Gibran termenung, duduk di kursinya sambil memperhatikan Rahel yang sedang menjalani pemeriksaan.
Ada bayi?
"Pasien hanya mengalami muntah yang wajar. Tidak perlu khawatir. Mungkin muntahnya lebih sering terjadi, juga dipengaruhi oleh terlalu banyak pikiran." Dokter kembali ke kursinya setelah memeriksa pasiennya, dia mengambil catatan dan mulai menuliskan resep.
Gibran yang diajak bicara oleh dokter hanya diam. Tapi buru-buru dia mengangguk. "Apakah dia baik-baik saja? Wajahnya sangat pucat!"
"Yah, nona Rahel baik-baik saja. Nanti saya akan kasih obat, pasien hanya harus banyak istirahat dan sebaiknya tidak terlalu banyak pikiran. Tapi sebenarnya bukan hal aneh, untuk trimester awal. Jadi keluarga harus lebih memperhatikan lagi!" Dokter agak bingung menjelaskannya, karena yang diajaknya bicara adalah remaja laki-laki berseragam SMA.
Rahel yang baru saja selesai membenahi bajunya, duduk di sebelah Gibran. Merasa lega, karena ternyata dia hanya terlalu over thinking. Awalnya dia pikir akan ada kemungkinan harus dirawat di rumah sakit, tapi dokter bilang dia akan baik-baik saja asalkan bisa menjaga pikiran tetap tenang. Semua ini karena Malik!
"Dok, saya masih kuliah. Apakah ada obat yang bisa bikin saya berhenti muntah, karena aktivitas saya jadi terganggu!" Rahel bertanya dengan serius, tapi dokternya malah hanya tersenyum, sehingga muncul kerutan di wajahnya.
"Nona Rahel harus bersabar. Mungkin hal seperti ini hanya terjadi di trimester awal saja. Nanti setelahnya, reaksinya akan lebih ringan!" Dokter memperhatikan gadis muda di depannya dan juga remaja laki-laki di sebelah. Bagaimana anak-anak muda yang masih bodoh dan minim pengetahuan ini akan menjadi orangtua?
"Dok, saya bukan ayah bayi itu!" Gibran sudah menebak pemikiran dokternya, jadi dia menjelaskan lebih dulu.
Dokter hanya tersenyum, dia berharap dua anak muda itu tidak berbohong. Karena kasusnya akan berbeda, jika benar remaja laki-laki yang masih berseragam SMA, tapi sudah akan menjadi ayah.
"Dok, dia memang bukan ayah bayi. Bagaimana mungkin anak kecil sudah bisa bikin bayi!" Rahel mengatakan kalimat terakhir dengan suara lirih. Hanya Gibran yang bisa mendengarnya.
Reaksi Gibran hanya mendengus, karena telah diremehkan. Tapi dia tidak terlalu memikirkannya.
"Terimakasih, dok!" Gibran menerima resep obat dan buku perkembangan bayi, kemudian bangkit dari duduknya, sambil mengawasi Rahel.
Rahel juga mengucapkan terimakasih, mengikuti langkah Gibran. Keduanya keluar dari ruangan dokter Obgyn. Seorang perawat mengantarkan mereka untuk melakukan p********n.
"Duduklah di sana. Aku akan membantumu membayar dan mengambil obatnya!" Gibran menunjuk pada deretan kursi di depan meja resepsionis.
Rahel mengangguk, karena dia tidak membawa dompetnya. Jadi terpaksa harus bergantung pada Gibran, dia akan menggantinya di kosan.
"Terimakasih!" Rahel berbalik, berjalan ke arah tempat duduk, sesuai arahan Gibran.
Rasa mualnya masih ada, tapi karena dia tidak lagi merasa khawatir, tiba-tiba membuatnya merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sekarang dia juga percaya, kalau pikiran sangat mempengaruhi kondisi tubuhnya.
Gibran baru melanjutkan langkahnya, setelah memastikan Rahel duduk di sana dengan baik. Perawat yang mengantarnya juga sangat baik untuk mengerti kekhawatirannya.
Gibran sekarang merasa harus lebih memastikan kalau Rahel baik-baik saja. Karena Rahel memiliki bayi. Gadis itu tidak sendirian, ada nyawa lainnya bersamanya.
Selagi menunggu, Rahel hanya duduk memperhatikan sekitarnya. Dia kembali ingat dengan kejadian beberapa hari lalu, saat dia dibawa oleh orangtuanya ke rumah sakit. Zahra mengatakan pada orangtuanya kalau wajahnya pucat dan selalu tidak nafsu makan. Jadi orangtuanya menyetujui saran Zahra untuk membawanya ke dokter. Tidak pernah terpikirkan olehnya, kalau ternyata Zahra sengaja melakukannya. Wanita itu sudah curiga kalau dia hamil, dan sengaja agar meminta orangtuanya membawanya untuk diperiksa.
Jika saja dia tahu sejak awal tentang kehamilannya, mungkin situasinya tidak akan seburuk itu. Setidaknya, dia memiliki persiapan mental. Betapa bodohnya dia, tidak menyadari tentang kondisi tubuhnya sendiri.
Rahel lama termenung, emosi komplek kembali meluap mencapai rasa sakit di hatinya. Matanya berkaca-kaca, sambil tersenyum pilu mengingat kekecewaan orangtuanya.
Saat itu, pandangannya tanpa sengaja melihat dua sosok yang tidak asing. Kenapa dunia ini sangat sempit? Baru kemarin dia melihat Malik, sekarang dia sudah melihatnya lagi.
Rahel melihat cara Malik tersenyum pada gadis di sebelahnya. Mereka tampak sangat bahagia.
Dengan sadar, dia bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti jauh di belakang mereka. Rahel tidak tahu kenapa dia ingin tahu kemana mereka pergi. Mungkin karena dia merasa marah dan cemburu?
Cemburu? Kenapa? Tidak, Rahel hanya merasa kecewa dan tidak adil. Rahel berjalan di belakang mereka, sampai dia melihat dua orang itu masuk ke sebuah ruangan.
Saat melihat ke dalam ruangan melalui kaca kecil di pintu, Rahel tidak tahan untuk tidak menangis.
Di dalam sana, Malik dan Angel sedang tersenyum mendengar mamanya Malik bicara.
Hanya satu hal yang ada di dalam pikiran Rahel saat ini. Jadi orangtua Malik juga sepertinya sudah mengenal pacar baru Malik, atau mungkin mereka sudah tahu Malik memiliki kedekatan dengan Angel, saat masih berpacaran dengannya.
Kenapa semua orang jahat padanya? Menipunya seperti orang bodoh.
Rahel dulu cukup dekat dengan orangtua Malik, karena orangtuanya sendiri tidak ada di Jakarta. Selama dua tahun berpacaran dengan Malik, dia telah menganggap orangtua Malik seperti orangtuanya sendiri. Karena mereka juga memperlakukannya dengan sangat baik. Tapi sepertinya hanya dia yang terlihat berlebihan menilai sikap baik mereka.
Berbalik dan berjalan kembali ke tempat duduknya tadi. Rahel menangis dengan senyuman di wajahnya. Hanya merasa menyesal, pernah begitu mempercayai Malik dan mencintainya. Karena yang dia dapatkan sekarang adalah luka tidak berdarah.
"Ada apa?" Gibran sudah memperhatikan dari jauh, saat berjalan menghampirinya, kalau gadis itu sedang menangis.
Rahel menggelengkan kepalanya, tapi semakin ditanya, semakin sakit pula hatinya. Kakinya melangkah maju dan menubruk Gibran, memeluknya erat.
Dia tidak memiliki siapapun. Malik bukan hanya melukainya, tapi juga membuatnya kehilangan orang-orang penting dalam hidupnya. Membuatnya merasa ditinggalkan oleh dunia.
Gibran terkejut, dia panik. Karena Rahel tiba-tiba saja menangis seperti itu setelah dia tinggal sebentar. Apakah sesuatu terjadi saat dia sedang mengambil obat?
Beberapa orang di sekitar tentu memperhatikan kedekatan dua anak muda yang sedang berpelukan. Mereka hanya menggeleng, karena berpikir anak-anak muda itu adalah saudara. Berpikir mungkin kerabatnya sedang sakit atau mungkin meninggal.
Rahel baru berhenti menangis setelah kembali merasa tenang. Tapi setelah menangis, kepalanya jadi pusing. Meskipun begitu, sekarang dia sudah cukup tenang untuk berpikir lebih baik.
Untuk apa menangisi orang jahat yang telah menyia-nyiakannya. Kenapa juga dia harus merasa sangat terluka, setelah mengetahui kalau Malik memang laki-laki b******k. Seharusnya dia hanya perlu menyesal, tidak perlu merasa sangat terluka.
"Sudah merasa lebih baik?" Gibran juga merasakan perubahan emosi Rahel.
Melihat Rahel mengangguk dan mulai melepaskan pelukannya, Gibran merasa kembali bisa bernapas lancar. Karena bagaimanapun, dia bukan orang yang pandai menghibur orang lain saat sedang menangis.
"Ayo, kita beli minum. Setelah kamu minum obat, baru kita pulang!" Gibran berjalan lebih dulu di depan, tapi langkahnya agak lambat, untuk mengimbangi langkah kecil Rahel.
Rahel tidak banyak bicara, tapi dia lebih banyak menunjukkan senyum pada Gibran. Berterimakasih, karena meskipun mereka bukan tetangga dekat, bahkan baru saling mengenal, tapi Gibran telah memperlakukannya dengan baik.
_
Setelah sampai di kosan, Gibran langsung kembali ke kamarnya sendiri. Karena berpikir Rahel harus beristirahat. Meskipun masih khawatir, tapi Gibran mengeraskan hatinya untuk tidak terlalu ikut campur. Sudah cukup baginya hari ini bertindak terlalu banyak.
Sebenarnya Gibran merasa tidak enak pada Rahel. Dia mengetahui tentang kehamilannya, apakah Rahel akan menjadi malu karena hal tersebut. Dia tidak bermaksud untuk mengetahuinya, karena awalnya dia pikir Rahel sedang sakit maag.
Gibran hanya tahu kalau Rahel adalah penghuni lama di kosan tersebut. Masih kuliah dan sepertinya juga masih lajang. Lalu bagaimana gadis itu hamil, Gibran berusaha untuk tidak penasaran. Memutuskan untuk tidak lagi terlalu mencampuri urusan Rahel.
Tekad Gibran untuk tidak lagi ikut campur urusan Rahel sangat kuat. Dia mencoba untuk menghindari bertemu Rahel terlalu sering. Jadi waktunya lebih banyak dihabiskan di luar. Setelah pulang sekolah, dia akan main ke tempat temannya atau ikut kegiatan di sekolah.
Rahel sendiri sudah bisa menyesuaikan diri. Dia masih selalu mengalami muntah di pagi hari atau saat selesai makan. Tapi sebagai orang yang sadar akan keadaannya sendiri, dia mencoba untuk tetap memasukkan makanan ke perutnya. Sekarang ada bayi yang butuh nutrisi lebih darinya.
Pergi kuliah seperti biasa dan pulang dengan membawa makanan. Main dengan temannya, atau mengobrol dengan penghuni kost lainnya.
Rahel menyadari, kalau Gibran telah dengan sengaja menghindarinya. Selain kunjungannya untuk mengembalikan uang, dia tidak pernah lagi bertemu Gibran.
Dia pikir, mereka akan jadi teman, tapi sepertinya dia terlalu banyak berpikir. Kenapa juga anak SMA mau menjadi teman seorang wanita hamil?
Gibran dan Rahel tidak menyadari, kalau mereka sebenarnya saling mengingat.