Sekar berjalan cukup jauh. Dia bahkan telah membuat sang ayah untuk kembali ke rumah seorang diri. Sekar hanya ingin berjuang lagi untuk bertemu bayinya. Dia sangat yakin, usahanya tak akan menghianati hasil yang akan dituainya nanti.
Sekar bahkan sangat tega dengan ayahnya, dia membiarkan laki-laki itu melakukan perjalanan seorang diri. Sekar tak ada pilihan lain. Selain hanya ingin menemukan sang bayi. Apalagi bayangan pernikah dirinya dengan Fauzi akan dihelat, jika dia akan pulang nanti.
Sekar tak tahu kemana tujuan kakinya melangkah, dia terus menyusuri jalan raya tanpa batas. Sembari terus saja melantunkan sebuah harap yang akan terus digenggam erat olehnya. Terik sinar matahari yang membakar kulit putih Sekar, seakan sama sekali tak dipedulikan.
Dentum nadinya terus saja mengisyaratkan untuk bisa segera mendapatkan jejak sang bayi. Sayangnya, Sekar yang kala itu tak membawa sedikit rupiah sedikit pun. Membuatnya harus sedikit berpikir panjang.
Dia tak mungkin bisa membeli apa pun tanpa usaha terlebih dahulu. Apalagi Sekar yang sudah merasakan lapar. Dia harus bisa memenuhi kebutuhan perutnya.
Terduduk dengan peluh deras yang menghiasi tubuhnya. Sekar menatap langit yang menyilaukan matanya. Terdiam dengan sejuta pikiran yang membuatnya harus merasakan hal yang begitu memilukan.
Sekar membuka tas yang kini dalam genggamannya itu. Dia mengambil secarik foto yang membuat pandangannya lurus tanpa beralih. Sekar yang perlahan air matanya tumpah. Membuatnya kembali harus menyekanya dengan cepat.
Di tengah-tengah pemandangan mata Sekar, dia yang tak sengaja mengalihkan pandangan matanya pada lalu lalang kendaraan yang memadari jalan. Tak sengaja dia melihat sebuah mobil hitam yang kaca pengemudinya sedang dibuka. Sosok pengemudi itu memberikan secukup uang untuk pengamen yang tengah berdiri dengan iringan musik yang dimainkan.
Lampu merah yang masih terjaga itu, membuat Sekar berdiri dengan cepat.Dia berlari dengan sangat kencang dan bahkan meninggalkan tas yang berisi beberapa pakaian ganti miliknya. Sekar menuju ke arah mobil itu, sayangnya lampu hijau yang tiba-tiba menyala. Membuat Sekar harus terhenti langkahnya.
“Dimas, ternyata kamu masih hidup.”
Sekar meneteskan air matanya. Dia sangat yakin jika yang dilihatnya tadi adalah Dimas, seorang laki-laki yang pernah menjadi tumpuan jiwa dan raganya. Sekar merasakan sebuah kerinduan yang dalam. Ingin bersama dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Sayangnya semua hanya tinggal kenangan. Semua harapan yang menyakitkan itu merongrong jiwa Sekar. Baginya sekarang kebahagiaan memang tak mudah untuk diwujudkan, Sekar hanya berharap untuk sebuah ketenangan dalam hidupnya.
Dia merasa lelah dengan masalah yang datang bertubi-tubi kepadanya. Mulai dari paksaan menikah dengan Fauzi, kehilangan bayinya bahkan Sekar juga harus menerima kenyataan tentang kehilangan suami yang terus menyisakan kerinduan tanpa henti.
Sekar kembali lagi di tempat semula. Dia ingin mengambil tasnya yang tergeletak tak dihiraukan karena dia mengejar sosok laki-laki yang diyakininya adalah Dimas. Sayangnya, saat Sekar kembali dia tak mendapati tas miliknya itu.
Sekar mencari-cari dengan melibatkan dua matanya yang menatap lebih cermat lagi. Sayang sungguh sayang, Sekar sama sekali tak menemukan tas miliknya. Dia merasa bahwa hidupnya semakin s**l.
Kini hanya selembar foto yang akan menemani perjalanan Sekar. Foto itu segera disimpan dengan baik di saku celananya. Sekar kemudian kembali mneyusuri jalanan, mengikuti kata hatinya yang terus mendorongnya untuk tetap melangkah.
***
Fauzi nampak datang ke rumah Sekar. Saat dirinya tahu, jika pak Surya sudah kembali ke rumah. Otomatis Fauzi pun berpikir jika Sekar juga sudah berada di rumah.
“Fauzi.”
“Sekar sedang istirahat, Pak?”
“Sekar pergi menghilang.”
“Maksud bapak apa? bukannya bapak dan Sekar sedang melakukan perjalanan secara bersama-sama?”
“Ya, benar. Tapi Sekar meninggalkan bapak di bus dan dia pergi tanpa pamit saat bapak tertidur pulas.”
Fauzi terdiam dengan ucapan itu. Khayalan sebuah pesta pernikahan yang sudah lama diidam-idamkan terasa begitu tabu, dengan kabar Sekar yang tak pulang ke rumah. Fauzi hatinya tiba-tiba terasa begitu hampa. Cinta yang sudah sangat lama diperjuangkan, namun kini dia harus kembali menahan rasa yang berkecamuk dalam dadanya.
“Lalu bagaimana dengan rencana pernikahan ini, Pak?”
“Bagaimana kalau kita mencari Sekar.”
“Entahlah, Pak. Saya sepertinya sulit sekali berpikir. Saya permisi.”
Fauzi pun memilih untuk pergi, dia seperti dalam sebuah permainan yang tak bisa diterima oleh akalnya sendiri. Melangkah dengan cepat, membuat pak Surya tehenti pikirnya.
***
Sekar terus saja berjalan tanpa arah, melangkah dengan kebingungan yang sulit sekali digambarkan. Sekar merasa perutnya benar-benar melilit. Rasa lapar kini menggerogotinya, dia seakan tak punya banyak tenaga lagi untuk melanjutkan sebuah perjalanan.
Sekar pun diselimuti dahaga, dia ingin mencari air dan meminumnya. Sayangnya, tenaga yang dimiliki Sekar terbatas. Membuatnya kembali duduk diam dengan menundukkan kepalanya. Menahan lapar dan haus, Sekar tetap saja membuang wajahnya hingga menatap ke tanah.
Tak terduga, Sekar yang terududuk seorang diri itu, tiba-tiba saja ada orang yang lewat dan memberikan uang kepadanya, meski dengan cara dilempar begitu saja. Sekar pun nampak bingung dengan apa yang dilakukan orang-orang itu padanya.
Sepertinya orang-orang yang sedang lewat itu mengira jika Sekar adalah seorang peminta-minta. Betapa iba hati Sekar. Dia sangat terenyuh dengan anggapan itu. Namun, Sekar yang kala itu butuh uang, dirinya pun memungut dua lembar uang yang diberikan kepadanya.
Saru pecahan dua ribu rupiah dan satunya lagi senilai lima ribu rupiah. Sekar pun berarap jika dirinya bisa menggunakan dua lembar uang itu untuk membeli makanan. Apa pun jenis makanannya Sekar hanya berharap jika dia bisa memenuhi kondisi perutnya yang semakin berdendang karena kelaparan itu.
Sekar harus segera mencari penjual nasi. Dia tak mungkin tetap duduk dan nantinya rasa kenyang akan didapatnya. Sekar berdiri segera, mencoba untuk membawa tubuhnya sebaik mungkin. Sekar lalu melangkah untuk kembali menyusuri jalan panjang.
Saat Sekar menatap ke seberang, tak sengaja pandangan matanya seperti tertancap pada sosok yang begitu dikenalnya. Sekar kembali menancapkan pandangannya itu. Dia sangat fokus sekali, hingga Sekar yakin jika seseorang yang dilihatnya itu adalah Lastri.
Sekelibat pandangan itu seakan membuat Sekar lupa dengan rasa lapar yang membuatnya seakan kehilangan tenaga.
“Bibi Lastri, tunggu!”
Suara Sekar membahana, namun bersaing dengan suara lalu lalang kendaraan yang memadati jalan raya yang tak sepi itu. Sekar berlari sekuat sisa tenaganya. Dia berharap jika usaha yang dilakoninya itu akan membuahkan hasil.
Sekar bergantung pada Lastri, setidaknya dari Lastri Sekar akan menemukan informasi tentang Ningrum dan juga bayinya. Sekar menyeberang tanpa aturan, dia bahkan hampir saja tertabrak kendaraan.
Jeritan Sekar pun membuat beberapa orang menatap dirinya dengan cepat. Namun, kali itu Sekar hanya berpikir untuk mengejar Lastri dan Sekar tetap saja melangkah kembali dengan asa yang masih digenggamnya.