“Aaaa ...”
Jeritan terdengar bersahut-sahutan di desa Kyrgyz. Penduduk desa berlarian dicekam ketakutan. Masing-masing sibuk menyelamatkan diri. Seorang wanita menyambar anak balitanya dan berlari kencang tanpa menoleh ke belakang. Seorang laki-laki meninggalkan gerobak yang tengah didorongnya dan dengan kesetanan menghindar dari benda-benda yang beterbangan.
“Apa yang terjadi?!” teriaknya tanpa menghentikan laju larinya.
“Iblis itu bangkit!” jawab seorang laki-laki yang berlari tak jauh darinya.
“Hah! Ib-Ib-blis?!” teriaknya tercekat.
“Iya itu yang kudengar tadi,” sahut laki-laki itu sambil mempercepat larinya.
“Kenapa mendadak muncul iblis di desa ini?” jawab yang lain di tengah engah napas yang makin parah.
“Entah!” teriak laki-laki itu.
Tiba-tiba satu teriakan terdengar.
“Belok! Belok! Ke sini!” Suara laki-laki yang sedang menggendong anak perempuan membuat rombongan laki-laki yang tengah berlari itu menoleh.
“Lihat!” teriak penyeru itu dengan wajah panik sambil mengarahkan wajahnya ke tempat di sebelah rombongan pelari itu.
“Hah!!!” Semuanya berteriak ketika pada tempat yang ditunjuk itu seorang laki-laki sedang disambar oleh asap hitam pekat. Asap itu menyelubungi tubuh korban seolah ada yang menggerakkan. Kemudian satu kepulan asap masuk ke mulut korban yang berdiri dengan tubuh kaku itu. Seketika asap itu membuat tubuh laki-laki yang tak berdaya itu menyusut dan mengering.
Rombongan laki-laki yang mendadak berhenti menyaksikan peristiwa itu seketika berbelok dan berlari menuju penyeru yang menggendong anak perempuan itu ketika tubuh korban yang mengering itu ambyar menjadi serupa pasir di padang pasir. Angin menebarkan pasir-pasir itu dan membuat jejak korban itu musnah.
“Asap hitam itu makin besar!” teriak laki-laki yang berlari paling belakang.
“Ah-ah tak adakah tempat sembunyi?” celetuk seorang dalam rombongan itu dengan terengah.
“Semoga kita segera menemukan,” harap seseorang yang berlari beriringan dengannya.
“Aaaa ...,” teriak seorang yang baru saja bertanya itu. Teriakan itu terdengar pilu, asap hitam yang melesat itu menggulung tubuhnya.
Laki-laki yang baru saja menjawab pertanyaan penanya itu tercekat. Tubuhnya kaku ketika menyaksikan laki-laki yang berada tak jauh darinya itu tubuhnya menyala oleh api. Api yang keluar dari dalam tubuh korban membakar tubuh itu dan seketika menjadikan tubuh itu seperti kertas yang baru saja terbakar, debu dari tubuh itu sekali lagi beterbangan tersapu angin.
“Tunggu apa lagi?” sahut seorang laki-laki sambil menyambar laki-laki kurus yang sejak tadi berdiri tercekat tanpa bisa berbuat apa-apa. Laki-laki dengan badan gempal itu terus menyeret laki-laki itu menjauh dari debu-debu hitam yang beterbangan itu.
“It-itu ... ta-di ... ap-ap-apa?” serunya gagap ketika berhasil menguasai diri dan melanjutkan pelarian.
“Entah, entah, yang jelas bukan manusia, bisa jadi iblis yang lari dari neraka,” sahut laki-laki berbadan gempal itu sekenanya.
Gumpalan asap hitam itu terus mengamuk. Melalap korban tanpa ampun. Dan para penduduk desa makin tercekam ketakutan ketika kepulan asap hitam itu seolah dapat menduplikasi diri dan memperbanyak dirinya. Jeritan terdengar di mana-mana seiring dengan banyaknya korban yang jatuh.
“Tak adakah pertolongan?” celetuk seorang laki-laki yang mendekap anak perempuannya berbisik pelan.
“Aku harap ada,” jawab yang lain yang berada di tempat yang sama dengan lirih.
“Semoga tempat persembunyian ini nggak menarik asap hitam itu ke sini," tukas yang lain.
“Ya. Napasku sudah habis,” sahutnya lirih. Jeritan pilu masih terdengar dari seantero desa. Suasana desa makin mencekam ketika bau hangus yang membuat kepala sakit menguar di udara.
Sekelompok laki-laki berkuda memasuki perbatasan desa. Mereka terus merangsek memasuki pusat desa. Asap-asap hitam itu seolah menyambut kedatangan mereka, dengan secepat kilat, asap itu melesat ke arah rombongan berkuda itu.
“Itu terlalu lincah untuk benda yang disebut asap,” ucap Zeno sambil tetap memacu kuda.
Sesaat kemudian terdengar suara jeritan dari belakang. Seorang dengan seragam tentara dari kelompok itu menjerit ketika digulung asap. Zeno mengeluarkan batu mulia dengan bentuk bintang. Pendar magis Alexandrite itu membuat satu gulungan asap hitam menjauh. Cahaya hijau zamrud itu membesar dan membuat asap-asap yang melesat ke arah laki-laki itu menjauh.
Sekelompok laki-laki itu menarik kekang tunggangan-tunggangan itu. Satu sosok manusia dengan tinggi tak normal berdiri di tengah tanah yang porak-poranda. Pohon-pohon tercerabut dari tanah dan benda-benda di sekitar makhluk itu berdiri hancur. Sosok tinggi menjulang itu mengendalikan asap-asap hitam yang mengeluarkan bau hangus menyesakkan itu. Asap-asap hitam yang menjauh karena pendar-pendar magis batu mulia itu kini beterbangan mengitari sosok dengan wajah pucat tanpa ekspresi itu.
“Agh!” teriak Shura ketika sosok dengan mata kuning menyala itu entah bagaimana memanjangkan badan dan menyerangnya, menyambut kedatangan rombongan itu sebelum mereka mencapai tempatnya.
“Arrgh!” Shura merebahkan tubuhnya ke belakang, kuda itu tetap berlari walau tali kekangnya dilepas.
Tubuh makhluk dengan wajah dingin itu, kini bagian atasnya yang memanjang, berada tepat di atas badan Shura.
“Sssh!” desis makhluk itu menguarkan hawa dingin yang menusuk.
“Khaah!” Suara menyeramkan keluar dari mulut makhluk itu ternyata mempunyai daya hisap yang kuat.
“Ergh!” Shura mencoba menahan napas dengan susah payah. Sedotan itu terasa menyerap energi dan jiwanya.
Tangan Shura mencoba meraih pedang yang terkait di pinggang, tapi hawa dingin dari makhluk itu membuat tangan itu Kaku. Energi jahat itu mulai menguasai tubuh Shura. Sedetik lagi pertahanannya runtuh.
“Hiat!” Misha menebas punggung makhluk itu. Tebasan itu membuat makhluk itu mengangkat tubuhnya. Tubuh yang memanjang itu mengeluarkan asap hitam tipis. Kemudian memendek, kembali pada ukuran tak normalnya. Misha melompat dari kuda setelah mendorong tubuh Shura yang rebah di atas kuda. Misha menjaga punggung Shura sambil mengangkat batu mulia ke atas. Pendar cahaya ungu Taaffeite itu membesar dan membuat makhluk itu makin jauh.
“Agh! Teriak Shura menahan rasa dingin yang terasa menusuk tulang.
Shura berusaha mengusir rasa dingin itu dengan menyebarkan energi ke seluruh tubuh.
“Peridote-mu?” seru Misha yang masih duduk di belakang Shura.
“Hilang,” jawab Shura pendek.
“Hah!!!” seru Misha hampir terjengkang karena kaget.
“Timur!” teriak Lev kencang. Laki-laki yang menggendong pedang besar itu memacu kudanya sambil menoleh ke arah Shura.
“Di mana Peridote-mu?” teriak Lev kencang.
“Hilang!” jawab Misha tak kalah kencang.
Suara kuda meringkik keras terdengar ketika Lev mendadak menarik tali kekang kuda karena terkejut. Kuda itu menandak-nandak dan berhenti seketika.
Sorot khawatir di wajah Lev terlihat nyata. Di bawah pendar magis biru Benitoite mulut laki-laki bertubuh besar dan gagah itu terbuka.
“Ohh!” keluh Zeno yang berhenti di sebelah Lev. Wajah laki-laki ini menyiratkan kekhawatiran yang sama dengan laki-laki yang berada di sampingnya.
“Barat, ternyata Shura lebih parah dari Misha, kupikir Taaffeite yang pecah itu sudah kejadian terburuk,” lanjut Zeno lirih.
“Lindungi Timur!” seru Lev kemudian. Keduanya segera memacu kuda mereka mendahului Shura dan Misha yang masih di atas punggung kuda yang sama.
Panglima yang membawahi tentara yang dibawanya itu melambatkan kecepatan kuda dan menangkap keanehan itu.
“Selatan, ada apa?” serunya pada Misha. Laki-laki itu melihat Shura yang terlihat sedang menenangkan diri di atas kudanya yang hanya perjalan pelan, sedangkan kuda Misha mengikuti di samping kuda putih itu.
“Ke mana Peridote?” serunya setelah mengetahui kejanggalan itu.
“Hilang, Orel,” jawab Misha pada panglima itu.
“Hah!!!” Hampir saja Amethyst yang berada di dalam genggamannya terjatuh saking terkejutnya.