Berusaha (Dibenci)

1820 Words
"Lista berangkat dulu, ma, pah, kak Bian, kak Rika." Ia mengelilingi meja untuk pamit berangkat duluan. Kedua orang tuanya tersenyum sambil mengecup kedua pipinya.  "Hari ini gue serasa punya adek cowok tapi pake rok sekolah." "Gue Cuma ganti model rambut, kak, bukan operasi kelamin jadi pria." "Awas saja kalo ampe kejadian." "Bian, omongan lo dijaga, itu doa, astaga." Kak Erika memperhatikannya dari ujung kaki, betah menatap model rambut terbarunya yang membuat seisi rumah mengelus d**a. "Tau begini, gue ikut lo kemaren." Ia bersyukur karna semesta bekerja sama saat itu, karna jika tidak, mungkin mereka akan berakhir berteriak ala orang tersesat di hutan di salon dekat rumah, kemudian menjadi viral di media social. "Udah kejadian, kak. Gausah disesalin. Palingan setahun lagi juga bakalan panjang lagi, kok." "Harus dipanjangin, yah, dek. Ah, I miss my old sister." Masih jelas dalam benaknya, betapa manis serta cantiknya Lista saat SMP dulu, setiap penampilannya seperti bunga yang baru mekar sepenuhnya. Sekarang, ia seperti tak mengenal adiknya sendiri. "Liat aja ntar, kak. Soalnya gue berencana mau botak, sih." Ia langsung kabur sambil tertawa, saat kak Bian ancang – ancang ingin mengejarnya, dengan mulut penuh karna mengunyah sandwich. ∞õ∞ "Waw!" "Elista?" "Lo jadi ganteng, sumpah!" Penantian Ando selama setengah jam dengan dongkol menggunung didepan pintu kelas, tak peduli bahwa tatapannya membuat yang berpapasan merasa ngeri sendiri, berbuah mengejutkan. "Rambut ikal kesukaan gue mana?" ini pertanyaan jujur, karna yang membuatnya tertarik dengan Lista selain sorot mata unik yang membius, juga model rambutnya. Dimatanya, gadis itu terlihat polos seperti bayi, walau berusaha dingin dengan cowok manapun. Tapi sekarang, astaga... permainan apa yang ia mainkan sekarang? "Mungkin lagi dibakar sama pegawai salon gue kemaren, atau jadi proses pembuatan wig. Tapi, keren, kan?" "Lo mau buat gue serasa pacaran dengan cowok?" Mungkin perasaannya saja, tapi selama 3 tahun mengamati Lista diam – diam, baru kali ini sorot mata unik membius itu terlihat bahagia dan puas. "Emang. lebih bagus lagi lo ilfeel trus putusin gue. Ayooo... putusin gue, Ando. Mantan pacar lo selama ini model iklan rambut indah semua, gue Cuma bikin para mantan lo ngakak hingga terjengkang." Disaat beberapa mantannya terakhir menangis histeris, langsung acting teraniaya bak pemain FTV, hingga pura – pura pingsan saat ia memutuskan hubungan karna selingkuh, yang satu ini malah kebalikan. "Gak mau. Lagian setelah dipikir – pikir, kayaknya asyik juga kalau gue dikira gay karna pacaran ama lo." Ia menang telak seperti biasa, menikmati ekspresi terkejut Lista. "Ngomong – ngomong, gue sekarang pacar lo, Lista." Ia dongkol setengah mati karna Ando malah tersenyum mempermainkan mentalnya."Terus?!"   "Nomor ponsel yang lo beri serta alamat rumah, itu fiktif. gue senewen 2 hari karna gak tahu bagaimana keadaan pacar gue sekarang. Harus cara gimana lagi ntuk nekanin bahwa gue ini cowok lo, bukan salah satu fans berat lo?" Ekspresi muntah pun tak cukup ntuk menggambarkan betapa mualnya ia mendengar. "Ando, gue bukan sayang lo!" "Bagi gue sudah dimulai saat lo kalah." Ia mengamati Lista yang kini membuka tas ransel hitamnya, dan menyerahkan secarik kertas berwarna kuning yang terlipat rapi. "apaan nih? Surat cinta?" "Gue bikin surat perjanjian hubungan dengan materai 6000 sebagai pengesahannya, lo kasih ke gue saat pulang sekolah. Gak lo turutin, hubungan asmara kita batal. Sayang sekali, kan?" Kapan cewek ini belajar bahwa rugi bermain api dengannya? "let see, dear." Lista hanya mengangguk sambil berjalan melewatinya, mendadak kaku saat Ando menggenggam lengan kirinya, membatu dengan bisikan sangat pelan, memancing keingintahuan teman – teman sekelasnya. "Ngomong – ngomong, lo terlihat sangat cantik dengan penampilan sekarang, Elista Maharani. Gue sangat suka sekali." ∞õ∞ " 'Dilarang berpegangan tangan, mengacak rambut, berjalan bersisian hingga lengan saling tersentuh, setiap bersama harus berjarak 46 meter, diharamkan memanggil sayang, memuji, menggombal, serta hal yang berhubungan dengan pihak pertama. Jika tak diterima maka taruhan yang diajukan batal.' Apa – apaan ini?!" geraman Ando membuatnya mendapat teguran dari penjaga perpustakaan. Dengan tangan terkepal ia menarik napas kuat – kuat, lalu menghembuskan sangat perlahan. Baru kali ini ia merasa sangat ingin mencincang seseorang. Ia mengetuk pulpen diatas kertas, berpikir keras bagaimana membalik keadaan sekali lagi. Bisa saja ia merobek dan menganggap tak pernah melihatnya, namun ia tak bisa menerima sorot mata puas serta merendahkan dari Lista. Ini perang. Tenang Ando, tenang... Ia membaca lagi isi surat itu dengan perlahan, meneliti setiap kalimat yang tertulis, mendadak amarahnya sirna, digantikan kebingungan yang menutupi benak. ∞õ∞ "Dia bilang gue sangat cantik dengan penampilan sekarang, Cindy." Ia menatap Lista yang termenung di balkon, bungkusan berisi siomay goreng kesukaan pun tak terjamah, padahal butuh pasokan darah serta oksigen berlebih ntuk berjejal dikantin – yang terlihat dari langit seperti meletusnya perang saudara. "Bukan ini yang gue khayalin saat duduk di depan cermin, melihat rambut yang gue sayangi, menjadi seperti ini. otak gue saat itu bilang ntuk lakuin apapun agar Ando ilfeel, dan jadilah seperti sekarang." "Tapi kenapa gak terwujud?" Ia menahan diri ntuk tidak ikut menangis saat memeluk Lista yang mendongkak, kebiasaan sahabatnya saat air mata siap jatuh. "gue harus gimana lagi, Cindy? Saran kacau apapun akan gue lakuin asal Ando mundur, bagus lagi kalau dibenci sekalian." "termasuk meremehkan lo?" Jawabannya tertelan saat melihat sosok Ando menghampirinya. Waspada saat senyum puas itu tersungging lebar. "Gue gak mau liat dia, Cindy." Cindy langsung berdiri diantaranya. Menjadi tameng hidup. "sorry, Ando. Dia lagi mogok bicara sama lo."  "bilang sama dia, gue mau tanda tangan perjanjian yang dibuat, dengan syarat tertentu." Ia langsung melirik Ando dari punggung Cindy, "Apaan?" "silahkan baca sendiri." Ia mengambil secarik kertas yang diberikan Ando, memilih meremasnya sampai tak berbentuk, ketimbang melempar dari lantai 2. s****n! "Gue gak sudi!" "jadi gimana, Lista? kalau lo nolak semua persyaratannya, gapapa, tapi gue jamin hidup lo jauh lebih merana dibandingkan sekarang. Lagian apa susahnya, Lista? Gue bukan b******n yang tergiur ntuk berbuat b***t, hanya karna lo cantik." 'Hanya karna lo cantik.' Ucapan itu menggema dalam benaknya seperti gema di gua, ia mengepal kedua tangannya hingga berkeringat. "apa jaminannya kalau hal itu gak terjadi?" cicitnya. "Liat gue." Lista berdiri, mendekati Ando yang menantangnya, mencari celah kebohongan, namun yang ia temukan hanyalah tekad sekuat baja. "Ini Ando, bukan dia. Bedakan itu, Lista." "Yakin?" "Lo ingin lepas dari mimpi buruk, kan? ingin damai, kan? gunakan dia." "Apa gak papa?" "Kenapa lo sengotot gini ntuk jadian ama gue? Buat nambah koleksi mantan yang bisa dibanggakan saat 10 – 20 tahun mendatang pas reuni?" , "Apa yang ia pikirkan sebenarnya? ia seperti membuka kotak berukuran super besar, hanya ntuk membuka kotak lebih kecil lagi didalamnya, begitu seterusnya, tak bisa berhenti karna kadung penasaran, itulah yang ia rasakan dengan Lista. "Mungkin, karna sebenarnya kita ini sama, tanpa lo sadari." Baru kali ini ia tak tau apa yang diucapkannya. "bagaimana kalau kita jalani saja hubungan ini selama 1 tahun? Gak ada yang rugi disini, Lista, gue gak akan berbuat kurang ajar, dan lo akan aman dari fans keras lo. Lo ingin kesetiaan? Fine, gue turutin." Ando dan kesetiaan, terlihat seperti kotak besar berisi tabung gas, yang disiram minyak panas, kemudian ia lempar  pemantik api bahkan petasan, namun tetap tidak terbakar. "Lo jangan bikin gue ketawa. Sekali selingkuh, sampai tua juga pasti." Ia benci akan efek mendesir lembut dihati, setiap Ando tersenyum miring, disertai sorot mata yang melembut. Membuatnya lemah. "Jangan remehkan gue, sayang." "Lista..." Ia menatap Cindy, bertukar kata lewat tatapan mata, saat sahabatnya angkat bahu tanda menyerah, ia mendesah. Ya Tuhan, please, semoga gue ambil keputusan benar kali ini. "berapa nomor ponsel lo?" ∞õ∞ Gue punya pacar, Sejarah kelam terulang kembali, Ya Tuhan! Apa yang gue pikirkan?! Ia langsung mencari nomor ponsel Ando, gemetar ingin menekan tombol call, bertekad membatalkan semua perjanjian sinting itu! Lista, tenang, jangan panic, tarik napas kemudian hembuskan perlahan. Bagus, ulangi... Ponselnya hampir jatuh ke got didepan rumah saking kagetnya, was – was ia melirik layar, lalu mendengus. "Ya?" "ucapan sayangnya mana?" "jangan ngelunjak dong!"  Ia tertawa lega bahwa Lista benar – benar memberikan apa yang ia mau. Padahal sudah was – was saat gadis itu memberikan nomor ponsel serta alamat rumahnya sekali lagi, takut dibohongi. "Udah nyampe rumah?" "ya." "singkat amat. Gak nanyain kabar gue gitu?" "Yaudah, kapan lo mati?"  Ando terbahak – bahak ntuk membuat gadisnya semakin jengkel. "Ntar kalo kejadian lo nangis – nangis gak keruan lagi. Kan gaada yang nenangin." "Iya nangis bahagia karna gue lepas dari penderitaan!" Seharusnya dari dulu saja ia bersama Lista, bukan menghabiskan waktu tak jelas dengan beberapa cewek lain. "Duh galaknya. Yaudah gue Cuma nanyain itu doang, met siang, sayang. Jangan lupa makan." bukan perhatian jenis ini yang diharapkan. "Lista?" "Ya, lo juga. Bye." Ia langsung memutus panggilan sepihak lalu mematikan ponsel. Ini mengerikan. Plis, plis, semoga lo besok berubah jadi jahat, punya selingkuhan kalo perlu, biar gue tenang. ∞õ∞ Erika meletakkan buket besar sangat cantik yang berisi coklat, diatas meja kecil samping ranjang Lista yang tertidur pulas. Keningnya berkerut dalam sambil duduk di ranjang, mengelus sayang rambut super pendek adiknya, lalu melirik ke pintu saat mendengar suara nyaring langkah kaki berhenti didepan pintu. "Kalau gabisa pelan, lo ngesot aja dek." *ilustrasi chocolate bouquet  pemberian Ando* Bian tertawa, lalu terhenti saat melihat benda asing diatas meja. "Bagus banget. siapa yang ngasih?" "Cowoknya Lista." "nurut kakak gimana?" "Cowoknya? Baik kok." "Kok bisa ketemu sama lo, bukan gue? Baru aja pulang, kan? Gue mau ketemu sama dia." Erika langsung berdiri dan menutup pelan pintu kamar Lista, mengejar Bian yang hampir meloncat turun 3 anak tangga sekaligus. "Gue baru pulang, liat dia didepan rumah mau mencet bel, gue samperin trus kenalin dirinya, serta jelasin maksud kerumah karna ponsel Lista gak aktif dan ia khawatir, trus bawain bouquet itu karna tau Lista suka coklat. Lo dengarin gue, Bian!" Teriakannya membuat Bian berhenti. Sorot hijau toska yang biasanya berbinar bahagia, kini membuatnya takut. "Ando bukan dia, Bian." "Gue yang nilai saat ketemu dia nanti, kak." Erika mengangguk, "Untuk sekarang, lo bisa bertindak ntuk tidak tahu?" "Sekarang kita lakuin itu, dan lo liat apa hasilnya? Dia hampir memangkas habis rambutnya yang gue yakini dipicu oleh si cowok itu. insting gue bilang, adik kita ada masalah, kak Erika, dan lo minta gue diam?!" terkadang ia tak tahu apa yang dipikirkan kembaran cantiknya ini. "Bukan lo yang ditakutin Lista setiap dia mimpi buruk, kak." "Bian..." Ia langsung merangkul Bian, hampir menekan punggung kembarannya ntuk menurut duduk diatas tangga. "Lo ingat apa yang terjadi, saat lo memaksa dia ? kalian hampir baku hantam dan tak percaya ama kita, hingga kejadian itu terjadi.  kita ini saudara, harus bisa menghargai keputusan satu sama lain, sebenci apapun itu." "Kak, lo gak paham..." "Bian, kalau cowok Lista mampir kesini lagi, dan lo menemukan bukti sangat cukup untuk menilai dia tak pantas ntuk adik kita, gue gak akan melarang lo ntuk berbuat apapun. Tapi sekarang, kita lihat apa keputusan Lista, karna gue tau ini sangat berat ntuk mengulangi hal yang sama." Bian dengan sangat bahagia akan melakukannya bila adik kesayangannya lebih dari hancur sekali lagi. Cukup sekali ia kecolongan berat. "Gue setuju dengan berat hati sekali lagi, kak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD