Sekar yang tak tahu lagi harus bagaimana dengan langkahnya. Bahkan dirinya sama sekali tak memiliki sepeser uang pun untuk menentukan langkahnya. Dia sangat ingin kembali pada Ningrum, apalagi sang bayi tentunya masih saja dalam pengawasan sang adik tirinya itu.
Sekar masih saja terduduk dengan suasana hati tak menentu. Semua terasa seperti mimpi buruk yang begitu menyakitkan. Setelah lama terdiam dan berpikir dengan apa yang kini menjadi tumpuan harapannya.
Tak ada pilihan lain, Surabaya adalah kota yang dibilang cukup dekat dengan tempat kelahirannya. Dia tak mungkin untuk pergi lagi ke Jogjakarta, jika dirinya tak punya cukup bekal. Sekar pun memilih untuk mencari bantuan di terminal yang bisa membawanya pergi dan kembali ke kampung halaman.
***
Ningrum yang kini telah bahagia, dia mengambil dengan paksa anak Sekar. Bahkan Ningrum telah menyusun sebuah rencana yang telah berhasil dilakoninya. Tak tanggung-tanggung, dia bahkan susah menyusun rencana dengan begitu rapi.
“Mas, kita terima kasih ya, sudah mau mengikuti apa yang aku mau.”
“Ya.”
Ningrum yang sudah menikah bertahun-tahun itu memang sangat merindukan kehadiran bayi di dalam pernikahannya. Dia melakukan cara apa pun untuk bisa mendapatkan sang bayi dari saudaranya sendiri.
Bahkan tak dapat dinalar oleh akal, jika Ningrum rela menyingkirkan Sekar dari rumahnya sendiri. Ningrum tak peduli dengan kondisi Sekar yang pastinya masih sangat butuh waktu untuk pemulihan. Membiarkan Sekar begitu saja tanpa bekal apa pun.
Ningrum yang sempat diam dengan sejuta lamunan yang menjadi tumpuan dalam pikirannya. Tiba-tiba saja dia sangat terkejut mendengar suara bayi yang begitu sangat dicintainya. Ningrum segera menuju ke kamar bayi yang telah didesain begitu sangat indah.
Tangis yang begitu sangat dirindukan itu, kini telah hadir di rumahnya. Mewarnai hari-harinya yang begitu sepi kini menjadi sangat berwarna. Semua terasa begitu indah, meskipun Ningrum kini masih sangat bergantung dengan kedua tangan baby sitter untuk memenuhi segala kebutuhan sang bayi.
“Saya mau mengundurkan diri.”
Suara itu membuat Ningrum begitu sangat terkejut. Sang asisten rumah tangga yang sudah bertahun-tahun bekerja dengannya, kini mendadak mengajukan untuk berhenti dari pekerjaan. Kedua mata Ningrum menatap tajam pada asisten rumah tangganya itu.
“Kenapa mau berhenti?”
Belum ada jawaban yang keluar dari mulut sang asisten rumah tangga. Kedua pandangan hanya ditujukan pada lantai putih. Hal itu semakin membuat Ningrum merasa sangat tak suka. Dia bahkan terus saja merajuk agar asisten rumah tangganya itu merubah keputusannya.
“Aku akan naikkan gajimu, jangan berhenti, ya.”
“Maaf sebelumnya, Bu. Saya harus pulang kampung karena ibu saya sakit-sakitan, saya mau merawat ibu saya di kampung.”
“Ya sudah, kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumahku.”
Asisten rumah tangga itu pun mengangguk dengan pelan. Lalu dia beranjak dari hadapan Ningrum. Baru saja langka pertama itu berlangsung, suara Ningrum kembali terdengar riuh namun sangat jelas.
“Dan satu lagi, kamu tidak boleh menceritakan apa pun tentang Sekar dan juga bayinya pada siapa pun, mengerti!”
“Iya, Bu.”
“Pergi kamu Lastri, aku tak mau melihat kamu lagi di rumahku.”
***
Dimas yang melewati hari-harinya seorang diri. Pulang kerja dia sudah merasa sangat lelah, tak pernah ada kegiatan di luar rumah selain pergi ke apotek untuk membeli obat sang ibu atau ke swalayan untuk belanja bulanan.
Dimas yang mengerjakan semuanya seorang diri, bahkan kesuksesan yang sekarang diraihnya itu sama sekali tak membuat Dimas untuk mencari asisten rumah tangga. Dia masih saja mencoba untuk bertahan dengan segala kesibukannya.
Meskipun kadang kala, Dimas pun merasa lelah. Harus mengurusi dapur, pekerjaan rumah dan bahkan urusan pekerjaan. Belum lagi untuk memberikan perhatian penuh kepada sang ibu yang mengalami gangguan kesehatan.
“Dimas, cari saja asisten rumah tangga, supaya kamu tidak terlalu lelah seperti ini.”
“Dimas masih bisa mengatasi semua, Bu.”
“Tapi Ibu kasihan melihatmu seperti ini.”
“Ibu hanya perlu mendoakan Dimas.”
“Ibu akan selalu mendoakanmu, jika kamu tidak mau cari pembantu ya lebih baik cari istri saja, biar bisa mengurusi semua kebutuhan kamu, Dimas.”
“Sudahlah Bu, ikuti alur saja.”
Pembicaraan itu berakhir, ketika Dimas memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Dia segera membanting tubuhnya ke tempat tidur. Dimas begitu lelah dengan segala aktifitas yang menguras tenanganya dari pagi hingga menjelang malam.
Dimas pun terlelap dengan cepat. Hanya dengan hitungan menit, kedua matanya itu telah terpejam dengan lampu kamar yang masih menyala terang.
***
Lastri yang malam-malam berjalan tanpa arah. Dia tak tahu harus ke mana kakinya melangkah. Dalam diri Lastri ada sebuah rasa penuh dosa setelah apa yang dia lakukan untuk membantu majikannya.
Oleh kare itu, Lastri memutuskan untuk keluar saja dari kediaman Ningrum. Bayangan akan kesalahan yang telah dilakukan itu, menjadikan Lastri terus saja memikirkan apa yang telah berlalu itu.
Lastri yang telah berjalan cukup jauh. Bahkan malam semakin mencekam. Lastri tak tahu harus ke mana lagi dia pergi. Lastri tak mungkin pulang kampung, karena sebenarnya dia hidup sebatang kara dan tak memiliki siapa-siapa lagi.
Alasan untuk menjaga sang ibu hanya sebatas tipuan saja. Lastri merasa lelah, di depan pandang matanya ada sebuah gazebo kosong. Lastri pun memilih untuk beristirahat di tempat itu.
Lastri tak bisa lagi menahan kantuknya. Dia terus saja menguap berkali-kali. Tas yang dibawanya itu pun sementara dijadikan sebagai bantal kepalanya. Lastri meringkuk dengan mata yang sudah mulai lelah untuk menatap cahaya malam.
Meskipun ada sedikit rasa ketakutan di benaknya. Namun, rasa kantuk itu terasa lebih berat baginya. Lastri yang diselimuti kelelahan itu pun tak lama dapat terpejam dengan segera.
***
Dimas yang masih saja tertidur karena pelukan sang malam masih begitu terasa hangat. Meskipun sebenarnya pagi mulai menjelang dengan fajar di ufuk timur. Sang ibu yang sudah tak bisa tidur itu, memilih untuk melakukan kegiatan yang bisa membuatnya merasa sedikit bisa menggerakkan tubuh.
Meskipun jika Dimas mengetahui jika sang ibu mengerjakan pekerjaan rumah, pastinya Dimas akan marah dan meminta ibunya untuk segera berhenti dari aktifitas yang akan mendatangkan kelelahan itu.
Namun, sang ibu pun merasa bosan jika harus diam tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Sehingga saat Dimas masih tertidur lelap. Dia pun mengambil kesempatan untuk sedikit bisa bergerak lebih banyak daripada biasanya.
Kala itu, pukul lima pagi. Sang ibu mengambil sampah dapur untuk dibuang ke sampah utama yang ada di depan rumah. Dan setelah itu sang ibu ingin sekali berjalan kaki dengan snatai berkeliling kompleks.
Sang ibu pun melakukan keinginannya, dia membuang smapah terlebih dahulu dengan menjinjing plastik sampah yang cukup berat itu. membuka pintu gerbang rumahnya. Lalu dengan cepat sang ibu menuju ke tempat sampah utama.
Setelah selesai dengan satu pekerjaan, sang ibu melihat seorang wanita yang sedang duduk dengan untaian air mata yang terhias di wajahnya. Hal itu membuat ibu Dimas merasa angat penasaran. Kedua matanya memandang dengan penuh rasa iba di dadanya.
“Mbak siapa? Dan kenapa menangis di sini?”
“Saya Lastri, saya bingung bu harus pergi ke mana.”
“Memangnya rumahnya mbak Lastri di mana?”
“Saya tidak punya rumah, Bu.”
Jawaban Lastri semakin membuat ibunda Dimas merasa bingung. Namun setelah itu Lastri menceritakan apa yang terjadi dalam hidupnya. Mendengar cerita dari Lastri, membuat ibu Dimas merasa terpanggil hatinya.
“Begini saja, Mbak Lastri maukah kerja di rumah saya?”
“Ibu serius?”
“Iya, saya sangat serius.”
Raut berbinar di wajah Lastri begitu tergambar dengan sangat jelas. Dia seolah mendapat keajaiban dengan apa yang dikatakan wanita yang kini berada di depan matanya itu.
Dimas yang sudah terbangung dari lelapnya tidur. Segera mencari-cari ibunya. Di kamar sang ibu yang biasanya nampak sosok wanita yang begitu sangat dihormatinya itu. Ternyata tak didapati sang ibu di dalam kamar.
Langkah Dimas pun berlanjut ke dapur, lalu ke ruang tengah dan juga ruang tamu. Sayangnya dia tak mendapati sosok ibunya. Terbesit sebuah kekhawatiran yang mendadak mengganggu pikirannya itu.
Tak lama, Dimas melihat pintu ruang tamunya terbuka. Sosok wanita yang dicarinya itu terlihat tersenyum kepadanya dan di sampingnya nampak seorang wanita yang membawa tas jinjing yang sepertinya cukup berat dibawa dengan kedua tanggan itu.
“Dimas, mulai hari ini Mbak Lastri akan membantu semua pekerjaan di rumah ini, ya.”
“Ibu serius?”
“Iya, Nak.”
Jika sang ibu yang sudah berkata. Dimas pun tak bisa menolak. Meskipun sebenarnya dalam benak Dimas ada sebuah keraguan yang hinggap tanpa diminta. Hanya saja, jika ibunya sudah memutuskan, Dimas pun akan mengiyakan seolah tanpa keraguan di raut wajahnya.
***
Dengan segala usaha yang telah dilakukan oleh Sekar. Mulai dari mengamen dan memulung sampah, dia bisa mendapatkan uang dan bisa kembali pulang ke rumah. Kondisi badan yang tak karuan, membuat Sekar pun serasa tak percaya diri.
Dia berjalan menuju ke rumahnya. Meskipun dirinya telah diusir oleh sang ayah. Namun, Sekar tak ada pijakan lain selain kembali pada keluarganya. Bahkan yang membuat Sekar merasa sangat rendah diri, ketika banyak tetangganya yang mencemooh kondisinya yang semakin terjatuh itu.
Tepat di depan pintu rumah. Sekar menarik napas panjang. Dia sempat memanjakan doa agar sang ayah mau menerima dirinya kembali. Sekar memang tak bisa memutuskan untuk pergi dengan kondisinya yang sekarang sangat tidak memungkinkan itu.
Mengetuk pintu rumah dengan perasaan tak karuan. Sekar yang menunggu pintu terbuka. Rasanya jantungnya berdegup maraton. Dia sangat gugup, bahkan melebihi saat dirinya akan sedang berhadapan dengan penghulu.
Beberapa saat kemudian, Sekar nampak melihat sosok laki-laki yang begitu dikenalnya, saat pintu rumah itu terbuka. Kedua pandangan mereka saling bertaut. Menjeda suasana yang seketika menjadi sangat sunyi. Menatap tanpa lepas dengan acuan tancapan iris mata yang tak beralih.
“Ayah,” panggil Sekar lirih.
Laki-laki itu masih saja diam. Bahkan kedua pandangan matanya terasa aneh, Pak Surya menatap Sekar dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Ada sebuah ketidakpercayaan yang membuatnya begitu melihat wajah dan juga penampilan Sekar yang amburadul itu.
“Sekar.”
“Yah, aku ingin minta bantuan ayah.”
“Kenapa kamu kembali lagi ke rumah ini? Ayah tidak mau melihatmu lagi Sekar.”
Seketika, kedua mata Sekar berkaca-kaca. Dan tak lama, kedua mata itu pun pecah seketika. Sekar merasa sangat sedih. Dia yang sepertinya telah kehilangan arah. Kini harus menanggung kembali kata-kata yang sangat menusuk hatinya.
Sekar bersujud di bawah lutut sang ayah. Dia meminta dengan kerendahan hatinya, agar sang ayah kembali memafkaannya dan mengijinkan Sekar untuk bisa tinggal bersamanya lagi.
Pak Surya terdiam dengan tolak pinggang setinggi d**a. Hatinya masih sekeras batu, apa yang dia ingin tentang kejadian beberapa waktu lalu masih sangat membekas di hatinya. Pak Surya yang saat itu diselimuti kemarahan yang sangat hebat maha dahsyat.
Dan kini kondisinya berbalik, Sekar telah kembali dengan tangisnya yang menggunung. Seolah membuat hati pak Surya sedikit luluh. Kedua tatapan matanya terus saja tertuju pada anak tirinya itu.
“Ayah, tolong maafkan aku.”
“Sekar, bangunlah!”
Mendengar ucapan sang ayah, Sekar merasa ada lampu hijau untuk langkahnya bisa kembali ke rumah. Sekar pun menatap kedua mata sang ayah penuh pengharapan. Meskipun masih terdapat sedikit keraguan dalam batinnya.
“Ayah mengijinkan aku untuk tinggal di sini lagi, kan?”
“Ya, tapi bersyarat Sekar.”
Sekar terdiam dengan jawaban sang ayah. Dia sama sekali tak menyangka dengan apa yang didengarnya itu. Sembari Sekar dibuat penasaran akan syarat yang akan diajukan oleh ayahnya.