Bagian 5

1284 Words
 Sky High Scholl adalah sekolah menengah keatas yang bertaraf internasional tepat berada di Jakarta Pusat. Memiliki banyak fasilitas seperti lapangan olahraga bagi setiap cabangnya masing-masing, serta ruang musik dari yang musik tradisional sampai modern, ruang teater, ruang dancer, serta memiliki dua halaman utama yang luas.  Sosok wanita yang kini tengah memasuki umur 32 Tahun, keluar dari dalam mobil BMW i8, ia mengenakan  seragam khas sekolah milik Sky High Scholl, umurnya yang 10 Tahun lebih tua dari standar murid sekolah pada umumnya.  Wanita itu ialah Avelyn Angelina, wanita yang disuruh oleh Theodor untuk menyamar menjadi murid di Sky High Scholl. Ia harus bisa mendapatkan anak dari seorang Jaksa yang bernama Farlten Albert.  Suasana baru dengan penyamaran yang baru, begitupun dengan target yang baru. Ia sebenarnya tidak sudi jika harus berteman dengan para bocah yang menurutnya tidak akan pernah bisa membangkitkan gairahnya.  Wanita yang sudah memasuki kepala tiga itu berjalan ke dalam gedung sekolah yang bertaraf internasional. Murid baru itu julukan yang ia dapatkan saat ini.  Banyak pasang mata menatap dirinya, entah tatapan kagum atau jijik dengan penampilan yang ia kenakan. Sebut saja pakaian yang ia kenakan sangatlah ketat dan terlihat seksi. Dua kancing pada kerah bajunya ia lepaskan membuat gundukan pada dadanya sedikit terlihat, roknya satu jengkal diatas lutut dibuatnya seperti span, hingga kedua pantatnya terlihat sangat menonjol sekali.  Avelyn tidak begitu memperdulikan berbagai pasang mata yang menatapnya, dengan angkuh ia berjalan melewati semuanya. Rambutnya yang ia gerai bertentangan di udara. Semua laki-laki yang berada di sana menatap tanpa berkedip sedikitpun.  Setiap melewati lorong demi lorong yang ia lalui, tidak satupun yang dapat menggairahkan dirinya. Hingga ia menemukan kelasnya yang berada di lantai 4 yang bertuliskan 'Kelas Biologi Satu'.  Avelyn memasuki kelas tersebut dan langsung mendapatkan sambutan baik oleh para laki-laki yang berada di sana, tapi tidak dengan para perempuan di sana. “Oh Tuhan, pagi-pagi sekali kau telah mengirimkanku seorang Bidadari, maka nikmat mana lagi yang harus aku dustakan,” ujar salah satu laki-laki disana yang bernama Reyhan dalam nametagnya.  Avelyn berjalan mencari bangku kosong yang berada di sana. “Hay cantik ... duduklah disampingku,” rayu laki-laki yang kini keberadaannya tepat  disebelah Avelyn berdiri. “Oh terimakasih,” balas Avelyn. Ia mendudukan diri di kursi kosong tepat disebelah laki-laki yang membujuknya. “Kenalkan aku Derel ...,” Laki-laki itu mengulurkan tangannya. “... tak usah kau sebutkan nama, karena aku tau kau adalah Avelyn.”  Avelyn hanya tersenyum dengan menjabat tangan Derel. “Jelaslah kau tau, dari nametag pada bajuku,” batin Avelyn.  Perkenalkan demi perkenalan terus berlanjut pada mereka yang penasaran terhadap Avelyn. Setelah perkenalan selesai sosok laki-laki yang sudah ia tunggu akhirnya datang. Farlten Albert, laki-laki itu duduk tepat didepan mejanya. Keberuntungan baginya, dengan begitu mungkin akan terlihat lebih mudah untuk ia dekat dan berteman dengannya.  Avelyn beranjak dari kursinya, berjalan menghampiri sosok laki-laki di depannya yang kini sedang sibuk memainkan ponselnya.  Avelyn mengulurkan tangannya tepat dihadapan laki-laki itu hingga laki-laki tersebut mengangkat wajahnya dengan kebingungan. “Avelyn,” ujarnya mengenalkan diri. Farlten hanya tersenyum sedikit dan bahkan hanya terlihat oleh Avelyn seorang. “Senyuman dingin yang terpaksa,” batin Avelyn.  Avelyn menarik kembali tangannya yang tidak mendapatkan sambutan oleh Farlten, laki-laki itu terlalu sibuk memainkan ponselnya. Untuk kedua kalinya ia diabaikan oleh seorang laki-laki setelah Theodor. “Dari caranya aku berkenalan, sepertinya dia tidak beda jauh dari Theodor, mungkin aku akan kesulitan untuk mendapatkannya,” batin Avelyn.  Avelyn kembali ke tempatnya, menatap seluruh inci tubuh Farlten dari belakang serta memikirkan cara untuk bisa dekat dengannya. “Avelyn kau tak usah hiraukan dia ... dia memang seperti itu, cuek dan dingin. Meskipun dia tak mau berteman denganmu, tapi kita semua mau ko berteman denganmu,” ujar Derel. “Iya terimakasih telah menerimaku dengan baik.”  Seorang guru dengan perawakan tinggi dan tegap, dengan d**a bidangnya serta otot pada lengannya sangatlah menggoda dalam penglihatan Avelyn. Guru itu memasuki Kelas Biologi tersebut.  Menurut Avelyn, seharusnya Theodor menyuruhnya untuk menjadi guru agar bisa berkenalan dan dekat dengan para guru yang dapat membangkitkan gairahnya. Bukan menjadi teman dari seorang laki-laki yang masih bocah.  Meskipun itu dalam hal tugas, sebisa mungkin Avelyn harus bisa memanfaatkan keadaannya dalam bertugas. Setidaknya ia harus mendapat cumbuan dari targetnya.  Guru itu memperkenalkan dirinya sebagai Mahesa Gabrilla selaku guru yang mengajarkan mata pelajaran tentang keilmuan alam.  Hanya dari cara guru itu memperkenalkan diri saja, di bawah sana milik Avelyn sudah berdenyut geli, membayangkan berbagai macam hal liar yang ingin ia salurkan terhadap guru tersebut. Otak m***m Avelyn kini benar-benar berjalan.  Hingga guru tersebut membuyarkan lamunanannya, menyuruhnya untuk maju kedepan. Andai jika tidak ada orang di kelas tersebut, maka bisa dipastikan Avelyn akan menerkam gurunya tersebut. “Kamu? bukankah anak baru itu,” kata Mahesa, guru itu. “Iya.” “Silahkan kamu perkenalkan diri, biar yang lain tau namamu.” “Sudah, saya sudah memperkenalkan diri.” “Perkenalkan diri lagi, biar saya tau.” “Heyy ...  lihatlah, seharusnya dia sudah tau namaku dari nametag seragam yang ku pakai tapi mengapa ia menyuruhku memperkenalkan diri secara langsung. Ternyata dia memang tergoda denganku,” batin Avelyn dengan menatap guru itu dengan m***m. “Perkenalkan namaku Avelyn Angelina, kalian cukup panggil aku Avelyn, aku pindahan dari kota semarang” jelas Avelyn. “Avelyn ... apa kau sudah punya pacar?” tanya guru itu. “Heyy ... apa-apaan? Dia menanyakan hal itu. Sudah ku bilang dia pasti tergoda denganku.” “Tidak! Aku masih sendiri,” “Ya sudah lebih baik kau duduk, dan kita akan langsung masuk pembahasan pada materi selanjutnya.” Mahesa terlihat sedikit gugup berhadapan dengan Avelyn.  Dalam pandangan Mahesa ada sesuatu yang beda dalam diri Avelyn, ketika ia berhadapan dengan Avelyn ia merasakan sesuatu yang tidak biasa, layaknya seperti ia sedang berhadapan dengan murid lainnya.  Saat berhadapan dengan Avelyn ia merasa bahwa Avelyn tidak jauh beda dari dirinya entah dalam hal umur atau cara ia dalam berpendapat. Jujur Mahesa terbuai akan paras yang di tebarkan oleh Avelyn.  Mahesa sebagai guru yang profesional, sebisa mungkin ia harus bisa menyembunyikan rasa penasarannya terhadap siswi barunya, Avelyn. Ia juga harus bisa menahan diri darinya agar tidak terlalu jauh untuk dapat mengenalnya.  Mahesa menjelaskan materinya dengan sangat lihai, membuat semua murid yang berada dikelasnya mengerti dan paham pada materi yang telah ia sampaikan.  Waktu tak terasa hingga bel penanda jam istirahatpun telah berbunyi, semua murid berhamburan keluar kelas untuk menuju surganya masing-masing. “Avelyn, maukah kamu ke kantin bersamaku,” ajak Deren membuyarkan lamuna Avelyn. “Oh ... tidak, terimakasih.” “Kenapa? Hayolah kita ke kantin bersama-sama, bukannya kau sendiri belum tau tempatnya,” kata Deren. “Maaf, tapi lain kali kita bisa makan bersama. Ada hal juga yang harusku  kerjakan,” jelas Avelyn dengan melirik Mahesa yang masih berada dimeja gurunya. “Ya sudah kalau begitu, aku pergi dulu.”  Kini tinggal Avelyn, Farlten dan Mahesa di dalam kelas tersebut. Farlten yang sibuk memainkan ponselnya dan Mahesa yang tengah merapihkan buku-bukunya yang tebal untuk ia bawa keluar.  Avelyn bingung harus mendekati siapa terlebih dahulu. Farlten sangatlah angkuh dan Avelyn sangat tidak suka dengan orang yang seperti itu, berbeda dengan Mahesa yang menurutnya sangatlah sopan dan tau cara menghargai orang lain, mungkin juga Mahesa seperti itu hanya karena dirinya sebagai guru. Avelyn tidak mengerti lagi.  Kini Avelyn memutuskan untuk menghampiri Mahesa dan membantunya mengangkat beberapa buku yang ada pada pelukannya. “Mari Pak, saya bantu.” “Tidak Avelyn ... tidak usah, saya bisa sendiri,” tolak Mahesa. “Sudahlah Pak, biar saya bantu ini kecil ko buat saya.” Avelyn mengambil beberapa buku yang sudah ada dipelukan Mahesa.  Mahesa hanya bisa pasrah dengan menahan detak jantungnya yang kini tidak teratur kinerjanya. “Terimakasih telah membantu ... kau harus ikuti aku untuk meletakkan buku ini di meja kerjaku.” “Tidak masalah.” Avelyn tersenyum sangat lebar hingga deretan giginya terlihat sangat indah dengan matanya yang sedikit menyipit. Mahesa benar-benar sangat kagum melihat murid baru seperti Avelyn.  Farlten bangkit dari tempatnya, melewati Avelyn dan Mahesa yang tengah berbincang. “Jijik! lihat pasangan yang so romantis,” gumam Farlten tepat disamping Avelyn saat melintas, dan itu masih dapat didengar jelas oleh Avelyn.  Avelyn mengabaikan ucapan Farlten. “Pak, jadi kita mau diam disini atau keruangan Bapak untuk meletakkan buku ini?” tanya Avelyn. “Hah ...,”  Mahesa masih mencerna ucapan Avelyn. “...  eh iya.” Guru itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, terlihat sangat gugup dihadapan Avelyn.  Mereka keluar kelas bersama, diperempatan lorong mata Avelyn bertemu dengan Theodor yang sedang memantaunya dengan ekspresi yang tak dapat terbaca. “Sial kenapa dia harus ada disini,” batin Avelyn.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD