Part 5 - Perjanjian

1158 Words
“Ibu, apa yang terjadi padamu, Ibu?” Suara Dimas merintih dalam kekhawatiran. Melihat sang Ibu telah jatuh di lantai tak berdaya. Tak sadarkan diri. Dimas sepulang kerja itu pun semakin panik, saat usahanya untuk membangunkan sang ibu tak ada hasilnya. Dimas mencari pertolongan segera, tak lama mobil ambulance segera membawa sang ibu ke rumah sakit. Malaikat penjaganya itu kini telah berjuang di ruang Instalagi Gawat Darurat, hingga tak lama ruang ICU menjadi tujuan sang Ibu. Dimas berbalut cemas yang sangat dalam. Dia takut dengan kondisi sang ibu yang sudah lama mengidap penyakit jantung itu. Dimas tetap memohon untuk sebuah kesembuhan yang diidamkan. “Mas Dimas, bisa ke ruangan saya, ada hal penting yang ingin saya sampaikan.” Suara dokter itu membuat Dimas segera melangkah dengan cepat. Dia tak sabar untuk mendengar kondisi ibunya. Ruangan kerja dokter itu menjadi tujuannya. Duduk menatap wajah dokter penuh pertanyaan. Dimas mencoba tenang, meski riuh hatinya tak bisa dibohongi. “Bagaimana kondisi ibu saya dokter?” “Begini Mas Dimas, setelah kami melakukan pemeriksaan, kami melihat arteri koroner ibu anda sudah penuh dengan plak, sehingga menghalangi aliran pembuluh darahnya, kami harus segera mengambil tindakan agar ibu anda bisa diselamatkan.” “Tolong berikan yang terbaik untuk ibu saya, Dokter.” “Untuk itu, kami harus melakukan operasi pasang ring, Mas Dimas.” “Pasang ring, Dokter?” “Iya, Mas, untuk itu silakan selesaikan dahulu untuk administrasinya.” “Kalau boleh tahu berapa biayanya, Dok?” “Kurang lebih sembilan puluh juta, nanti bisa ditanyakan di bagian administrasi untuk kejelasannya.” Dimas tertohok dengan penjelasan dokter. Pembicaraan itu pun berakhir, saat sang dokter akan kembali memeriksa pasien lain. Kini Dimas dalam kesendirian penuh kegundahan. Dari mana dirinya bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Pekerjaannya hanya sebagai kuli bangunan, tak mungkin bisa memenuhi biaya operasi sang ibu. Dimas terduduk kaku. Dia tak tahu bagaimana caranya mencari jalan keluar untuk kesembuhan ibunya. Dia merasa ingin meneteskan air matanya, namun tak dilakukan. Dia mencoba setegar mungkin meski matanya sudah berkaca-kaca. Dunia dan semesta seakan mencekik kondisinya saat ini. Badai seperti melumpuhkan mimpinya. Menyulitkannya untuk mencapai asa setinggi gunung, Dimas tak kuasa mendaki sampai ke puncaknya. Mega mendung menggantung, bola binar itu mulai berembun. Hujan pun jatuh dari kelopak matanya. tubuhnya lunglai, luruh lalu menderukan jerit yang terdengar. Langit sekan runtuh, impiannya telah jatuh, seperti serakan dedaunan yang gugur. Kata-kata sembilan puluh juta menjadi beban berat di pundaknya. Pikirannya seperti hologram yang menghadirkan lobang hitam. Apa yang ditakutkan seolah berhamburan, menyesaki setiap mikron sel otaknya. Dimas tak punya apa-apa selain rumah yang ditempatinya, sebuah rumah kecil peninggalan ayahnya, yang kini menjadi tempat dia dan ibunya berteduh dari panas dan hujan. Dimas harus segera menyelamatkan ibunya, dia tak ada pilihan lain. Selain menjual satu-satunya harta yang dimilikinya itu. Demi sebuah nyawa yang amat dicintainya. *** Tubuh itu tergeletak di lantai kamar mandi. Dengan sebotol detergen cair di sampingnya. Pak Surya yang melihat Sekar terbujur kaku, dengan mulut yang mengeluarkan busa. Baju yang dikenakan itu pun basah karena lantai yang terkena air. Namun pak Surya tak menghiraukannya. Segera dibopong dengan kekhawatiran teramat sangat. “Fauzi, tolong bantu saya untuk membawa Sekar ke rumah sakit.” Fauzi yang melihat kondisi Sekar itu pun segera menuju ke mobilnya. Mengoperasikan mobilnya dengan sangat cepat. Rumah sakit yang terletak tak jauh dari rumah Sekar pun menjadi tujuan bersama. Tim kesehatan itu pun segera menangani Sekar. Menuju sebuah ruangan Instalasi Gawat Darurat. Pak Surya sama sekali tak banyak bicara. Dia amat mengkhawatirkan putrinya. Ketakutan pun sempat menghantui pikirannya. Mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. “Fauzi, tolong tunggu Sekar ya, Bapak mau ke kamar mandi dulu.” “Baik, Pak.” Mengalihkan sebuah kekhawatiran. Sebenarnya Pak Surya tak tahu akan kemana kakinya melangkah. Dia hanya ingin menenangkan dirinya sebentar. Dia pun berjalan, sedikit menjauh dari ruang IGD. Saat akan berbelok arah, seorang laki-laki tak sengaja menabrak pundaknya. “Kalau jalan hati-hati,” Tegur pak Surya pada laki-laki itu. Dua tatapan mata itu bertemu. Seorang pemuda yang sangat dikenal oleh Pak Surya. Laki-laki yang tak pernah disukai olehnya, laki-laki yang membuat putrinya seakan melawan keinginannya. Dimas pun tahu siapa laki-laki yang berada di depannya. Dia adalah ayah dari seorang wanita yang amat dicintainya. “Pak Surya.” “Dimas.” “Bapak sedang apa di rumah sakit? Bagaimana kabarnya, Pak?” Pak Surya terdiam. Dia tak mau mengatakan bila keberadaannya di sini karena Sekar. Pak Surya tak mau bila Dimas mengetahui bila Sekar telah terbaring lemah. “Bukan urusanmu,” jawab Pak Surya. “Baik, Pak, kalau begitu saya permisi dulu.” Dimas meninggalkan Pak Surya yang masih diam berdiri seorang diri. Pak Surya pun merasa penasaran dengan keberadaan Dimas. Dia takut bila Dimas mengetahui Sekar sedang tak sadarkan diri. Pak Surya pun mengikuti langkah Dimas. Hingga langkah kaki itu terhenti di balik dinding kamar rawat. Dimas telah berdiri di depan tempat informasi. Pak Surya menatap dengan keingintahuannya. “Mbak, saya mau tanya untuk biaya operasi ibu saya, atas nama Sulastri.” Petugas informasi itu terlihat sedang mengecek data di komputernya. Tak lama pandangan mereka pun bersatu dalam sebuah pembicaraan. “Untuk biaya pasang ring sembilan puluh dua juta, Pak.” “Kapan batas pembayarannya, Mbak?” “Pembayaran bisa diangsur lima puluh persen dulu agar pasien bisa cepat diberi tindakan, namun jika belum ada pembayaran, pihak rumah sakit juga tak berani untuk melakukan tindakan apa pun.” “Baik, Mbak, terima kasih.” Dimas kembali terduduk kaku pada sebuah kursi. Pikirannya hanya fokus pada biaya. Lima puluh persen dari sembilan puluh dua juta, masih sangat berat dipikirannya. Dia harus segera mendapatkan uang senilai empat puluh enam juta, agar ibunya segera mendapatkan penanganan. Biaya itu teramat besar bagi Dimas. Pak Surya yang melihat Dimas dengan wajah pucatnya. Seakan mengerti apa yang telah dialami pemuda itu. Pak Surya tersenyum lebar. Dia mendekati Dimas segera. Ada sebuah cara yang datang, ide bagus itu pun membuat pak Surya tersenyum. “Jadi kamu sedang butuh biaya untuk operasi ibumu?” Dimas mendongakkan kepalanya. Melihat Pak Surya telah berdiri di depannya. Dimas pun segera beranjak dari kursi yang dijadikannya tempat untuk bersandar. Lalu mata itu kembali menatap pak Surya dengan penuh. “Iya, Pak, Ibu harus operasi pasang ring.” “Aku bisa membantumu, Dimas.” Mata Dimas seolah berbinar. Ada cahaya harapan yang kini dicarinya. Dia pun memandang serius pak Surya dengan senyum mengembang di bibirnya. “Bapak bisa bantu saya?” tanya Dimas sedikit tak percaya. “Tentu, tapi ada syaratnya.” “Saya akan lakukan apa pun itu, asal Ibu Saya bisa sembuh Pak” “Oke, aku akan membayar lunas sekarang untuk biaya operasi Ibumu.” “Terima Kasih, Pak.” “Bersiaplah dengan persyaratan yang harus kamu lakukan, Dimas.” Kata terakhir itu mengiringi kepergian pak Surya dari hadapannya. Dimas seolah bertanya-tanya. Syarat apa yang akan diajukan Pak Surya untuknya. Ada sedikit ketakutan menyelami hatinya. Dimas mencoba sedikit menepisnya, setidaknya ibunya bisa segera dioperasi. Meski dirinya belum tahu apa yang akan dilakukan dengan sebuah perjanjian itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD