Perhatian Kecil yang Istimewa

2228 Words
“Abang??” sapanya lirih.             Pria itu tersenyum manis dan sedikit meninggikan tubuhnya untuk menerima pelukan mendadak dari Naswa. Dia membiarkan wanita ini memeluknya erat, dan terus menahan tumpuan kedua kakinya di lantai.             Tangis Naswa pecah saat tubuhnya didekap hangat oleh pria yang sudah dia anggap sebagai Abangnya sendiri. “Katanya Abang gak pulang??” rengeknya dengan tangis masih terus terisak.             Dia tersenyum tipis, membelai rambutnya sembari sedikit menggeleng pelan kepalanya. “Bukan gak pulang … tapi kemarin Abang memang lagi sibuk,” balasnya seraya menenangkan hati wanita yang dulu sempat dia sayangi dan menganggapnya sebagai seorang wanita, namun sekarang dia menganggapnya sebagai Adik kandungnya sendiri.             Naswa semakin mengeratkan pelukannya, menyusupkan wajahnya pada ceruk leher pria yang selalu membuatnya merasa terlindungi dari segala bahaya. Pria yang selama ini selalu membantunya dan siap menjadi pundak dikala dia tengah bersedih. ..**..             Yah … pria itu, Muhammad Rifai Hasibuan. Pria berusia 31 tahun itu merupakan Kakak kelas Robby dan Daniel saat SMA. Mereka bertiga juga sudah mengenal Naswa sejak waktu yang sama.             Pria yang akrab disapa Pai itu memang terkenal sebagai sosok pria penyayang kepada semua wanita. Namun kedekatannya terhadap Naswa sejak dulu memang sudah sebagai sosok Abang beradik.             Dia juga merupakan ahli Information Technology sama seperti Robby dan Daniel. Namun jejaknya di dunia IT sudah lebih dulu dari pada 2 pria yang juga berteman baik dengan Naswa. Sebab dirinya yang memberikan pekerjaan itu untuk Robby dan Daniel setelah 2 pria itu lulus dari pendidikan tertinggi mereka.             Pai, pekerjaannya yang bergelut di dunia IT turut membantu segala permasalahan yang tengah dilanda oleh Naswa jika itu terkait pekerjaannya. Namun tidak untuk hal lain, Pai tidak mau melakukan apa yang dipinta oleh Naswa jika itu sangat mengganggu privasi.             Awalnya Pai tidak mau terlalu membuat pusing Naswa mengenai kecurigaan wanita itu terhadap sang Ayah, Panji. Namun lambat laun, dia semakin tidak tega saat Naswa terus menerus memohon padanya hingga dia membantu Naswa melacak segala informasi yang berkaitan dengan Ayahnya.             Saat setelah dia mengetahui kebenarannya, dia sangat syok. Sebab dia tidak tahu bagaimana cara untuk memberitahukan hal itu pada Naswa.             Namun dia pikir, dia memang harus memberitahunya sebab dia tidak bisa berbohong kepada Naswa. Apalagi Naswa pasti akan selalu mengejarnya, meminta penjelasannya darinya.             Dan saat Naswa mengetahui kebenarannya, dia tidak menunjukkan ekspresi apapun. Kecuali memendam segala perasaannya. Dan saat itu, dia memang sedang tidak berada di sisi Naswa.             Hingga beberapa minggu setelah Naswa mengetahui kebenaran itu, dia mendengar kabar dari sahabat Naswa, Erine. Erine menghubunginya dan mengatakan jika Naswa pergi dari rumah sebab dia bertengkar hebat dengan sang Ayah.             Tidak hanya sampai disitu, Mama Naswa juga hampir stress dan sering menunjukkan sikap untuk bunuh diri. Saat itu Naswa juga terlihat hampir gila melihat kondisi keluarganya.             Pai merasa bersalah telah memberitahu semuanya disaat yang tidak tepat menurutnya. Setelah mendengar berita itu dari Erine, dia langsung meminta surat cuti bekerja dan mengurus segala hal untuk kepulangannya ke Medan.             Dan setelah dia berjumpa dengan Naswa, dia berusaha menenangkannya. Dia mengajak Naswa liburan di sekitar Sumatera Utara dan membuat mood-nya kembali membaik.             Bahkan dia juga mengajak Adik Naswa, Miswari Nandini untuk ikut berbelanja dengan mereka. Sebab Pai tahu, kedua wanita itu sudah lemah saat mengetahui pria yang selama ini mereka banggakan justru memberi duri dalam kebahagiaan keluarga mereka.             Sejak kejadian itulah, Naswa menjadi sosok yang begitu manja padanya. Bahkan Pai sendiri tidak sanggup menolak permintaan Naswa yang menurutnya masih dibatas normal. …             Setelah beberapa bulan berlalu, keluarga Naswa sudah seperti biasa lagi. Meski dia tidak tahu bagaimana sikap Naswa dalam keluarganya, namun Pai merasa jika Naswa semakin dingin dan tertutup di keluarganya.             Naswa semakin bersikap kasar dan suka marah tanpa sebab. Dia berusaha untuk menerima semua keluhan dan amarah Naswa yang terlampiaskan padanya. Karena dia tahu, Naswa tidak memiliki tempat curhat lain, selain dirinya.             Pai tahu jika Naswa memiliki kekasih yang bernama Rangga. Seorang Dokter Ahli Jantung yang usianya 3 tahun diatasnya.             Dia tahu siapa Rangga dengan nama besarnya di Rumah Sakit Internasional, di kota Medan. Namun dia tidak bisa memaksa Naswa untuk mengeluh terhadap Rangga yang belum bisa dia percayai sepenuhnya.             Sebagai seorang pria, Pai memahami karakter Naswa yang tidak begitu nyaman dengan Rangga. Namun di sisi lain, Naswa masih mau meneruskan komitmen dengan Rangga bahkan sampai detik ini.             Dia tidak terlalu memikirkan hal itu. Sebab Naswa berhak menentukan pilihannya dan bersikap sesuai dengan kata hatinya. … Dan kini, Naswa kembali menyuruhnya untuk mencaritahu apakah sang Ayah masih berselingkuh atau tidak. Tidak ada alasan lain bagi Pai untuk menolaknya.             Sebab Naswa pernah mendapat teguran dari temannya jika Ayah Naswa tengah jalan berdua dengan selingkuhannya. Dan Naswa ingin membuktikan hal itu dengan meminta bantuan darinya.             Dia ingin menunjukkannya secara langsung, namun dirinya masih memiliki tanggung jawab yang harus segera diselesaikan. Akhirnya dia menyuruh Robby dan Daniel yang ternyata juga akan kembali ke Medan.             Pai meminta bantuan mereka untuk menunjukkan percakapan itu pada Naswa. Sebab dirinya tidak bisa ikut pergi ke Medan.             Namun setelah dia berpikir ulang, dia tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Sebab Naswa tidak pernah menunjukkan amarah yang sesungguhnya di hadapan keluarganya sendiri.             Akhirnya dia memutuskan untuk menyusul Robby dan Daniel ke Medan sehari kemudian. … Naswa semakin mengeratkan pelukannya, menyusupkan wajahnya pada ceruk leher pria yang selalu membuatnya merasa terlindungi dari segala bahaya. Pria yang selama ini selalu membantunya dan siap menjadi pundak dikala dia tengah bersedih. Dia semakin terisak, bahkan sampai cairan kental itu keluar dari hidungnya dan mengenai kaus abu-abu tipis yang dikenakan oleh Pai. Cengkeraman kuat pada kaus bagian punggung Pai, membuat Naswa semakin terisak dalam tangis diamnya. Pai tak tahan. Dia tidak bisa melihat dan berhadapan langsung dengan wanita yang sedang menangis. Apalagi saat ini dia sedang melawan hatinya, menerima tangisan Naswa, wanita yang sangat dia sayangi sebagai seorang Adik kecilnya. Sebab dia sendiri merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara di keluarganya. … 10 menit kemudian.,             Dia menahan posisi tak nyamannya sampai isakan Naswa sedikit mereda. Kini bibirnya terbuka kembali untuk berucap kata. “Uda lega?” tanya Pai sembari terus membelai punggung lemahnya, dan mengecup puncak kepalanya Naswa.             Dia sama sekali tidak merespon pertanyaan kecil Pai. Isakan tipisnya terus terdengar di telinga pria yang kini kausnya sudah basah.             Naswa masih betah dalam kebisuan air matanya. Meresapi rasa sakit di hatinya, meski kini sedikit lepas. “Baju Abang basah,” gumamnya pelan dengan suara seraknya.             Dia mulai menegakkan kepalanya dan menyapu air matanya dengan menggesek matanya di pundak Pai. Tidak peduli jika maskaranya luntur dan eyelash extentionnya mungkin akan tampak tak rapi lagi.             Pai masih diam dengan kepalanya sedikit tertunduk ke bawah. Memperhatikan gerak-gerik Naswa yang sangat mencurigakan. “Jelaslah basah. Kau nangis sehari semalam pulak,” balas Pai bernada cuek, mulai berlogat Medan. Namun masih tetap membiarkan Naswa sedikit memeluknya.             Naswa melirik Pai sekilas. “Apa pulak sehari semalam!” ketusnya dengan nada sedikit kesal. Dia sedikit merundukkan tubuhnya dan menggerakkan jemari kanannya, menarik kaus disana. Hsssshhhh …             Naswa mengeluarkan cairan hidungnya dengan kaus milik Pai. Hingga Pai mengeraskan rahangnya dan memejamkan kuat matanya. “Naswa!” geramnya masih dengan gigi merapat. Hsssshhhh …             Naswa semakin puas mengeluarkan cairan dari hidungnya.             Tidak mau membuat Naswa kesal, dia membiarkan Naswa melepaskan kelegaannya. Meski dirinya sangat kesal dengan ulah Naswa yang seperti ini. “Itu ada tissue, Naswa! Kenapa pakek baju Abang!”             Naswa yang sudah merasa lega, dia menegakkan kepalanya dan menarik baju Pai untuk membersihkan sedikit yang tersisa, sebab dia merasa risih. “Haahhh … enaknya …” Gumamnya pelan sembari menghela panjang nafasnya, dia melirik Pai yang sudah berekspresi jijik.             Pai mendengus kesal, tapi tubuhnya masih tetap pada posisi awal. Dia menarik bagian kaos yang terkena cairan hidung Naswa. “Isshhh! Anak ini apa gak bisa bersih dikit aja! Kebiasaan buruk!” ketusnya menatap Naswa.             Tidak merasa sakit hati atas ucapan Pai barusan. Naswa justru memasang wajah tak bersalahnya. “Abang jijik sama Naswa?!” tanyanya bernada kesal.             Pai masih terus mengeraskan rahangnya. Dia memilih untuk beranjak dari posisi setengah badannya sejak tadi, hingga Naswa mendongakkan kepalanya melihat Pai yang sudah berdiri sempurna. “Ingus kamu, Nas! Kebiasaan burukmu itu hilangin! Uda besar masa gak paham kebersihan! Percuma jadi anggota kesehatan!” ketusnya lagi masih terdengar kesal.             Naswa bersidekap d**a, dengan kepala masih terdongak ke atas. “Aku ini Adiknya Abang! Harusnya Abang gak jijik sama ingus aku!” ketusnya membela diri, membuat Pai merasa bersalah, agar dia tidak disalahkan lagi.             Pai merasa jika perasaan Naswa mulai teralihkan sedikit demi sedikit. Dia pikir, ini saat yang tepat untuk membuat Naswa kembali dalam keadaan semula.             Dia merundukkan pandangannya, menatap Naswa yang sudah berwajah kesal. “Hey!” Tubuhnya kembali merunduk, mensejajarkan kepalanya dengan Naswa. Jari telunjuk kanannya terangkat dan bergerak menuju kening Naswa. “Aku aja jijik sama ingus aku sendiri! Konon lagi sama ingus kau, Naswari Ayudya!” geramnya dengan rahang sedikit mengeras. Dia mendorong pelan kening Naswa, hingga kepala wanita itu sedikit terhuyung ke belakang. “Ish!” Naswa langsung menepis jari telunjuk kanan Pai hingga membuat pria itu melotot tajam ke arahnya, dan Naswa turut membalasnya dengan hal yang sama.             Puas, Pai kembali menegakkan tubuhnya dan langsung membuka kaus abu-abunya dalam satu gerakan. Hingga tampak tubuhnya yang gagah, bertelanjang d**a.             Naswa berdiri. “Haahh … minggir!” Dia mendorong tubuh Pai hingga pria itu sedikit terhuyung ke samping. Saat dia hendak melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya, tiba-tiba saja kaos abu-abu yang dia kenali itu mendarat di kepalanya, menutupi wajahnya. Dia langsung mengambilnya kasar, dan melirik ke arah pria yang sudah berlari keluar dari kamar. “Bang Pai!!” teriak Naswa dengan jeritan kesalnya. “Abang tunggu diluar! Kawani Abang belanja baju, cepat!” teriak Pai lalu menutup pintu kamar, sambil tertawa puas membalas sikap Naswa padanya barusan. Brak!             Naswa mendengus kesal, melihat ke arah pintu yang ditutup sedikit kasar. Dia melanjutkan langkah kakinya menuju kamar mandi sembari menggerutu tidak menentu. “Dasar! Untung kau Abang aku! Kalau tidak?! Sudah kuhabisi!” Gerutunya asal bicara sembari membuka pintu kamar mandi. … Dinner Room.,             Robby, Daniel, dan Erine tengah menikmati menu makan siang mereka sebagai kupon gratis atas sewa kamar mereka di hotel bintang 5 ini. “Untuk apa dr. Rangga menelponku? Harusnya dia bisa menelpon Naswa langsung kan?” Erine melirik Robby dan Daniel bergantian, sembari mengunyah makanan di mulutnya.             Dua pria itu tampak mengangguk iya, mendengar kalimat Erine yang terdengar masuk akal. Dan Robby kembali membuka suaranya. “Kalo dia menelpon elu, berarti Naswa tidak mengangkat telponnya, Rine.” Robby mencoba mencari alasan logis mengenai Rangga yang menghubungi Erine dan menanyakan keadaan dan keberadaan Naswa saat ini.             Sejenak mereka berpikir, kalau alasan Robby terdengar masuk akal. “Kayaknya sih, iya. Gak mungkin juga dia gak hubungi Naswa.” Beberapa detik Daniel terdiam setelah ucapannya barusan, namun dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Yah jelaslah Naswa gak mau angkat telpon dr. Rangga … orang dia aja lagi begitu. Bang Pai pun entah bisa bujuk dia, entah gak.” Daniel menjelaskan panjang lebar seraya berasumsi sendiri.             Erine menganggukkan kepalanya. “Iya juga yah.” Dia mengendikkan kedua bahunya ke atas. “Yaudala. Yang penting Bang Pai uda ada disini. Aku agak lega,” sambungnya lagi.             Robby dan Daniel mengangguk pelan, seraya mengerti maksud perkataan Erine barusan. Dan mereka kembali menikmati makan siang disana, sembari menunggu Pai dan Naswa menyusul atau menghubungi mereka. *** Kualanamu International Airport, Medan, Indonesia.,             Dia masih menatap layar ponselnya, setelah dirinya mengirim sebuah pesan elektronik kepada alamat surel bernama Naswari Ayudya. “Haahh …” Dia menghela panjang nafasnya mengingat penolakan Naswa saat dia menghubunginya tadi. Bahkan dirinya tidak mendapat jawaban apapun dari Erine yang merupakan sahabat dari Naswa.             Sejenak dia berpikir, haruskah dia kembali dari Medan tanpa mengabari Naswa lagi? Sebab selama ini, dia selalu bersikap semena-mena terhadap Naswa. Dia mengakui untuk kesalahannya yang satu itu. Itulah yang menjadi alasannya tak berkutik saat Naswa bersikap dingin dan berkata menyindir sebab dia yang tak pernah ada disaat Naswa membutuhkan dirinya. ‘Maafkan aku, Naswa. Tapi aku sungguh sangat mencintaimu. Aku akan melakukan apapun agar kau percaya padaku,’ bathinnya seraya berjanji untuk tetap menjaga komitmen yang telah dia dan Naswa pegang selama ini. “Daddy? Apa kau dengar aku?” tanya seorang anak kecil dari balik ponsel yang dia pegang di tangan kirinya. Suara mungil dengan berbahasa Inggris itu membuyarkan lamunan sesaatnya. Dia langsung mensejajarkan ponsel keduanya, di wajahnya. Dia lupa, ternyata panggilan video itu masih berlangsung. “Hallo, Sayang. Tentu saja Daddy dengar. Tapi sepertinya waktunya telah tiba. Daddy akan hubungi kau saat Daddy sudah sampai London, Okay?” Rangga memberi isyarat kepada anak perempuan berusia 7 tahun itu agar memahami maksudnya.             Seperti biasa, anak perempuan itu tersenyum dari balik panggilan video mereka dan dia menganggukkan kepalanya. “Okay, Daddy! Hati-hati dijalan! Aku menyayangimu!” ucapnya antusias lalu memajukan bibirnya seraya memberi kecupan secara tidak langsung untuknya. “Emuuaahh!”             Rangga tersenyum bahagia dan membalasnya. “Emuaah … Daddy juga menyayangimu, Baby! Sampai jumpa!” “Sampai jumpa, Dad!” Tutt… Tutt… Tutt…             Dia memutuskan panggilan video itu dan menghela panjang nafasnya.             Mendengar aba-aba pemberitahuan, Rangga segera beranjak dari duduknya dan menarik pegangan koper kecil miliknya. Dia melangkahkan kakinya menuju loket.             Dia mantap kembali ke London sore ini juga. Pesan yang dia kirim untuk Naswa, dia harap Naswa dapat memahaminya.             Walau hatinya masih merasa bersalah, namun dia tidak bisa mengulur waktunya untuk lebih lama di Indonesia. ‘Aku akan menghubungimu jika sudah sampai di London, Sayang.’ Dia membathin dan kembali berjanji untuk Naswa. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD