Part 47 - Terbongkar

1753 Words
Ningrum harus menerima kenyataan bahwa dia tak lagi melihat suaminya. Berdiri dengan wajah linglung. Ningrum seolah tak tahu apa yang akan dilakukannya. Menatap wajah Anya penuh. Tanpa harus mengeluarkan kata-kata. Setelah diam dan hanya memandang wajah polos Anya. Tiba-tiba saja Ningrum kembali mengingat ponselnya. Dia memilih untuk segera pergi tanpa pesan. Dia terburu-buru dan langkah kakinya dengan cepat meninggalkan tempat yang membuatnya merasa tertegun sebelumnya. Berada di dalam mobil. Ningrum nampak mencar-cari ponsel yang tadinya dibanting itu. Kedua matanya berfokus pada sela-sela jok mobilya. Dia menemukan ponsel yang sedang dicarinya itu. Ningrum segera menghubungi Toni. Sayangnya panggilan itu sama sekali tak mendapatkan jawaban. Kini Ningrum mulai resah dengan apa yang didapatnya itu. Masih dilanda rasa penasaran yang menjulang tinggi. Ningrum memilih untuk membawa mobilnya ke kantor suami. Dia ingin segera bertemu dengan suaminya. Ingin segera memastikan atas pertanyaan yang masih saja membingungkan itu. *** Di kantor suami, Ningrum tak mendapatkan sosok suami berada di ruangannya. Bertanya kepada sekretaris pribadi Toni, ternyata jawaban yang didapat Ningrum kembali membuat kekecewaan terasa begitu mendalam. Tak ada Toni di kantor. Ningrum mengernyitkan dahinya. Merasa jika suaminya kini sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Ningrum pun beranjak. Dia tak ingin lagi merasa terpuruk atas apa yang telah diterimanya itu. Ningrum memilih untuk mendinginkan perasaannya sendiri. Dia memilih untuk pergi ke salon langganannya. Ingin sekadar merefleksikan seluruh tubuh yang begitu terasa kaku. Alih-alih, pandangan mata Ningrum benar-benar tertancap pada sebuah mobil yang tepat terparkir di samping mobilnya. Ningrum menancapkan pandangan untuk memastikan atas apa yang dilihatnya itu. Segera turun dari mobilnya. Ningrum sangat-sangat terkejut. Dia melangkah dengan cepat. Dan dengan perasaan seperti diperas. Ningrum menatap dengan sangat tajam. Pada sosok laki-laki yang berdiri di ujung ruangan. *** Hanum semakin hari hatinya semakin berdebar erat. Hari pernikahan yang telah ditentukan kini sudah semakin dekat. Pingit menjadi salah satu tradisi yang harus ditunaikan. Hanum menjalani hari-harinya di dalam rumah. Tak ada pertemuan apa pun dengan sang calon suami. Dia benar-benar merasa bahwa semua ini adalah mimpi. Dua kali gagal menikah, awalnya Hanum harus menerima nasib buruk karena sebuah perselingkuhan yang dilakukan oleh mantan suaminya. Bercerai adalah sebuah keputusan yang ditempuh. Meskipun luka itu dibawa hingga menjalani kehidupan yang sangat pahit. Gagal di pernikahan pertama tak membuat Hanum menyerah. Dia terus berusaha untuk bisa menata hidup yang lebih baik. Hingga suatu ketika, Hanum pun mendapatkan kesempatan untuk kembali merasakan indahnya cinta. Kasih sayang tulus dari seorang laki-laki membuatnya kembali bisa tersenyum lebar dengan sebuah pernikahan keduanya. Pernikahan kedua itu, Hanum mendapatkan anugerah terindah berupa hadirnya seorang malaikat kecil. Tak lama berselang, sang suami yang begitu dicintai jiwa dan raganya. Ternyata takdir dan semesta seolah tak berpihak kepadanya. Hanum harus menerima sebuah kondisi yang menyulitkan. Suami tercintanya meninggal karena sebuah kecelakaan. Hanum kembali menjalani kehidupan seorang diri, hanya berteman dengan buah hatinya yang selalu menjadi penyemangat utama. Hanya saja, Tuhan kembali mengambil harta berharganya itu. Bak dunia terasa hancur tanpa hadirnya sang anak. Tak ada harapan lagi untuk menjalani kehidupan yang hanya berisi dengan kenangan penuh tangis itu. Mencoba tegar, namun semua begitu sulit untuk dipraktekkan. Hingga suatu ketika, waktu kembali memberikan seutas harapan bagi Hanum. Dia yang sebelumnya sama sekali tak menyangka akan mendapatkan kembali sebuah rasa yang diagungkan. Nyatanya, Hanum kembali bisa membangun sebuah harapan lagi dengan laki-laki yang selalu membantunya. Dan kini hanya tinggal menunggu hari. Hanum akan melepas masa jandanya dengan sebuah pernikahan yang akan diselenggarakan itu. Bahagia bercampur haru. Dia berharap jika apa yang kini diharapkan akan menjadi mimpi terakhirnya. Laki-laki yang sudah diyakininya itu mampu untuk terus membersamai Hanum hingga mata tak lagi bisa melihat dan napas tak lagi bisa berhembus. *** Ningrum tak bisa lagi diam dengan apa yang dilihatnya. Dia segera melangkah dengan cepat mengarah ke suaminya. “Jadi begini kelakuanmu di belakang aku, Mas.” Toni merasa terkejut dengan kehadiran istrinya itu. Seketika dirinya segera meraih tangan Ningrum dan mengajak Ningrum untuk keluar salon. Hanya saja, pandangan mata Ningrum tak bisa lagi dibohongi. Pandangan mata nanar itu membuat Ningrum menamatkan pandangan matanya pada sosok wanita yang telah merubah gaya rambutnya itu. Ningrum mendekat dan emosinya pun seolah meledak-ledak. “Fani, apa yang kamu lakukan dengan suamiku?” Wanita bernama Fani itu hanya diam, seolah tak peduli. Dia memilih untuk fokus pada perawatan rambutnya. Serta pandangan matanya terus saja menuju ke cermin. Toni merasa panik. Dia tak mau jika di tempat umum yang sedang banyak pengunjung itu, akan membuat kegaduhan yang tak diinginkan. Toni melihat istrinya yang terus saja tertuju pada Fani, kedua matanya tak beralih. Bahkan Ningrum menamatkan pandangannya dari kaki hingga kepala. Dia begitu tak mengerti akan apa yang kini diketahuinya. Sebuah kalung berinisial “F” yang menghiasi leher Fani. Dan satu lagi benda yang membuat Ningrum tercengang. Sebuah ponsel yang begitu dikenalnya, softcase yang masih tak diganti. Teringat ucapan Toni yang mengatakan jika ponsel miliknya hilang. Akan tetapi kini kebohongan itu terungkap jelas. Dia begitu yakin dengan apa yang dilihatnya. Mata Ningrum tak bisa menahan pemandangan itu. Kristal bening menghiasi kedua pipinya. Toni menarik tangan Ningrum dengan paksa. Ningrum pun menahan rasa sakit pada tangannya. Dia terpaksa mengikuti apa yang suaminya lakukan itu. Batin dan juga dirinya seperti tersiksa. Diam atas apa yang telah ditermanya itu. “Ningrum, pulang sekarang!” “Jadi ini yang kamu katakan sebagai klien, tega sekali kamu, Mas.” “Kita bicara di rumah, jangan buat keonaran di sini.” “Gak perlu, aku tak mau lagi bicara sama kamu, Mas.” Ningrum kemudian cepat-cepat melangkah mendekati Fina. Wanita yang tak lain juga merupakan sahabat dekatnya. Dia begitu sangat kecewa, seperti tertusuk belati. Tak segan, Ningrum segera mengangkat tangannya dan menampar Fani dengan sangat keras. “Dasar pelakor, sahabat macam apa kamu mengambil suami sahabatnya sendiri!” “Berani ya kamu menamparku!” “Kenapa? Aku gak perlu takut sama pelakor model sepertimu, w***********g!” Fani pun tak terima dengan apa yang dilakuka Ningrum kepadanya. Tak peduli jika mereka sedang menjadi pusat perhatian banyak orang. Dengan cepat Fani menarik rambut Ningrum dan keduanya pun beradu tengkar. Toni yang melihat hal itu segera melerai. Dia tak mau sebuah pertengkaran itu akan terus berlanjut. Menarik istrinya dengan tarikan yang lebih kuat. Mengajak Ningrum untuk segera keluar dari salon. Sedangkan Fani menarik napas panjang, dan dirinya kembali merapikan rambutnya. “Lepaskan tanganku, Mas.” “Jangan buat keributan di sini, kamu hanya memperkeruh suasana, Ningrum.” “Kenapa? Kamu takut jika semua orang tahu akan kelakuan burukmu itu?” “Diam.” Toni diambang kemarahan. Dia menampar istrinya dengan sangat keras. Sembari menarik tangan Ningrum menuju ke mobil. “Pulang sekarang, atau aku akan melakukan hal lebih parah padamu.” “Iblis kamu, Mas!” Kemarah Ningrum memuncak. Dia menangis tersedu di dalam mobilnya. Bahkan dia hanya bisa diam melihat suaminya bersama Fani yang masuk dalam satu mobil dan meninggalkan area salon. Membanting setir dengan sangat keras. Hatinya kini seperti hancur lebur. Air mata melewati segala gundah yang bergelayut dalam dadanya. Sakit teramat sakit, melihat seseorang yang dicintainya kini berkhianat dalam sebuah ikatan yang disebut pernikahan. Ningrum masih saja berada di tempat itu. Dia berusaha untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Tak berani bila dirinya harus membawa mobil dengan pikiran berkecamuk penuh dengan sesak. Air mata terus saja menganak sungai. Tak tahan dengan sikap dan kenyataan yang harus diterimanya. Ningrum seorang diri, masih dalam nestapa yang bergulir. *** “Riska, mana cucuku?” Suara pak Surya membuyarkan konsentrasi Sekar yang tengah mencuci botol s**u formula. Dia segera melihat ke arah ayahnya sendiri, meski masih dalam sebuah penyamaran. “Maf pak, Pras sedang tidur.” Sekar mencoba menjawab dengan singkat. Sembari dirinya tak ingin berbicara panjang dan lebar kepada ayahnya sendiri. Hanya karena dirinya menjaga agar penyamaran tetap terlindungi. “Kamu sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu?” Sekar terkejut dengan ungkapan yang baru saja didengarkan. Dia begitu sangat takut, bila ayahnya mengenali akan jati dirinya. Sekar menghela napas, sembari mencoba untuk menenangkan dirinya. Sekar mengalihkan pandangannya, dia tak mau melihat wajah ayahnya sendiri. Baginya ketakutan itu mulai menyelubung tanpa diminta. “Maaf Pak, saya ijin ke belakang sebentar, masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan.” “Tunggu dulu, kamu belum menjawab pertanyaan saya. Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu?” “Tidak Pak, saya tidak menyembunyikan apa-apa, saya permisi.” Dengan terburu-buru. Sekar pun segera melangkah untuk melenggang pergi dari hadapan pak Surya. Sepertinya sang ayah telah mencurigai akan dirinya itu. Sekar semakin berpikir penuh, ketakutannya pun menyelubungi setiap peredaran darahnya. Sekar masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Dia mengambil ponselnya, Sekar butuh seseorang untuk menenangkan rasa kekhawatiran yang semakin meninggi. Sekar segera menghubungi Teguh, seolah dirinya butuh solusi atas apa yang terjadi dalam harinya. “Mas, aku sedang bingung.” “Ada apa?” “Ayahku sekarang tinggal di sini, Mas. Dan sepertinya dia curiga dengan penyamaranku.” “Sekar, kamu harus bisa bersikap tenang, jika kamu panik semua orang akan semakin curiga, tetap tenang dan berperanlah sebagai Riska secara totalitas.” “Tapi aku takut, Mas.” “Semua akan baik-baik saja, yang penting kamu tetap yakin dan menjaga performa dengan baik.” “Iya, Mas.” *** Ningrum yang sudah mulai bisa mengontrol tangisannya. Dia dengan cepat segera memanuver mobilnya. Pikirannya terus saja tertuju pada wajah Fani yang membuatnya begitu sangat geram. Dia tak bisa tinggal diam dengan apa yang tengah terjadi dalam biduk rumah tangganya. Rasa tak percaya ikut serta berkecamuk dalam dadanya. Fani yang dikira adalah seorang sahabat yang baik. Ternyata malah menikungnya dari belakang. Mengingatkan kembali pada sebuah pertemuan di sebuah pesta. Di mana Ningrum mengenalkan suaminya pada Fani. Pertemuan itu pasti membuat sebuah sinyal yang tak mampu ditangkapnya. Kini semua menjadi pertanda yang begitu meriuhkan dirinya sendiri. Ningrum membawa mobilnya dengan sangat cepat. Dia tahu ke mana harus pergi pada sebuah tujuan. Dia ingin melampiaskan kemarahannya yang tak terbendung lagi. Mengusap sisa-sisa air mata yang masih menghiasi pipinya. Dia bertekad bulat dengan keinginan yang kini menyelimuti dadanya. Hingga mobil yang dikendarai Ningrum terhenti di sebuah rumah yang sangat dikenalnya. Rumah yang dulu merupakan rumah pribadi dirinya dan keluarga. Rumah yang dipindahtangankan pada seorang wanita yang tak lain adalah Fani. Pintu gerbang rumah yang terbuka lebar. Membuat Ningrum bisa dengan mudah memasukkan mobilnya di halaman rumah Fani. Pandangan mata Ningrum seakan nanar. Dia memicingkan matanya, lalu meraih sebuah benda tajam yang ada di dasboard mobilnya. Ningrum melangkah perlahan, menutup pintu mobil. Lalu dirinya berjalan menuju ke pintu rumah Fani. Sembari tangan kanannya nampak memegang benda tajam dan disembunyikan di belakang pinggangnya. Mengetuk pintu berkali-kali. Dia seolah siap dengan benda yang disembunyikannya itu. sembari dua pandang matanya yang tak lepas dari pintu yang masih saja tertutup erat.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD