Aku menusukkan pedangku ke sasaranku. Abby dan Yuna tidak memasang ekspresi terkejut, tidak bergerak sama sekali sesuai dengan yang kuminta. Aku menyadari bahwa mereka menyadari kemana pedangku sekarang ini. Setelah beberapa detik lamanya, Abby mulai menoleh kearah kanan, tempat Yuna berdiri. Lebih tepatnya, kearah pedangku melaju tadi. Ya, aku menusukkan pedangku ke arah Yuna. Yuna hanya bisa menatapku, masih dengan tidak bergerak sama sekali.
"Tenang, sudah boleh bergerak kok sekarang." Kataku kepada Abby.
"Bos, apa dia yang ngeracunin Fera?" Tanya Abby kepadaku.
Aku mengangguk pelan.
"Ya, dia. Betul-betul licik, seperti rubah saja." Kataku.
Yuna pun mulai menggerakan lehernya, untuk mengikuti arah pedangku. Pedangku melewati leher dan rambutnya. Pandangan mata Yuna terus mengikuti arah pedangku, melewati lehernya, menyibak sedikit rambutnya, dan akhirnya memperlihatkan sebuah telapak tangan yang tertusuk oleh pedang nodachi-ku.
"Hati-hati, Yuna. Dia berbahaya." Kataku.
"Iya." Kata Yuna.
"Sejak kapan dia ada disini?" Tanya Abby.
Menyembunyikan hawa keberadaan sambil tetap bergerak, bahkan tetap bisa menggunakan tenaga ki. Ini kemampuan yang hanya dimiliki oleh mata-mata tingkat tinggi. Bahkan Peter pun tidak bisa menyembunyikan hawa keberadaannya sampai hampir nol. Sewaktu dia memata-matai Erna di hotel pada saat kami kembali dari markas Myth, Fera pun masih bisa menyadari hawa keberadaannya. Akan tetapi, orang ini betul-betul bisa menyembunyikan hawa keberadaannya. Aku pun harus berkonsentrasi penuh, untuk mendapatkan sedikit saja tentang hawa keberadaannya. Betul-betul lawan yang penuh dengan kehampaan.
"Rayna, kamukah itu?" Tanya Yuna.
"Ya. Lama nggak jumpa ya, Yuna." Kata orang yang berdiri bersembunyi dibalik Yuna dan baru saja tertusuk pedangku, yang ternyata adalah Rayna.
Apa? Dia bisa berbahasa Indonesia?
"Kaget, pak? Ibu saya orang Rusia, tapi ayah saya orang Indonesia. Saya lancar berbahasa Indonesia kok." Kata Rayna, sambil mencabut tangannya dari pedangku, dan melangkah keluar dari balik tubuh Yuna.
"Selamat karena berhasil membodohiku. Aku nyaris sama sekali ga ngerasain aura membunuh sedikitpun dari kamu waktu itu, makanya aku ga curiga sama sekali." Kataku.
"Itu keahliannya, pak. Bersembunyi, menyerang dari persembunyiannya, berbaur dengan orang lain, semua dilakukannya tanpa memancarkan aura membunuh sama sekali. Dia salah satu anak kesayangan Cockatrice." Kata Yuna.
Tipe yang bisa membunuh sambil menyembunyikan aura keberadaan ya? Bisa dikategorikan sebagai musuh alami kami. Gaya bertarung aku dengan Abby cukup mirip. Kami bertarung dengan cara membaca aura lawan. Dari aura lawan yang kami baca, kami bisa mendapatkan gambaran besar tentang emosi lawan, arah serangan lawan, dan seberapa kuat serangan yang dilancarkan oleh lawan. Kemudian, kami bereaksi sesuai dengan apa yang lawan kami lakukan. Tipe orang yang menggunakan tenaga ki, pasti bertarung dengan model seperti itu. Bedanya, aku spesialis kenjutsu, sedangkan Abby spesialis tenaga dalam. Yuna pun juga sama. Dia membaca gerakan lawan dengan membaca aura lawannya, tetapi dikombinasikan dengan kondisi psikologis lawan, yang membuat pembacaan gerakan lawan menjadi lebih akurat. Caranya menyerang sedikit lebih sporadis.
Bertemu dengan lawan yang hanya memancarkan aura yang benar-benar hampir tidak terdeteksi, kami betul-betul berada dalam kerugian yang cukup tinggi. Artinya, kami harus bertarung dengan betul-betul mengandalkan insting bertarung. Lawan seperti ini, cukup efektif bila dihadapi dengan lebih dari satu orang. Satu orang bertahan, sedangkan yang lainnya menjadi backup. Kalau saja Fera tidak keracunan, paling tidak aku dan Fera bisa tinggal untuk melawannya, karena kombinasi aku dan Fera sangat cocok. Aku petarung jarak dekat sampai menengah, sedangkan Fera petarung jarak jauh. Cocok sekali menghadapi lawan seperti Rayna ini. Hmmm, tunggu. Mungkinkah Rayna sudah memperhitungkan hal ini, dan meracuni Fera dengan jarum yang disembunyikan olehnya dibalik ikat pinggang Yuna?
"Yuna, Abby. Bawa Fera keluar dari sini. Pergilah ke hangar pesawat bergambar burung merak merah. Erna sudah menunggu disana. Pergi ke pesawat dulu, baru rawat Fera. Aku sedikit khawatir dengan Erna, walaupun ia kelihatannya baik-baik aja. Aku akan nahan dia disini." Kataku.
"You sure, boss? (Kamu yakin, bos?)" Tanya Abby.
"Hell yeah. (Iya.)" Kataku.
"Mungkin sebaiknya gua aja yang bawa Fera. Yuna disini aja bantuin lo bos." Kata Abby. Yuna pun terlihat siap membantuku.
"Ga By. Lo yg ngebawa Fera, bakal jadi sasaran empuk infantri lawan. Lo pikir gampang menghindari senjata brondong saat lo harus ngebawa orang di punggung lo?" Tanyaku.
"Udah percaya aja. Gua pasti balik." Kataku.
Abby awalnya terlihat ragu. Tapi sepertinya ia menyadari bahwa Fera butuh pertolongan pertama. Ia langsung menggendong Fera di punggungnya, dan keluar dari ruangan ini. Aku melihat kearah Yuna, dan menganggukan kepalaku, memberi tanda agar ia keluar juga dari ruangan ini. Yuna mendekatiku, dan mencium bibirku.
"Jaga diri bapak... Aku nggak akan pergi dari pulau ini sebelum kamu kembali, sayang." Kata Yuna.
Aih, sudah tiga orang yang bukan istriku yang memanggilku sayang. Anehnya, aku entah kenapa, merasa sangat senang.
"Jaga dirimu, sayang." Kataku kepada Yuna.
Yuna mengangguk sambil tersenyum. Kemudian berlari menyusul Abby. Aku pun berlari sekuat tenaga menyusul Yuna, langsung melompat kedepan tubuhnya, dan menahan serangan tebasan pisau yang tiba-tiba diluncurkan oleh Rayna yang sudah berada didepan Yuna. Betul-betul hampir tanpa aura sama sekali. Gerakannya pun cepat sekali. Aku tidak merasakan dia bergerak, dan tahu-tahu dia sudah sampai didepan Yuna. Badanku bergetar saking senangnya mendapat lawan yang menyeramkan seperti ini.
"Udah. Ga perlu mengincar lawan yang ga punya niat bertarung. Mari kita bersenang-senang disini." Kataku kepada Rayna.
"Akhirnya kamu menemukan seorang pasangan yang hebat, Yuna. Aku ikut seneng." Kata Rayna.
"Kita sudahi dulu hari ini. Kapan-kapan, kita lanjutin pertarungan kita yang tertunda." Kata Yuna, sambil kemudian berlari keluar ruangan.
Karena tertahan olehku, mau tidak mau Rayna tidak bisa mengejar Yuna. Berbahaya kalau sampai ia mengejar Yuna dan Abby yang sedang membawa Fera.
"Kamu yakin bisa kabur begitu saja, sekalipun udah ngalahin aku?" Tanya Rayna.
"Oh, cukup banyak bicara ya kamu. Apalagi Bahasa Indonesia kamu cukup lancar." Kataku.
"Aku beritahu aja. Aku punya berita baik dan buruk. Berita baiknya, anggota Legend yang beroperasi disini hanyalah aku dan Chimera. Kalo kamu bisa ngalahin aku, berarti paling tidak yang tersisa disini hanyalah prajurit-prajurit penjaga biasa. Tapi prajurit penjaga sekalipun, bisa mengoperasikan pesawat tempur. Satu-satunya jalan buat kalian lari adalah pesawat yang ditinggalkan Phoenix. Sejago apapun pilot kalian mengendalikan pesawat, bisakah lari dari kejaran berpuluh-puluh pesawat tempur?" Kata Rayna.
"Aku hanya melihat satu hanggar pesawat yang memuat tiga pesawat. Bagaimana caranya bisa ada berpuluh-puluh pesawat tempur?" Tanyaku.
"Tidak perlu kuberitahu bagaimana caranya. Yang penting aku sudah memberitahu garis besarnya." Kata Rayna.
"Lalu, nama organisasi kalian itu sebetulnya Myth, atau Legend?" Tanyaku.
"Oh, sepertinya Siren dan Chimera mati tanpa memberitahu apapun tentang Myth ya? Baiklah. Myth adalah nama organisasi kami secara keseluruhan. Legend adalah perkumpulan anggota Myth yang paling tinggi, atau lebih tepatnya bisa dikatakan The Supreme Order of Myth. Legend terdiri dari tiga belas orang. Berhubung Siren dan Chimera sudah mati, berarti ada posisi kosong dua. Tertarik untuk bergabung? Orang sepertimu bisa dengan mudah masuk ke dalam hirarki Legend." Kata Rayna.
"Hmmm. Satyr, Siren, Phoenix, Chimera, dan kamu. Berarti ada delapan orang lagi yang belum muncul ya?" Tanyaku.
"Begitulah. Aku tidak tahu apakah selang waktu dari Siren mati sampai sekarang, Myth sudah menemukan penggantinya atau belum." Kata Rayna.
"Cukup besar juga ya mulutmu rupanya. Apa ga apa-apa rahasia sebesar itu dibocorkan?" Tanyaku.
"Nggak akan mengubah apapun. Toh kalian akan segera mati disini. Kecuali kalau kamu memutuskan untuk bergabung dengan kami." Kata Rayna.
"Percaya diri juga rupanya." Kataku, sambil mengerahkan tenagaku untuk mendesak Rayna yang masih beradu tenaga denganku.
Rayna pun juga mengerahkan tenaganya untuk melawan desakan pedangku. Hmmm, dia bisa bertahan sejauh ini, padahal aku menggunakan tenaga ki. Artinya, dia juga menggunakan tenaga ki, dan sepertinya cukup mahir dalam menggunakannya. Kemudian, ia melepaskan tenaganya dan langsung melompat kesamping, sehingga pedangku menyosor terus maju akibat tenaga yang kukerahkan. Saat kulihat kesamping tempat arah dia melompat barusan, dia sudah tidak ada. Aku langsung melihat ke seluruh sisi ruangan, tetapi tidak menemukan dia. Aku menyabetkan pedangku dari arah kiri menyerong ke kanan menuju atas, dan beradu dengan sabetan pisau yang Rayna lancarkan dari arah atasku. Untungnya tebakanku benar bahwa ia sedang berada di udara diatasku.
Bagus, dengan begini, gerakannya harusnya terhenti di udara. Kesempatanku untuk melancarkan serangan tusukan keatas. Aku memutar pergelangan tanganku, untuk membelokkan pedangku yang tadinya beradu dengan pisau Rayna, menjadi tusukan yang langsung kuarahkan ke lehernya. Melihat tusukkan pedang yang mengarah ke lehernya, Rayna langsung mengayunkan pinggulnya, menggunakan kaki yang terayun akibat ayunan pinggulnya dan mendaratkan jempol kaki kirinya ke pedangku. Rayna yang kini sudah mendapatkan tumpuan di pedangku, langung memajukan badannya memutari pedangku. Kini ia sudah sangat dekat dengan kepalaku. Ia langsung mengayunkan tangan kirinya yang memegang pisau, untuk menyabetkan pisau ke kepalaku. Aku memutar pergelangan tanganku, untuk mengubah arah pedangku untuk melindungi kepalaku. Pisau Rayna dan pedang milikku langsung beradu. Kemudian, kakinya mendarat di lantai, dan ia langsung melompat tiga kali kebelakang, sehingga tercipta jarak diantara kami.
Betul-betul hebat, keberadaannya sama sekali tidak terdeteksi. Tubuhnya pun sangat lentur, sehingga tidak sulit baginya untuk melaksanakan serangan-serangan yang cukup kompleks. Lalu, ia melempar pisau kearahku. Aku langsung mengibaskan pedangku untuk membuat pisau yang dilempar itu terpental. Tetapi, setelah aku berhasil membuat pisau itu terpental, tiba-tiba pisau kedua sudah terlempar kearahku, dan jaraknya sudah sangat dekat sekali denganku. Aku langsung memutar tubuhku sembilan puluh derajat ke kiri untuk menghindari pisau itu. Ketika aku melihat kearah Rayna untuk mengantisipasi serangan berikutnya yang mungkin ia lancarkan, ia sudah menghilang dari pandanganku. Betul-betul terasa sepi sekali ruangan tempatku berada ini. Seolah-olah hanya ada aku di ruangan ini. Walaupun terkadang aku merasakan aura keberadaan Rayna yang sangat tipis, tetapi aura keberadaan Rayna itu seringkali menghilang.
Gawat, aku harus cepat menemukan dia. Aku menyabetkan pedangku kebelakang, tetapi pedangku hanya menebas udara saja. Setelah itu, tiba-tiba aku merasakan kaki kananku menjadi panas sekali. Aku segera melihat apa yang terjadi dengan kakiku. Ternyata Rayna sudah membungkuk didepan kaki kananku dan baru saja menyayat kaki kananku dengan pisaunya. Gila, kalau saja tadi kaki kananku salah bergerak pada saat aku menebas kebelakang, kaki kananku pasti sudah putus oleh pisaunya. Aku langsung memutar pergelangan tanganku untuk mengubah arah pergerakan pedangku menjadi tusukan kearahnya. Tapi sayang, siapapun yang ahli bela diri pasti bisa menghindari serangan itu dengan mudah. Rayna hanya menggerakan lehernya sedikit sehingga pedangku hanya menusuk lantai dibelakangnya. Tanganku yang kini menjadi mangsa empuk pisaunya, langsung ia sayat. Aku berhasil sedikit memundurkan pergelangan tanganku, sehingga tanganku selamat dari putus. Tapi, pisaunya tadi melukai nadi pergelangan tanganku. Setelah itu, ia langsung melompat kebelakang untuk kembali menciptakan jarak.
"Ayolah, perlihatkan kekuatan yang berhasil mengalahkan Siren dan Chimera." Kata Rayna.
"Sayangnya yang mengalahkan Siren bukan aku, dan kebetulan dia juga lengah. Aku juga berhasil mengalahkan Chimera karena faktor beruntung." Kataku.
"Cih, sok merendah." Kata Rayna.
Rayna pun mengambil satu pisau lagi dari kantong baju pasien rumah sakit yang ia kenakan itu. Kini ia memegang dua pisau di kedua tangannya. Rayna langsung berlari kearahku, dan melancarkan serangan bertubi-tubi dengan kedua pisaunya. Atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang, samping... Ia melancarkan serangan dari berbagai arah. Aku hanya bisa memutar-mutar pergelangan tanganku untuk mengubah arah pedangku untuk bertahan. Cepat sekali serangannya. Masih mending kalau cepat tapi asal-asalan, ini sudah cepat terarah pula. Diantara serangan-serangan yang sangat cepat itu, akhirnya aku melihat ia mengayunkan kedua pisaunya dari atas menuju bawah. Sepertinya ini kesempatanku. Aku langsung menahan kedua pisaunya dengan posisi pedangku secara horizontal, lalu memutar pedangku sehingga kini kedua pisaunya menjadi dibawah pedangku.
Aku memanfaatkan momen untuk memberikan tebasan pedangku kearahnya saat tangannya kehilangan keseimbangan untuk sementara waktu. DORR... Segera aku menghentikan tebasanku dan langsung menunduk. Aku tidak tahu apa yang datang dari bunyi itu. Aku hanya menunduk murni karena instingku. JLEB JLEB... Aku mendengar suara itu di tembok dibelakangku. Saat aku melihat apa yang ada di tembok, aku melihat dua ujung pisau itu sudah menancap di tembok. Cih, rupanya yang Rayna bawa itu bukan pisau biasa, tapi pisau yang bisa dilontarkan seperti pistol. Saat aku kembali melihat kearahnya, aku melihat bahwa pisau yang sebelumnya ia pegang, kini tinggal gagangnya saja. Tetapi diujung gagangnya, aku melihat ada lubang yang bentuknya seperti... DOR DOR DOR DOR DOR DOR. Aku langsung berlari secepat mungkin kearah samping guna menghindari sesuatu yang keluar dari ujung gagang pisau yang bentuknya seperti moncong pistol.
"Refleks yang bagus." Kata Rayna.
Hmmm, begitu ya mekanisme senjatanya. Jadi dari luar terlihat seperti pisau biasa. Tapi, kapanpun si penggunanya mau, dengan menggunakan suatu cara ujung pisau itu bisa dilontarkan layaknya seperti peluru. Setelah pisau itu tinggal gagangnya saja, maka gagang pisau itu berfungsi sebagai pistol yang bisa menembakkan peluru. Permainan psikologis yang sangat mematikan sebetulnya.
"Cih, rupanya mata-mata yang dilengkapi dengan persenjataan mematikan toh." Kataku.
"Mata-mata? Kamu salah kaprah, kawan. Aku bukan mata-mata, melainkan seorang psikolog. Aku tidak bertarung menggunakan pengaturan dan efisiensi tenaga ki layaknya seperti kamu dan Phoenix. Aku bertarung, atau lebih tepatnya membunuh musuhku, dengan memanfaatkan sisi psikologis lawanku." Kata Rayna.
"Sayang sekali, aku tidak tertipu oleh jebakan psikologismu." Kataku.
"Tidak ada kondisi psikologis yang bisa benar seratus persen. Setelah kuanalisa, senjata ini memiliki probabilitas membunuh lawan dengan angka kira-kira 0.94. Kalau kamu tidak terbunuh, berarti simpel. Artinya, kamu memang jago, atau kamu sangat beruntung, atau kedua-duanya." Kata Rayna.
Ia membuang dua gagang pisau itu, dan mengambil dua pisau lagi dari kantong bajunya. Pertama kali, dia sudah melempar dua pisau. Kemudian, ia mengambil dua pisau lagi dan dibuang kemudian setelah tinggal gagangnya. Lalu, sekarang muncul dua pisau lagi. Sebetulnya berapa banyak pisau yang dia punya sih?
"Masih ada satu lagi di kantongku." Kata Rayna.
Cih, tahu saja dia apa yang kutanyakan dalam hati.
"Tidak, aku tidak menebak. Aku cuma membaca perubahan raut mukamu dan gestur tubuhmu, sehingga aku kurang lebih tahu apa yang kamu pikirkan." Kata Rayna.
Hmmm. Sejauh ini, aku sudah mengumpulkan beberapa fakta. Tanda keberadaan dan aura nya hampir tidak terdeteksi sama sekali. Gerakannya sangat cepat dan lentur. Ahli bertarung jarak dekat. Ditambah dengan pistol yang tersembunyi dalam pistol itu, dia menjadi petarung jarak jauh juga. Dilihat dari kemampuan menembaknya, tembakannya cukup tepat, kira-kira levelnya sama dengan Yuna mungkin. Mampu membaca orang melalui gestur tubuh. Aku tahu teknik yang cocok bertarung dengan lawan semacam ini. Ya, teknik aliran tenaga ki yang cukup berbahaya. Yaitu, dengan cara menghentikan aliran tenaga ki dalam tubuh. Dengan begitu, tubuh menjadi lebih rileks karena tidak perlu mengatur efisiensi energi dan tenaga ki. Sangat berguna untuk menghindari serangan macam apapun. Akan tetapi, karena tenaga ki tidak terpencar ke seluruh tubuh, maka tubuh kita tanpa pertahanan. Bila keadaan tubuh seperti itu menerima serangan yang dialiri dengan tenaga ki, kerusakan pada tubuh kita akan sangat parah.
Aku pun masih harus berpikir dua kali untuk menggunakannya. Darah yang mengalir dari nadi pergelangan tangan dan kakiku semakin banyak. Kepalaku mulai sedikit pusing. Di satu sisi, aku harus menghentikan pendarahan pada tangan dan kakiku. Tapi di sisi lain, aku tidak boleh mengalihkan pandanganku dari Rayna, karena berbahaya sekali jika dia sudah hilang karena keberadaannya sulit untuk dideteksi. Andai saja aku menguasai pemadatan tenaga ki seperti Phoenix untuk menyembuhkan lukaku. Eits, tunggu dulu. Walaupun aku tidak pernah belajar caranya, tapi aku tahu konsepnya. Hal itu bisa dilakukan dengan cara memusatkan sejumlah tenaga ki disuatu bagian, kemudian mengalirkan tenaga ki lagi dari bagian tubuh lain ke bagian itu, sehingga tenaga ki yang berkumpul itu akan memadat, dan memulihkan sel-sel tubuh yang rusak.
Baiklah, tidak ada salahnya dicoba. Aku mengumpulkan tenaga ki di pergelangan tanganku, dan kemudian mengalirkan lagi tenaga ki untuk menekan tenaga ki yang berkumpul di pergelangan tanganku itu. Aku melihat lukaku perlahan-lahan mulai sembuh. Tetapi penyembuhannya sangat lambat. Rayna yang menyadari apa yang sedang kulakukan, langsung maju sambil melempar pisau yang ada di tangan kirinya. Aku memutar tubuhku untuk menghindari pisau itu. Kemudian aku menstabilkan tubuhku, dan bersiap menerima serangannya. JLEB... aku merasakan punggungku tertusuk sesuatu. Apa? Benda apa yang menusuk tubuhku.
"Bingung? biar kuperjelas." Kata Rayna.
Ia melempar pisau itu keatas arah langit-langit ruangan ini. Sebelum mencapai langit-langit, pisau itu terpecah-pecah. Ujung mata pisaunya tetap mengarah ke langit-langit, sementara gagangnya pecah menjadi lima atau enam bagian. Masing-masing pecahan dari gagang itu, memperlihatkan pisau kecil yang berada dibalik pecahan gagang itu. Di tengah pecahan-pecahan gagang itu, aku melihat suatu alat yang bentuknya cukup familiar. Bentuknya seperti pipa kecil yang memiliki enam cabang, dengan mekanisme berbentuk seperti kipas di tengah dimana semua percabangan pipa itu bertemu. Pernah melihat dimana ya benda itu? Dalam sekejap aku langsung mengingatnya. Ada di dalam pisau bulan sabit yang digunakan oleh Phoenix saat bertarung melawanku. Alat itu pasti berfungsi untuk menyebarkan pecahan gagang pisau yang dilengkapi dengan pisau kecil itu ke segala arah.
Aku langsung melompat kesamping dengan kepala mendarat duluan untuk menghindari pecahan gagang berpisau itu. Aku juga mencabut gagang berpisau yang menancap dipunggungku akibat lemparan pisau sebelumnya tadi. Sial, keadaannya betul-betul tidak baik. Aku sudah luka diberbagai tempat begini, sedangkan Rayna masih bersih dari luka apapun.
"Mencoba mengimitasi kemampuan milik Phoenix untuk menyembuhkan luka tubuh ya? Cukup baik sih, tapi masih jauh jika dibandingkan Phoenix." Kata Rayna.
Ya iyalah. Phoenix mampu menyembuhkan luka tebasan pedang dipundaknya, hanya dalam waktu beberapa detik. Sedangkan aku, dengan waktu dua kali lipat yang dibutuhkan oleh Phoenix, hanya mampu sedikit menyembuhkan luka yang paling-paling panjangnya hanya lima sentimeter. Perbedaan penggunaan tenaga ki antara aku dan Phoenix memang sangat jauh. Mungkin jika waktu itu Phoenix betul-betul serius bertarung denganku, aku sudah tidak bernyawa.
Kini, Rayna mengeluarkan pisau terakhir dari kantong bajunya. Tunggu. Betulkah itu pisau terakhir? Sebaiknya aku jangan berharap dulu. Ia melempar-lempar pisaunya berpindah-pindah dari tangan kiri dan kanan, layaknya seperti badut yang sedang melakukan jugglling. Aku maju duluan. Aku tidak boleh membuang-buang waktu sebelum darahku habis. Bagaimana dia menanggapi serangan yang sama seperti kulancarkan pada Phoenix pertama kali? Aku memutar tubuhku untuk menyembunyikan arah pedangku. Akh, tapi kepalaku mulai berkunang-kunang akibat kehabisan darah. Akibat kakiku yang mendapat luka sayatan pun, gerakanku juga ikut melambat. Mudah sekali baginya untuk membaca gerakanku yang lambat ini. Saat aku berusaha menyabet pedangku kearahnya, ia langsung menangkap pergelangan tanganku. Langsung saja aku melancarkan tendangan kearah perutnya, dan telak mengenainya. Dia langsung terpelanting kebelakang, sementara aku terjatuh karena kepalaku semakin pusing saja.
Dengan sekuat tenaga, aku berlari kearahnya untuk melancarkan serangan. Rayna pun langsung bangkit berdiri, dan berlari juga kearahku. Dengan sekuat tenaga, aku mengalirkan sebagian besar tenaga ki ke pedangku. Dalam waktu yang bersamaan, kami saling melancarkan tebasan kearah lawan kami masing-masing. TRAAANNGG... Ya ampun, aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Pedangku berhasil dipatahkan dengan mulus oleh Rayna dan pisau kecilnya. Sial, selemah itukah kondisiku sekarang?
"Tidak, bukannya kamu selemah itu." Kata Rayna.
Ia mengambil salah satu pecahan gagang berpisau kecil yang tertancap ditanah akibat pisau yang ia lemparkan ke udara dan terpecah ke segala arah. Rayna melemparkan pecahan gagang berpisau kecil itu ke udara. Saat pecahan gagang itu mulai jatuh oleh gravitasi bumi dan memasuki jangkauan tebasan pisaunya, ia langsung menebas pecahan gagang pisau itu, dan pisau kecil yang ada pada pecahan gagang itu terpotong dengan mudah.
"Salah satu kemajuan pengembangan teknik kimia dalam Myth. Pisauku yang terakhir ini dialiri oleh senyawa yang bisa memecah molekul-molekul yang menyusun logam. Tenaga ki emang bisa memperkuat logam menjadi lebih keras, tapi nggak bisa mengubah struktur molekul logam itu sendiri, jadinya akan tetap tidak mempan sama pisau ini." Kata Rayna.
Sial, pedang nodachi kesayanganku ini akhirnya rusak. Kurang ajar, dia harus membayar mahal karena sudah merusak pedang kesayanganku ini. Tetapi, bagaimana caranya ya? Ada cara terakhir untuk mengalahkannya. Tetapi sungguh sangat beresiko. Tapi sialnya, hanya itu cara yang kumiliki sekarang. Aku membuang gagang pedang nodachiku, dan mengambil mata pedang yang tadi Rayna potong dan berlari kearahnya untuk melancarkan taktikku ini.
"Pantang menyerah, atau sudah kehabisan ide?" Tanya Rayna.
Aku melancarkan tusukkan kearah leher Rayna. Tentu saja, serangan lambat dan terprediksi seperti itu bisa dihindari dengan mudah oleh Rayna cukup dengan sedikit mengayun tubuhnya. Setelah menghindar dari serangan tusukanku, ia langsung melancarkan tusukan pisau ke perutku. JLEEEBB... pisau itu dengan telak menusuk perutku. Sial, sakit sekali rasanya. Kepalaku yang tadinya pusing karena kehilangan banyak darah, kini menjadi sangat sakit akibat rasa sakit yang kudapatkan diperutku.
"Jent... Jangan sampai kehilangan kesadaran, tetep sadar, tetep melek, jangan ngantuk!" Begitulah yang ada di pikiranku.
Sejauh ini, aku berhasil mempertahankan kesadaranku. Akan tetapi, pandanganku mulai kabur. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menangkap tangannya yang masih menggenggam pisau yang menusuk perutku.
"Heh heh. Dari apa yang kuanalisa, kamu ga terlalu kuat menahan pukulan." Kataku.
Rayna mengekspresikan keterkejutannya karena ia menyadari apa yang hendak kuperbuat. Dengan mata pedang nodachi yang kugenggam dengan kencang sampai-sampai tanganku berdarah, kutusukkan sedalam-dalamnya mata pedangku itu ke lehernya.
"Gghh... mustahil. Serangan... bunuh diri..." Kata Rayna.
"Heh, sayang sekali. Jika aku harus mati, aku juga akan menyeretmu ikut bersamaku." Kataku.
Sial, padahal sebetulnya dia tidak terlalu tangguh. Tetapi kemampuannya untuk menghilangkan aura keberadaannya membuatku sulit untuk memprediksikan serangannya. Memalukan sekali, dia berhasil mendaratkan serangan-serangan yang berhasil membuatku luka, sedangkan aku hanya sekali melancarkan serangan kepadanya, itupun dengan taktik bunuh diri.
Aku melihat Rayna memuntahkan darah. Aku pun mulai kehilangan kesadaran. Aku mendengar pintu dibelakangku terbuka, dan seseorang masuk ke ruangan ini. Aku tidak punya tenaga lagi untuk melihat siapa yang masuk. Semoga saja Yuna atau Abby. Pandanganku pun mulai gelap, dan aku tidak sadarkan diri lagi.