Pintu kamar Sekar masih saja tertutup rapat. Dia terlihat berdiri dengan pikiran yang berkecamuk di dadanya. Sekar tak ingin menemui laki-laki itu. Dia tak mau memberikan harapan tentang sebuah cinta. Sekar harus menemukan jalan keluar. Waktunya tak lama lagi. Perputaran jarum jam membuat dirinya semakin terjerembab dengan keadaan.
“Sekar, Fauzi sudah datang.”
Suara pak Surya seakan menodong Sekar. kegelisahan seolah melanda, terselubung dalam pori-pori kebingungan Sekar. Wajahnya berubah pucat pasi. Menggigit bibir bawah berulang-ulang. Senyum di bibirnya seolah pudar nan hilang. Tak nampak sedikit pun.
Gumaman tentang sebuah permintaan itu sangat mengganggunya, menggema di setiap inci ruang hati Sekar. Seribu kata menjadikan sebuah keoptimisan dalam dirinya. Sekar tak boleh kalah dengan keadaan. Dia bisa menggengam semua dengan pikirannya. Meski terasa sangat berat, namun Sekar penuh dengan keyakinan. Dia bisa mengalahkan kondisi saat ini.
“Sekar, buka pintunya, Fauzi sudah menunggumu,” suara pak Surya kembali melengking.
Pandangan mata Sekar nanar. Matanya mengarah ke pintu kamarnya. Sekar mencoba membuat sebuah drama dalam hidupnya.
“Sekar, kalau kamu tidak segera membuka pintu, Ayah akan dobrak sekarang!”
Sekar hanya mendengar dalam diamnya. Pak Surya merasa sangat geram, tak ada sepatah kata pun yang di dengarnya dari Sekar. Pak Surya telah habis kesabarannya. Mendobrak paksa pintu kamar Sekar. Sedikit tenaganya terasa tergadaikan. Peluh itu menghiasi dahinya.
Tubuh yang lunglai itu tergeletak berhiaskan selimut tebal. Mata itu pun terpejam, dan badannya menggigil dengan keringat yang mengiringi. Pak Surya menatap wajah Sekar yang terlihat sangat lunglai. Dia sakit.
Tak ada keberanian yang bisa dilakukan Pak Surya. Tatapan matanya hanya diam. Meski kekecewaan itu melanda, membuatnya harus menelan kondisi yang sama sekali tak diinginkan. Namun pak Surya tak bisa memaksa. Dia segera berbalik badan dan keluar dari kamar Sekar.
“Sekar sedang sakit.”
Suara Pak Surya mengawali kembali pembicaraannya dengan Fauzi. Sembari menyeruput secangkir kopi yang tadi dibuat dengan tangannya sendiri. Fauzi hanya menelan ludah, merasa sia-sia atas kedatangannya.
“Minum dulu kopimu.”
“Iya, Pak.”
Menutup rasa kesal dengan meraih kopi yang telah menghiasi meja ruang tamu. Mata Fauzi berotasi. Bergejolak hatinya, inginnya hari ini menikmati waktu kebersamaan dengan pujaan hati. Wajah Sekar yang ayu rupawan menjadi candu untuknya, ingin segera memiliki paras ayu itu. Ah, semua membuat rasanya kembali digantungkan.
“Pulang saja, besok cobalah kemari lagi, siapa tahu kondisi Sekar sudah membaik.”
Langkah kecewa itu menghantam d**a Fauzi. Dia yang enggan beranjak dari rumah calon mertuanya itu. Tapi tak ada pilihan selain pergi. Meski sebenarnya dia masih sangat ingin menunggu di samping Sekar, meski rencana mencari cincin itu batal.
***
Sekar membuka bungkus kain yang melilit di badannya. Wajahnya berbinar. Segera mengusap peluh yang diciptakannya sendiri. Ya, sebelum sang ayah memasuki kamarnya, Sekar segera mengambil air dan diteteskan di keningnya, seratus persen sudah seperti peluh asli. Sekar tertawa dalam hati. Aksinya berhasil, meski harus pura-pura menggigil demi sang ayah percaya dengan kondisinya.
Setidakanya Sekar bias sedikit bernapas lega. Dia mengulur waktu untuk sebuah hubungan yang tak pernah diharapkannya itu. Bertemu dengan laki-laki yang membuat hatinya merasa tercekik. Merenta dalam kehaluan yang tak diharapkan.
Kali ini Tuhan seakan masih menyelamatkannya. Tapi Sekar tetap khawatir, bagaimana dengan hari esok, apa dia bisa melaluinya dengan alasan-alasan yang disematkan. Sekar menepuk jidatnya, memikirkan kembali kemungkinan yang akan terjadi.
“Kenapa pakai sakit segala kamu?!”
Suara Pak Surya menghantam dengan kasar. Dia masuk ke kamar Sekar tanpa permisi. Sekar pun terperanjat. Dia tak dilindungi selimutnya. Peluhnya pun sudah tak menghiasi wajahnya. Hanya wajah pucat yang dipersiapkan untuk menghadapi celoteh ayahnya.
“Maafkan Sekar, Yah.”
“Kamu sengaja ya Sekar, kamu ini sudah waktunya menikah, mau sampai kapan kamu seperti ini?!”
Sekar kembali menatap lantai putih. Tak ada keberanian yang bisa disuguhkannya. Mengunci mulutnya dengan sejuta keluh yang bersemayam di benaknya. Sekar takut, bila ayahnya akan terus mencaci dirinya.
“Kamu ini menyusahkan saja, tinggal menurut apa susahnya, Sekar?”
“Sekar memang tak enak badan, Yah.”
“Jangan banyak alasan kamu Sekar, berapa lelaki yang Ayah pilihkan untukmu, selalu kamu tolak.”
“Bukan maksud Sekar untuk menolak, Yah.”
“Sekarang ayah tak mau melihat penolakanmu, kamu harus menikah dengan Fauzi.”
Sekar masih pada posisi yang sama. Sesekali dia mendongakkan sedikit kepalanya. Menatap sang ayah dengan rasa takut yang menggebu. Kedua tangan Pak Surya tolak pinggang setinggi d**a, membuat Sekar kembali menundukkan kepalanya.
“Ayah tak mau tahu, besok kamu harus pergi dengan Fauzi, adikmu saja sudah menikah dan bahagia, kamu mau jadi perawan tua?”
Langkahan kaki pak Surya dan gebrakan pintu kamar itu membuat Sekar kembali menyumbangkan kristal beningnya. Perintah sang ayah menjerat relung jiwanya. Senyumnya seakan tergadaikan, keluh kesah mengiringi.
Sekar tak bisa berpikir. Bibirnya terasa kelu, jika dia mengatakan kehendak hatinya, pastilah Sekar akan terima perlakuan tak setuju dari ayahnya. Cinta yang kini bersemayam hanyalah cinta untuk dirinya sendiri, bukan untuk ayahnya. Sekar sangat paham, bagaimana sang ayah memilih menantu yang baik untuk anaknya. Semua hanya berdasar tentang kekayaan. Tak ada pertimbangan bibit, bebet dan bobotnya.
Telepon genggam sekar berdering. “Kamu sedang apa bidadariku?”. Sekar terbalut senyum simpul, anggun nan mempesona. Pesan singkat itu dari kekasih hatinya, Dimas. Begitu sederhananya cinta, hanya dengan untaian kata tanpa rupa, sudah bisa membuat hati berbunga-bunga. Mudahnya cinta, perhatian sekecil apa pun terasa sangat menyanjung. Sekar segera membalas pesan itu dengan segera. “Aku ingin mendengar suaramu, apa boleh?”
Sekar menanti jawaban dari sang kekasih. Matanya terpaku pada layar ponsel. Sekian lama tak ada balasan dari Dimas. Dia memeluk ponselnya. Hingga tak terasa dia pun tertidur dalam penantian. Tak lama ponsel Sekar berdering, membuka matanya yang terasa seperti terkena sihir. Dilihatnya nama Dimas terpampang pada layar ponsel itu.
“Selamat malam wanita tercantikku.”
“Kenapa kamu lama sekali membalas pesanku?”
“Sekarang aku sudah menelponmu, bagimana harimu?”
Pembicaraan lewat udara itu tiba-tiba harus terhenti. Ayah sekar memasuki kamar Sekar tanpa permisi. Melihat putrinya sedang berbicara dengan seseorang. Dia pun mendekat. Sejurus Sekar segera menyembunyikan ponselnya.
“Telepon siapa kamu?”
“Tidak siapa-siapa, Yah.”
Pak Surya seolah tak percaya dengan jawaban Sekar. Wajah Sekar yang berubah merah padam itu, mengisyaratkan sebuah kecurigaan. Pak Surya menarik paksa ponsel yang berada di tangan Sekar. Dilihatnya nama Dimas dengan panggilan yang masih terhubung. Pak Surya mengakihiri panggilan dengan memencet tombol merah di layar itu.
Tangan Pak Surya mengarah dengan cepat ke arah pipi Sekar. Kemarahan pun tak bisa dihindari. Mata Sekar kembali memerah. Memegang pipinya yang terasa sangat sakit, bekas tamparan itu membuatnya kembali diam merintih dalam hati.
“Sudah aku peringatkan, jangan berhubungan dengan laki-laki miskin itu!”
Terisak dalam sebuah tangis cinta yang agung. Sekar menanggalkan rasa yang ditutupinya. Cintanya tergadaikan. Cinta yang butuh kesempurnaan itu pun seolah sulit untuk disatukan, Sekar terhempas dalam jalan petang.