana bisa Rania memiliki perasaan padanya? Sekelumit tanya bersarang di kepala Pandu. Namun, ia tak ingin menanyakan itu langsung kepada Rania. "Untuk apa? Kamu itu perempuan, Rania. Dia lelaki. Tidak pantas kamu mendatanginya." “Rania hanya ingin mengunjunginya sebagai sesama saudara Muslim, Kak. Bukankah orang yang sedang hijrah, lalu Allah uji dia, kita harus memberikan support agar ia tetap istikamah dan tidak kembali pada kehidupan sebelumnya?” “Kamu ini benar-benar tidak mau menuruti Kakakmu, Rania? Tidak harus kamu yang melakukan itu padanya! Apalagi bertemu berdua lawan jenis. Kakak tidak akan menemanimu!” tegas Pandu. "Rania tidak akan sendirian, Kak. Rania akan ajak Pak Amin juga. Pak Amina dan Kak Bara sudah seperti ayah dan anak. Biarkan Pak Amin yang memberi semangat padanya.” Pandu bergeming memikirkan penuturan adiknya itu. Ia baru mengetahui bahwa sang adik dan Pak Amin ternyata memang sudah dekat dengan Bara, pemuda asing yang penuh misteri. “Kak ... jangan biarkan orang yang baru hijrah merasakan ujian Allah sendirian. Jangan biarkan seseorang merasa tak ada seorang umat Muslim pun yang peduli padanya.” Rania berucap lembut, berusaha untuk menyentuh hati sang kakak. Pandu menarik napas berat. Ia menyadari, apa yang dikatakan Rania adalah apa yang seharusnya dilakukan sebagai umat Muslim. "Rania mohon, Kak. Jangan biarkan semangat hijrahnya hilang di sana. Rania yakin Pak Amin bisa memberi support padanya," pinta Rania dengan wajah penuh harap. Ia terus berusaha membujuk kakaknya. Pandu tak mengerti dengan apa yang gadis itu pikirkan. Kali ini ia pun mengalah, dan sedikit menyadari bahwa mungkin saja Bara memang benar-benar berusaha untuk bertobat. "Kalau begitu bersiaplah. Selepas magrib kita berangkat." Rania membelalakkan mata mendengar jawaban sang kakak. Bibirnya otomatis tersenyum lebar. "Terima kasih, Kak," ucapnya. Gurat bahagia terpancar jelas di wajah cantik Rania. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD