BAB 2

1241 Words
   Hari ini, Luzia kembali berkeliaran di sekitar kediaman keluarga Roulette. Gadis itu menyapa para mafioso dan memberikan senyum terbaiknya. Tidak ada yang aneh, namun beberapa orang terlihat memperhatikannya dengan baik. Taman di sekitar dalam keadaan basah, gerimis pagi itu juga cukup mendukung dan membuat hawa yang cukup dingin. Lorong-lorong yang bersih, dengan matahari pagi yang tersembunyi di balik awan hitam.    Luzia berada di sebelah timur mansion utama, ia memang sering berjalan dan menikmati pemandangan mansion itu dan akan menghabiskan hari-harinya hanya untuk bermain di sekitar mansion. Matanya menatap, mencari seseorang yang selalu menemaninya sejak kecil.  Sejenak, Luzia berhenti. Ia menatap seorang pria yang terlihat sedang berjalan di bagian seberang lorong panjang mansion bagian timur.    “Glizart!” panggil Luzia, ia berlari dan mendekati pria itu. Luzia terlihat begitu senang, ia tidak akan bisa menemukan orang seperti Glizart di manapun.    Glizart menatap sepupunya, ia tersenyum manis, “Ku kira kau sudah pulang.”    “Kau mengusirku?” Luzia langsung menggandeng tangan Glizard dan menatap beberapa pelayan yang sedang bekerja. Baginya, mereka semua juga seperti keluarga.    “Ck … sensitif sekali, aku hanya bertanya, Bodoh!” jawab Glizart.    “Tapi, nada bicaramu seakan mengusirku.” jawab Luzia.    “Baiklah, apa yang kau cari sepagi ini?”    “Aku mencarimu.” jawab Luzia. Luzia tersenyum, ia menatap sepupunya lalu melepaskan pautan tangannya pada Glizart. Gadis itu berdiri di depan Glizart, kedua tangan Luzia terulur dan mencubit pipi sepupunya gemas.    “Aaaa Luzia, ini sakit!” teriak Glizart. Pria itu berusaha melepaskan tangan Luzia, ia memeluk pinggang Luzia, mengangkatnya lalu berlari cepat.    “Kyaaaa … kita akan jatuh! Berhenti … Glizart, berhenti!” teriakan Luzia menggema dengan nyaring.    “Tidak akan! Dasar pendek!” Glizart terus berlari, ia berbelok ke arah belakang mansion, tempat yang sepi dan bisa mereka gunakan untuk berteriak sekencang mungkin.    Melihat hal itu, para pelayan dan mafioso hanya bisa menggelengkan kepala, mereka sudah terbiasa mendengar keributan anak-anak dari keluarga besar itu.    Luzia terus berteriak, suaranya begitu nyaring dan menggema di sepanjang lorong. Sementara itu, Glizart terus berlari, ia tahu jika Luzia begitu takut namun tidak peduli. Pria muda itu semakin mengeratkan pelukannya, tubuh Luzia terasa ringan namun gadis itu terus memberontak dan membuatnya harus bisa menjaga Luzia tetap aman.    “Hentikan!” teriak seorang pria. Ia baru saja keluar dari sebuah ruangan, pintu masih terbuka dan suara Luzia terdengar sampai ke dalam ruangan. Namun, percuma. Ia tidak akan didengarkan oleh kedua anak itu.    “Daddy, tolong! Glizart  menakutiku!” teriakan Luzia kembali terdengar, lorong sepi itu masih termasuk wilayah sebelah timur.    “Apa yang terjadi?” seorang wanita juga ikut keluar dari ruangan, ia menatap suaminya yang hanya menunjuk ke arah depan. Sedikit tersenyum, ia menggeleng pelan.    “Mereka selalu akan begitu jika bertemu.” komentarnya kemudian.    “Aku tak tahu kapan mereka akan dewasa.” Nero menatap istrinya. Ia merasa kelakuan Luzia dan Glizart sedari dulu tidak pernah berubah.    “Mereka hanya bermain, lagi pula, itu lebih baik daripada mereka saling bertengkar.” komentar Felica.    “Kau menginginkan anak perempuan?” tanya Nero. Pandangan mesumnya membuat Felica ingin melemparkan pisau-pisau bedah pada suaminya.    “Aku sudah memilikinya.” jawab Felica. Ia menunjuk ke arah Luzia yang masih bermain bersama Glizart.    “Aku juga menyukainya. Tapi, ibunya sangat menyebalkan.” Nero mencibir pelan, ia mengingat bagaimana Chaeri yang sangat menyebalkan di matanya.    “Kau tahu kenapa kelakuan Glizart berbeda dari saudara-saudaranya?”    “Apa?”    “Karena kau selalu mencibir kelakuan Chaeri, dan anakmu terlihat gila seperti Chaeri.”    “Aku heran, sebenarnya Luzia itu anak Chaeri atau anakmu.” Nero menatap istrinya lagi.    “Dia anakku, tapi lahir dari rahim Chaeri.”    Nero terkekeh, ia sangat ingat jika kelakuan Luzia sangat sama dengan Felica. Selalu melarikan diri dan membuat semua orang panik, Luzia bahkan akan terluka dan berakhir dengan pengobatan serius. Satu tahun, Luzia bisa kabur puluhan kali.    “Mommy, Glizart ingin membunuhku!” teriakan Luzia membuat Felica dan Nero kembali menatap kedepan. Mereka melihat Glizard yang berputar dan memeluk pinggang Luzia erat.    “Sebaiknya kita masuk.” Nero menarik tangan istrinya, ia menutup pintu dengan rapat.    “Hentikan! Glizart, hentikan!”    “Tidak! Kau harus diberi pelajaran, Bodoh!”    “Huaaaa … Daddy tolong!” teriak Luzia. Ia memejamkan matanya, kepalanya terasa pusing namun Glizard tidak menghentikan ulahnya.    Di balik bayangan, seorang pria hanya bisa mendesah lelah. Kelakuan dua orang yang membuat keributan itu benar-benar membuatnya semakin berpikir jika Luzia memang gadis yang merepotkan.    “Gadis bodoh itu terus saja membuat ulah.” Pria itu membalik badannya. Ia pergi, rasanya aneh saat memperhatikan seorang gadis yang baru saja ia kenal.          Sementara itu, Luzia dan Glizart kini berhenti, keduanya sama-sama duduk terduduk dan menahan kepala mereka yang terasa pusing. Lorong sepi itu tidak dilalui siapapun, gerimis berubah menjadi hujan dan membuat  siapapun memilih tidur di balik selimut tebal.    “Glizart!” Luzia menatap sepupunya yang hanya tertawa. Dia merasakan kepalanya begitu pusing. Semuanya berputar dan membuat wajahnya memucat.    “Ya, Luzia yang manis?” Glizart memamerkan deretan gigi putihnya, pria itu menatap Luzia yang perlahan berdiri lalu mendorongnya. Luzia menduduki perut Glizart lalu menjambak rambut sepupunya.    “Aaaa Luzia, ampun!” teriak Glizart. Ia membalik badannya, membuat Luzia terbaring di lantai. Tak berapa lama, Glizart memanfaatkan Luzia yang belum siap menyerangnya balik, ia berdiri, dan memegang kedua pergelangan kaki Luzia. Di seretnya tubuh Luzia dan menuju ke bagian utara.    Tubuh Luzia terseret, dibarengi dengan suara teriakan kesal serta sumpah serapahnya kepada Glizart.    “Ayo, berteriak sekencang mungkin!” titah Glizart.    Vicente yang kebetulan lewat hanya menggeleng. Bagi orang biasa, kedua anak dari keluarga mereka sedang bertengkar. Tapi, tidak bagi orang yang sudah sering melihat kelakuan dua orang tersebut.    Luzia menggunakan kekuatannya, ia menendangkan kakinya beberapa kali hingga Glizart melepasnya. Tak berapa lama, pegangan pada kaki Luzia terlepas. Ia bangun dengan cepat, lalu naik ke punggung Glizart.    “Luzia! Tubuhmu sangat berat!” tegas Glizart.    “Tidak, ayo gendong aku!” titah Luzia.    “Baiklah, kemana kita akan pergi?”    “Kita ganggu penjaga gerbang. Aku kesal padanya karena tidak pernah tersenyum.”    Setelah mendengar permintaan Luzia, Glizart segera berlari, ia menuju gerbang masuk dan tetap menggendong Luzia. Mereka seakan memiliki dunianya sendiri, tapi, begitulah mereka menjadi saudara yang saling menghibur.    “Kudengar, Arth menolakmu.” Glizart memelankan langkahnya. Sekarang mereka berada di bagian utara mansion utama dan berjalan santai ke arah gerbang. Keduanya sengaja bermain hujan, tidak peduli pada kesehatan yang bisa saja terganggu.    “Kau ingin menertawakanku?” tanya Luzia, ia bersandar di pundak Glizart, tangannya masih setia melingkar di bagian leher sepupunya.    “Aku khawatir, biasanya kau tidak akan terluka saat melawan musuh. Tapi, Daddy mengatakan kau sampai harus pingsan.    “Glizart, apa kau akan mengabaikanku nanti?”    “Tidak, kita saudara.”    Luzia mencium pipi Glizart, ia begitu senang dengan jawaban sepupunya.    “Kenapa kau terlihat begitu senang?”    “Kau tahu, seorang pria menyelamatkanku. Uncle Spade bilang, dia salah satu eksekutif menengah.”    “Kau tahu namanya?” tanya Glizart.    “Tidak, dia bilang aku bisa memanggilnya semauku.”    Glizart mengangguk, ia penasaran, nama apa yang Luzia berikan. Namun, belum sempat ia bertanya, Luzia sudah menjawab rasa penasarannya.    “Aku akan memanggil dia, Noel. Salah satu kucingku juga bernama sama dengannya.”    “Kau selalu menamai semua kucing dengan nama orang-orang di sekitarmu.” celetuk Glizart.    “Glizart berbulu pasti sangat ingin bertemu denganmu.”    “Kau menamai kucing pemberianku dengan namaku. Luzia, siapa lagi yang menjadi korban kebodohanmu.”    “Aku tidak bodoh, hanya saja, nama kucing-kucingku bisa membuatku mengobati rindu pada kalian semua”    “Lalu, siapa nama dua singamu? Aku lupa.”    “Yang betina, ku beri nama Shizuku. Yang jantan, ku beri nama Ace.”    Glizart tertawa, itu benar-benar sangat menghibur. Tak terasa, mereka sudah sampai di gerbang utama. Beberapa mafioso terlihat tidak peduli, mereka terus berdiri tegak dan mengabaikan kehadiran dua orang itu.    “Kau lihat? Mereka tidak pernah tersenyum.” Luzia menunjuk para penjaga gerbang.    “Kau benar, pasti sangat membosankan menjadi penjaga gerbang.” Glizart menurunkan Luzia, ia bertatapan dengan sepupunya, lalu mereka sama-sama menyeringai.    “Kau punya rencana?” tanya Luzia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD