Misha dengan cepat memacu kuda, sesekali melirik khawatir pada pecahan Taaffaite yang kian meredup. Debu-debu beterbangan mengiringi derap kaki kuda itu.
“Misha kenapa kembali?” teriak Lev yang tengah sibuk menebas kaki bagian atas makhluk itu.
“Goreskan pedang kalian pada batu mulia!” seru Misha tanpa menjawab teriakan Lev. Lev dan Zeno menjejakkan kaki ke tanah dan segera melakukan ada yang diteriakkan Misha. Kemudian keduanya kembali melesat menebas makhluk itu di berbagai bagian. Asap-asap hitam seketika keluar di bekas sayatan makhluk dengan ukuran tak normal itu. Beberapa di antaranya mengeluarkan percikan api. Lev dan Zeno tersenyum menyeringai ketika sayatan itu kini tak pulih seperti sedia kala.
“Oh ... haruskah?” guman Misha tak tega untuk menggoreskan pedangnya pada Taaffeite-nya yang tinggal pecahan itu.
“Oh sudahlah!” serunya menepis keraguan dan melakukan hal yang sama dengan kedua temannya. Gradasi sinar ungu, hijau dan biru seketika menyelimuti pedang Misha. Kemudian dengan secepat kilat melesat ke arah tubuh makhluk itu dan menebas kakinya. Kaki itu yang terputus itu mengeluarkan asap hitam dan percikan api.
Sementara itu, Shura berusaha keras menolak daya hisap makhluk itu. Energi panas dari cengkeraman makhluk itu mendesak perlawanan yang keluar dari dalam tubuhnya. Ksatria itu memutar gagang pedang. Selarik sinar jingga disusul sinar merah muda keluar dari celah yang terbuka akibat putaran gagang pedang itu.
“Kenal ini?” seru Shura sambil tersenyum. Dengan mimik lucu Shura mengucapkan kata Padparadsca tanpa suara. Makhluk itu mengeluarkan suara geraman keras.
“Al-barq!” teriak Shura. Kuda putih di bawah sana mengikuti Shura yang melayang dalam cengkeraman makhluk itu.
Shura terus menebas makhluk itu dan membuatnya terpotong-potong. Sesaat sebelum mendekati pusat desa, laki-laki itu kembali memutar gagang pedang dan membuat sinar dari safir itu tertarik ke dalam celah pada gagang pedang. Makhluk itu kini tegak berdiri dengan tubuh hancur, tapi telapak tangannya masih tidak melepaskan Shura. Ksatria itu tersenyum ketika hawa panas dari cengkeraman tangan makhluk itu pelan-pelan sirna.
“Shura!” teriak Lev ketika melihat Ksatria Timur itu melayang dalam cengkeraman tangan yang telah terputus dari makhluk itu.
“Aku baik-baik saja, Barat!” teriak Shura dengan tenang. Lev mendengkus lega mendengar jawaban Shura.
Detik berikutnya pecahan tubuh makhluk itu perlahan-lahan berubah menjadi asap. Demikian juga kedua tangan yang mencengkeram Shura, perlahan-lahan retak dan mengeluarkan asap hitam ketika hancur. Tentara yang membuat pagar mengelilingi makhluk itu menebaskan pedang, membuat gumpalan asap itu tetap berada di dalam lingkaran.
“Untung aku mengikuti nasehat Ksatria Timur untuk menggores pedang tentara dengan Amethyst,” guman Orel lirih.
“Sekarang!” teriak Shura dan ke empat ksatria itu mengeluarkan energi yang tak terlihat menyerang asap hitam yang bergulung-gulung itu. Serangan itu membuat asap hitam itu menipis hingga tinggal selarik. Shura menarik asap itu hingga membentuk lengkungan.
“Orel!” teriak Shura kencang. Panglima itu mengangkat Red beryl berbentuk elips ke udara.
“Hiat!” seru Shura ketika menghentakkan energi yang tak terlihat. Selarik asap hitam itu dengan cepat tersedot ke batu mulia di tangan Orel dengan sinar merah menyala itu. Tangan panglima itu bergetar menahan getaran dari Red beryl itu.
Mulut Orel menganga ketika detik berikutnya asap yang terperangkap dalam batu mulia merah itu terlihat memberontak. Namun, sesaat kemudian asap itu berubah menjadi putih. Kemudian diam tak bergerak dan warnanya menyatu dengan warna merah Red beryl. Keempat ksatria itu menjejakkan kaki ke tanah. Shura turun tepat di depan Orel. Tangannya bergerak meminta batu mulia merah itu.
“Tidak! Aku diperintahkan untuk menyerahkan ini pada Czar,” tolak panglima itu tegas.
Pfuh! Shura mengembuskan napas panjang.
“Itu berbahaya. Apa aku pernah bohong?” ucap Shura mencoba meyakinkan. Orel menatap Ksatria Timur tanpa bisa berkata apa-apa. Kemudian dengan ragu mengulurkan Red beryl itu. Shura tersenyum, lalu menggenggam batu mulia itu dan memusatkan energi untuk menghancurkan batu itu. Beberapa saat kemudian sinar merah memancar dari sela-sela jari Shura. Laki-laki itu kemudian membuka telapak tangan dan debu-debu merah beterbangan. Sesaat kemudian debu itu hilang diterpa angin.
“Kamu harus menjelaskan ini pada Czar,” ucap Orel kemudian. Shura mengangguk dan menepuk bahu panglima itu.
“Aku akan ke Ibukota,” jawab Shura tenang.
“Ooh ...!” desah lega keluar dari mulut setiap laki-laki yang ada di pusat desa itu. Beberapa dari mereka terlihat duduk dengan meluruskan kaki di tanah untuk meredakan ketegangan yang berhari-hari dialami.
“Huh ... benar-benar makhluk yang merepotkan!” seru Zeno sambil turut menggelesot di tanah. Lev hanya tersenyum, sedangkan Misha berdiri sambil masih mengkhawatirkan Taaffeite-nya yang tinggal pecahan.
“Hei!” seru Misha tiba-tiba, “Apa kalian mendengar sesuatu?”. Ucapan kksatria selatan itu membuat orang-orang yang ada di sana merapatkan mulut. Sesaat kemudian suara tintihan terdengar. Beberapa tentara bergegas ke asal suara dan dengan cepat membongkar reruntuhan rumah kayu yang tak jauh dari tempat pertempuran itu.
“Wow! Ada bidadari yang terpeleset dari langit,” seru Zeno ketika melihat seorang gadis cantik ditemukan di bawah reruntuhan itu. Dalam balutan jubah panjang itu, wajah gadis cantik itu terlihat kesakitan.
Shura mengernyitkan kening ketika mendadak mencium aroma yang khas. Aroma yang dia temukan di tiga desa yang tak terselematkan sebelumnya. Aroma wangi yang aneh itu membuat Shura mengedarkan pandangan ke segala arah dan berhenti ke arah reruntuhan tempat gadis itu ditemukan. Shura melangkah ke arah gadis yang sedang ditolong oleh beberapa tentara itu.
“Tunggu!” seru Lev menahan langkah Shura.
“Apa ada ciri-ciri penduduk desa ini pada gadis dengan kulit putih bak pualam itu?” ucap Ksatria Barat itu curiga. Shura menoleh dan menatap Lev dengan serius, kemudian mengiyakan kecurigaan itu.
“Ya, akhir-akhir ini, sepertinya terlalu banyak kebetulan,” balas Shura lirih.
Shura berjalan beriringan dengan Lev, menyusul Zeno dan Misha yang lebih dulu mendekat ke arah gadis itu. Gadis cantik itu tampak ketakutan. Shura memperhatikan jubah panjang gadis itu yang robek di sana-sini.
“Cari penduduk yang selamat!” perintah Orel pada tentaranya.
“Aku akan pulang dulu,” ucap Shura lantang tiba-tiba. Kalimat itu membuat Orel menoleh dan menatap tajam. Demikian juga ketiga ksatria yang lain.
“Aku akan menyusul kalian ke ibukota. Tenang Orel! Aku akan menjelaskan pada Czar,” jawab Shura menepis kekhawatiran panglima dan ketiga sahabatnya.
Lev berkacak pinggang.
“Maklumi Shura, Orel. Dia kangen pada anabul-anabul itu,” sahut Lev sembari terkekeh.
“Memang kucing-kucing Shura itu lucu sekali,” sahut Misha pelan, mereka terkekeh mengiringi Shura yang segera meninggalkan pusat desa Kyrgyz dengan kuda putihnya.
Otak Shura berputar mencoba mengaitkan kebetulan-kebetulan yang seolah terjadi berentetan akhir-akhir ini.
“Apa kecurigaan Lev pada gadis itu benar? Gadis itu memang tak tampak seperti penduduk desa itu. Apa munculnya makhluk aneh ini berkaitan dengan hilangnya Peridote miliknya? Lalu bagaimana batu mulia dengan sinar hijau itu mendadak raih dari simpanannya? Apa raibnya peridote berhubungan dengan Taaffeite yang mendadak hanya tinggal sedikit pecahan? Siapa yang mencuri batu-batu mulia ini? Apa pencuri ini juga mengetahui rahasia batu-batu mulia ini?” Pikiran Shura penuh dengan pertanyaan-pertanyan yang bersliweran.
“Pfuh! Bagaimana caranya mencegah batu-batu mulia ini bersatu?” gumannya dengan kekhawatiran memuncak.
“Jika batu-batu ini bersatu berarti bencana besar telah dekat,” ucapan itu terus terngiang di telinga Shura.
“Tunggu! Apa ada di antara kita yang berkhianat?” celetuk Shura lirih.