Pergumulan batin tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun. Sebelas bulan kau menyembunyikan rahasia gelapmu, sementara aku masih berpikir bahwa hanya aku satu-satunya wanita yang kau gauli selama ini.
---------- Alisha Diandre -----------
11 Tahun yang lalu
Kedua tangan Alisha bergetar hebat, matanya nanar menatap tulisan yang tertera pada lembaran kertas. Ini adalah pemeriksaan DNA kedua, setelah sebelumnya ia melihat laporan DNA yang disodorkan oleh Veronika, dua minggu yang lalu.
Jelaslah sudah bahwa bayi kecil tanpa dosa yang dinamai Dimas Laksono oleh jagoan kecilnya, Bima Sakti, adalah keturunan dari Bramantyo, Suaminya. Dalam tubuh Dimas mengalir darah Laksono, kedudukannya sama dan sederajat dengan Bima Sakti, putra kandungnya.
Pandangan Alisha mendadak gelap, ia pun limbung lalu tidak sadarkan diri, saat tubuh itu terjatuh, kepalanya terantuk ujung meja dan mengeluarkan rembesan darah segar.
Terdengar teriakan Russel membahana, perias pribadi Alisha itu hendak menemui sang nyonya, karena ia berniat mengundurkan diri untuk pulang kampung dan membuka usaha salon di sana. Dengan jelas Russel mendengar suara seperti benda berat terjatuh, dan ia seketika berteriak saat melihat Alisha telah teronggok di lantai dengan genangan darah dari kepalanya.
Pengawal dengan sigap melompat dan memeriksa sumber darah, dengan cekatan mereka memberikan pertolongan pertama lalu membebat kepala Alisha sebelum di tandu memakai brankar menuju mobil yang telah disiapkan oleh sopir mereka.
Semua orang yang bekerja pada Bramantyo dan Alisha adalah orang-orang terpilih dengan ketangkasan dan keterampilan berkelas profesional. Tidak heran gaji yang diterima oleh mereka setara dengan gaji karyawan di kantor keluarga Laksono yang terkenal dengan take home pay tertinggi di kota itu.
Dalam enam menit, Alisha telah berpindah dari ruang tamu di kamarnya ke dalam mobil. Sepuluh menit kemudian, mereka telah sampai di rumah sakit milik keluarga Laksono. Penanganan secara tanggap dan cepat dilakukan oleh para medis karena pasien adalah orang penting bagi mereka.
Bramantyo saat itu sedang berada di pulau bolo, mengurus bisnis pribadinya yang berkembang pesat di sana, mendapat kabar bahwa sang istri yang sedang marah kepadanya itu tidak sadarkan diri hingga kepalanya terantuk meja dan mengeluarkan darah, membuatnya kalang kabut seketika. Ia meminta kru jet pribadinya bersiap hanya dalam lima belas menit saja.
Waktu yang begitu singkat untuk mempersiapkan pesawat termasuk Airbreathing jet engine, di mana mesin harus menyedot udara dari luar untuk dipanaskan hingga bisa mendorong pesawat lepas landas. Semuanya butuh waktu.
Kepanikan terjadi di mana-mana. Penyebabnya adalah kepanikan bos besar yang menular. Bramantyo yang telah mengambil alih kedudukan Catur Laksono satu tahun yang lalu, berhak menyandang sebutan Bos Besar yang dulu disematkan kepada Catur.
Sang bos besar marah-marah tidak jelas kepada setiap orang yang terlihat olehnya, karena frustasi dan merasa tidak berdaya saat terjadi sesuatu kepada Alisha, ia tidak berada di sampingnya. Sementara Lina, sekretaris andalannya sedang cuti hamil saat itu, praktis Bramantyo tidak punya asisten handal yang bisa mengambil inisiatif cerdas seperti Lina dalam setiap permasalahan yang timbul.
Permasalahan rumah tangganya yang sedang dihantam badai, pemicu utama labilnya emosi Bramantyo. Hanya keberadaan Alisha yang masih bertahan di sisinyalah yang membuat Bramantyo sampai saat ini tidak mengambil keputusan yang fatal. Meskipun hubungannya dengan Alisha bagaikan api dalam sekam dua minggu ini.
Pengkhianataan yang dilakukan oleh salah satu pengawalnya telah memicu pengkhianatan lain yang berdampak sangat luar biasa merusak tatanan keluarga yang sangat dicintainya, keluarga yang dijadikan tempatnya berpijak untuk terus mengobarkan semangat demi kebahagiaan dan kesejahteraan mereka.
Bramantyo menyadari bahwa perasaan Alisha kini sedang hancur berkeping-keping dengan kehadiran Dimas, anak yang tidak pernah ia bayangkan lahir dari rahim wanita lain. Namun, semua sudah terjadi, waktu pun tidak bisa diputar ulang, ia harus menjalani setiap resiko dengan tabah, putra-putrinya masih kecil, masih harus ia antarkan bertumbuh dan berkembang.
"Bos penyebabnya surat keterangan DNA." Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga Bramantyo dari salah seorang pengawalnya yang stand by di rumah. Ia memerintahkan agar surat itu dikirm melalu mesin faximili ke kantornya di pulau Bolo.
Bramantyo membaca isi dari lembaran kertas tersebut, hatinya terasa perih seketika. Ia memahami rasa sakit yang diderita oleh istrinya karena ia pun merasakannya. Tanpa sadar air matanya menetes. Ia tidak punya pilihan lain saat itu selain menerima permainan mereka.
"Bos, pesawat sudah siap," lapor seorang pengawal.
Mendengar laporan tersebut, Bramantyo seakan meloncat dari tempat duduknya, tanpa menoleh kanan-kiri ia segera bergegas pergi menuju mobil yang akan membawanya ke landasan.
Waktu tempuh selama empat jam di udara, merupakan menit-menit penyiksaan bagi batinnya. Kekhawatiran akan keselamatan Alisha begitu besar, sebesar rasa bersalahnya karena telah menjadi orang yang sangat tidak berdaya! Seluruh kekayaan yang dimilikinya tidak mampu membuat waktu berputar ulang baginya.
Teringat sekitar sepuluh hari yang lalu, saat pulang dari bertugas di luar negeri, ia mendengar suara tangisan bayi, Bramantyo mengerutkan dahinya dalam-dalam.
"Papi ...!" teriak Bima disusul oleh suara putrinya, "Hore! Papi datang ...!" Mereka berlari ke arah Bramantyo dan berebutan memeluknya. Ia tertawa senang disambut oleh kedua anaknya.
"Mana mami kalian?" tanya Bramantyo sedikit merasa heran, karena biasanya istri cantik itu ikut menyambut dengan senyum ceria melihat kehebohan putra putrinya.
"Mami sibuk dengan Dimas terus, Papi ...," jawab Bima mengandung protes.
"Loh, siapa Dimas?" tanya Bramantyo keheranan.
"Mami beli dede bayi, tapi cowok, Pi. Bim maunya cewek," cicit Bima dengan mimik cemberut.
"Mana ada bayi dibeli, Bim? Memangnya ada toko bayi," sergah Andrea mencibir kepada adiknya.
"Ada kok, itu mami beli," timpal Bima tidak mau kalah.
Mendengar hal itu, Bramantyo semakin keheranan, seketika perasaannya tidak enak, "Bayi siapa sih?" tanyanya seraya duduk di sofa ruang keluarga.
"Bayinya mami dong, Pi. Namanya Dimas, Dimas Laksono, Bim yang kasih nama loh," jawab Bima dengan bangga.
"Laksono? Hei, jangan main-main dengan nama Laksono. Tidak boleh disematkan ke sembarang orang loh ...," tukas Bramantyo kepada putranya.
"Tapi ... kata mami, itu memang Laksono, kan anaknya Papi, tapi bukan dari mami." Andrea menatap Bramantyo dengan pandangan lugu.
Seketika Bramantyo bangkit lalu setengah berlari menaiki tangga menuju lantai dua di mana ruang kamarnya berada, diikuti oleh kedua putra dan putrinya.
Alisha tidak berada di kamarnya, Bramantyo menuju ruang sebelah di mana ia melihat Andrea dan Bima memasuki ruang sebelah, kamar yang ditempati oleh Bima dari sejak ia bayi.
Bramantyo mengahmpiri Alisha yang telah dirindukannya, ia hendak memeluk dan mengecup kening Alisha, tapi sebelum rengkuhan tangannya sampai, Alisha dengan terang-terangan menghindarinya.
"Sayang ... ada apa?" tanya Bramantyo semakin tidak karuan perasaannya.
Alisha tidak menjawab, kedua tangannya sedang sibuk mengancingkan baju celana pada bayi itu, Dimas Laksono. Lalu tanpa mengatakan apapun, ratu dalam rumah tangga mereka itu berbalik dan melangkah keluar kamar meninggalkan mereka berempat di sana.
Bramantyo menatap lekat bayi itu, samar-samar ia melihat kemiripan khas keluarga Laksono pada sang bayi, tapi ia segera menepisnya, "Gak mungkin, di keluarga sedang tidak ada yang hamil," pikirnya seraya mengernyitkan dahi mengingat-ingat.
"Kalian di sini ya, jagain dede bayinya, Papi nyusul mami dulu," ujar Bramantyo kepada Andrea dan Bima yang dibalas anggukkan oleh mereka.
Dengan cepat ia menyusul Alisha, masuk ke dalam ruang tidur mereka. Alangkah terkejutnya Bramantyo melihat ruang kamar telah berubah. Kini di hadapannya terpampang kamar dengan sekat dan memiliki dua tempat tidur. Persis seperti saat mereka baru menikah dulu. Ruang studio lukis Alisha telah berubah menjadi kamar tidur kembali.
"Apa-apaan ini?" gumam Bramantyo.
Alisha muncul dari arah dalam, ditangannya ada sebuah amplop. Bramantyo terkesiap melihat sorot mata Alisha mengandung luka dan kebencian, jelas ditujukan kepada dirinya.
"Hei, Sayang ...." Belum selesai Bramantyo bicara, Alisha telah menempelkan amplop itu pada d**a* suaminya dengan satu hentakan. Plak.
"Baca dan keluar!" usir Alisha dengan sorot mata marah.
"Tapi, sayang ... ada apa ini?" tanya Bramantyo dengan nada memelas.
"Keluar!" perintah Alisha dengan tegas.
Bramantyo membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar kamar seraya masih memegang amplop itu di d**a*nya.
Ia menyelinap ke kamar tamu dan menutup pintu. Sambil berusaha menenangkan dirinya, Bramantyo duduk dipinggiran kasur. Ia melihat amplop di tangannya, tertera dari sebuah rumah sakit yang beralamat di singapura.
Dengan tangan bergetar, ingin bersiap diri untuk menerima kabar yang mungkin luar biasa karena telah membuat istrinya yang sangat baik hati itu marah seperti singa lapar. Ia membuka amplop yang terlihat seperti sering dibuka itu.
Hatinya mencelos saat membaca tulisan laporan hasil tes DNA, bahkan dengan namanya tercantum jelas di sana. Berulang kali ia membacanya nama itu tidak berubah. Tetap Bramantyo Laksono.
Kepalanya mendadak pening, ia sangat marah karena mengira ada orang yang sengaja mempermainkan mereka. Dengan gerakan cepat, Bramantyo melesat menuju kamarnya kembali. Ia melihat Alisha sedang menangis dengan suara yang menyayat.
"Sayang, ma'afkan aku, tapi bisakah kamu jelaskan ada apa ini? Kenapa namaku ada di laporan DNA ini?" tanya Bramantyo dengan wajah sangat kebingungan.
Alisha menengadahkan kepalanya, kedua bola matanya basah terus menerus akibat ar mata yang konsisten keluar berjejalan.
"Jangan tanya padaku, tanyalah sama Veronika. Bukan aku yang melakukan s*x kepar*at itu, tapi kamu! Keluaar ...!" teriak Alisha dengan kasar seraya melempar Bramantyo dengan telepon genggam yang sedang di pegangnya.
Melihat istrinya seperti itu, Bramantyo bergidik ngeri, ia tidak menghindar saat telepon genggam yang dilempar oleh istrinya mengenai leher. Sakit.
"Ya, ya ... kalau itu bisa membuatmu tenang, aku keluar. Aku menunggu saat kamu sudah tenang dan bisa bicara. I love you," jawab Bramantyo seraya membalikkan tubuhnya.
Mendengar ucapan 'I love you' dari suaminya, darah Alisha semakin mendidih. Tanpa sadar ia berseru, "Baji*ngan!" seraya ambruk, terduduk di lantai dengan hati pilu dan perih serta linangan air mata yang tidak berhenti mengalir.
Bramantyo menghentikan langkahnya, mendengar Alisha mengatakan hal itu membuat hatinya sakit dan tersinggung. Tapi, ia tidak ingin membahasnya atau pun membantah saat ini, ia memilih untuk keluar kamar dan memikirkan semuanya dengan kepala dingin.
"Veronika? Kok kaya pernah dengar nama itu," batin Bramantyo mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah mengenal atau bertemu dengan seseorang bernama itu.