BAB 6

850 Words
Liam melangkah kan kakinya menuju pintu utama. Inilah rumah yang ia rindukan, ia sudah lama tidak pulang. Ia berjalan dengan tenang, rumahnya masih sama dengan yang dulu, hanya ada beberapa perabotan yang di ubah. Liam masih memperhatikan setiap detail rumah ke dua orang tuanya. Liam menghentikan langkahnya menatap dua orang separuh baya. Ke dua orang itu tersenyum menatapnya. Liam membalas senyuman itu dan meneruskan langkahnya. Inilah dua orang yang paling ia rindukan di dunia ini. Liam merentangkan tangannya dan lalu memeluk wanita separuh baya itu. "Akhirnya anak mama pulang juga," mama membalas pelukkan Liam. Sedetik kemudian, wanita separuh baya itu melepas pelukkanya. "Kamu dari mana, katanya pulangnya dari siang tadi," ia memandang putranya, yang masih terlihat gagah. Inilah putranya yang paling bandel di antara yang lainya. "Biasa ma, tadi ada urusan sebentar," Lima memandang sang ayah, dan ia melangkah mendekati beliau. Ia lalu memeluk laki-laki separuh baya itu. "Sudah lama sekali kamu enggak pulang, nak," "Maaf ayah, waktu itu Liam lagi sibuk ngurusin proyek di Dubai. Sekarang Liam pulang, sedikit lebih lama di Jakarta," "Istirahatlah. Dari tadi Jo nungguin kamu, Liam," Liam teringat dengan saudaranya, dan mengangguk, "Besok Liam langsung ke bengkel, ayah tenang aja. Liam juga sudah rindu dengan Jo," ucap Liam, ia lalu melangkahkan kakinya menuju kamar. Tubuhnya memang perlu istirahat. "Liam ... !" panggil mama. Liam menghentikan langkahnya, menoleh kearah ibu dan ayahnya. "Oleh-oleh untuk mama dan ayah mana?" Tanya mama. Alis Liam terangkat dan hampir melupakan barang berharga yang ia bawa, untuk ke dua orang tuanya. "Semua oleh-oleh di koper, semuanya untuk mama dan ayah," Ke dua orang tuanya tersenyum, beliau memandang koper Liam di dekat pintu utama. Ada perasaan senang ketika seorang anak tidak melupakan ke dua orang tuanya. Liam memilih jalannya sendiri, menjalani apapun yang disukainya. Liam adalah anak yang paling ia khawatirkan masa depannya, karena ketika SMA dulu, Liam lah yang paling nakal, tidak bisa di atur, dan mau menang sendiri, banyak sekali catatan dari guru BK ketika di sekolah dulu. Dengan seiringnya waktu, beliau membiarkan anak laki-lakinya itu memilih apa yang di sukainya. Akhirnya Liam memilih untuk menetap di New York. ********* "Ren, gue mesti gimana dong," Ia kini duduk di samping Rene, tepatnya di tangga darurat. Di sinilah tempat favorit dirinya dan Rene, ketika bergosip ria. Rene memandang Dian dengan penuh prihatin. "Ya udah, pergi aja. Anggap aja liburan. Seru tau ke Bali," itulah yang bisa Rene ucapkan. Rene menggigit roti tawar yang ia beli di minimarket dekat kantor. "Lo tau kan itu Bali, Bali itu tempat yang romantis, banyak orang yang berbulan madu ke sana. Kalau Liam ngapa-ngapain gue gimana?. Dia itu orangnya nekat Ren. Lo tau lah dia gimana?" Dian mengambil tisu di saku jasnya. Ia mengeluarkan ingus dari hidungnya, maklum akhir-akhir ini dirinya memang terkena flu. "Kalau dia ngapa-ngapai, Ya lo pasrah aja, dan nikmati semua. Kayaknya dia hot banget kalau di ranjang," ucap Rene asal sambil terkekeh. Dian melotot dan lalu menipuk jidat Rene. Agar pikiran kotor, yang di kepala sahabatnya hilang. "aww, sakit tau," Rene meringis kesakitan, ia mengelus jidatnya. "Lo gimana sih, gue kan minta solusi. Agar gue enggak bisa ke Bali sama si Liam. Lo malah mikirnya kayak gitu," Rene mengedikkan bahu, ia kembali berpikir, "Ya udah lo bilang ke Liam, sahabat lo yang cantik ini ikut juga. Gue kan bisa nemenin lo, disana?" Ucap Rene pada akhirnya. Dian tersenyum mendengar ide Rene. "Kenapa gue enggak kepikiran ya," "Ya, berarti gue ambil cuti juga," "Ya, iyalah lo harus ambil cuti. Lo emang sahabat gue yang paling kece," ucap Dian tertawa bahagia. Dian merapikan roknya, ia mengibas rambut panjangnya. Tangga darurat ini memang panas, karena memang tidak terpasang Ac. "Pak Tibra udah masuk kantor enggak sih?" Tanya Rene penasaran. "Udah, tapi cuma bentar sih. Datang tanda tangan doang terus balik lagi. Maklumlah masih pengantin baru," Rene mengerutkan dahi, "Dia nikah dengan staff HR, si Hanum, yang dulu sempat di pecat itu kan," "Iya, kan gue udah pernah cerita sama lo," "Emangnya istrinya tahan dengan sifat keras Tibra? Takutnya belum setahun nikah malah stroke," timpal Rene. "Enggaklah, dia cinta mati tau sama si Hanum. Gue nih yang ngurusin pernikahannya, gue sampe kelimpungan, enggak bisa tidur semalaman, bolak balik cari saksi, cari baju pengantin, cari perhiasan, banyak deh. Pokoknya ribet banget. Kapok kalau gue di suruh ngurus nikah lagi," Dian melirik jam melingkar di tangannya, ia menarik nafas, setengah jam lagi istirahat akan berakhir. Dia menepuk bahu kiri Rene, "Gue belum cerita sama lo, tentang hari ini gue di ajak Liam ke reuni," "Ya, pergilah sana," "Gue bingung pakai baju apa. Lagian gue enggak suka tau pergi, acar reuni-reuni kayak gitu nanti malah gue di kacangin," Rene menegakkan tubuhnya, ia menarik karet gelang di tangannya. Lalu mengikat rambutnya. "Seru tau acara kayak gitu. Sekalian lo cuci mata, lo bisa lirik sana, lirik sini," "Beh, itu sama aja bunuh diri, Ren," Rene menegakkan tubuhnya dan ia bertolak pinggang, "Ya, sebaiknya lo terima kenyataan. Bahwa lo emang pacarnya si babon itu," "Ya, mau gimana lagi," "Yuk balik ke kantor, gue masih banyak kerjaan," Rene menarik tangan Dian, menuju pintu masuk. ******* Dian menatap penampilannya, rambut panjangnya ia biarkan terurai. Ia tahu bahwa Liam sudah menunggunya di luar sana. Ia tidak peduli, ia akan pergi dalam kondisi berpakaian kaku seperti ini. Salahkan siapa mengajak bertepatan saat pulang kerja. Setelah semuanya beres, Dian mematikan lampu ruangan dan tidak lupa mengunci pintu. Dian menarik nafas, ia berusaha menenangkan jantungnya. Ia nelangsa dalam hati. Ia akan bertemu dengan si babon ini lagi. Ia langkah kan kakinya menuju lobby, ia mencari keberadaan Liam, hingga ke parkirannya. Sedetik kemudian, sebuah motor besar mendekatinya. Ia tahu betul siapa yang mengendarai motor berbody besar, berwarna hitam itu. Tentu saja itu adalah Liam. "Liam," ucap Dian, ketika motor itu tepat di hadapannya. "Iya," Liam membuka kaca mata, yang di kenakannya. Dian memperhatikan keseluruhan penampilan Liam. Laki-laki itu mengenakan celana jins hitam, jaket kulit, dan sepatu berwarna senada. Penampilan laki-laki itu tidak seperti untuk pergi reuni, tapi terlihat seperti mau touring . "Kenapa liatin aku seperti itu," Liam tersenyum menatap kekasihnya ini. Sepertinya dia terkejut dengan kedatangannya seperti ini. "Katanya mau pergi reuni," "Ya, ini kita mau pergi sayang," "Kok penampilan kamu seperti ini, pakek motor lagi?" Ucap Dian terbata, karena sepasang mata elang itu memandangnya. "Kalau di Jakarta, aku senangnya pakek motor sayang. Hanya reuni biasa aja kok" "Emang di rumah kamu enggak ada mobil?" "Banyak, bahkan kakak aku punya showroom mobil," "Terus, kenapa enggak pakek mobil," "Kan aku senengnya pakek motor," "Tapi aku maunya pakek mobil," "Kalau motor aku, harganya lebih mahal dari mobil gimana," "Ya, aku enggak mau tau. Aku maunya kamu kakek mobil," "Tapi kalau aku mau kamu naik motor gimana? Kamu mau nolak permintaan kaku," ucap Liam. Liam lalu melepaskan helm yang di kenakannya. Ia memandang Dian dengan intens. Terlihat jelas kekasihnya itu terlihat tidak suka dan memasang wajah cemas yang teramat sangat. "Kamu enggak liat aku pakai rok," ucap Dian pada akhrinya. Ia ingin memperlihatkan kepada Liam bahwa pakek rok span ini, sangat tidak memungkinkan untuk naik motor mogenya si babon ini. "Di depan sana ada butik, nanti kita singgah sebentar. Beli celana jins dan baju yang pantas untuk kamu," "Tapi kalau rambut aku berantakan gimana? Aku capek loh ngeblow rambut ini satu jam," timpal Dian, dengan alasan selanjutnya. Liam tersenyum memandang kekasihnya. Ia lalu menarik pergelangan tangan Dian, membawa ke sisinya. Ia mengambil helm yang ia letakkan di kaca spion. Ia tidak ingin berdebat dengan kekasihnya ini begitu lama. Ia lalu memasangkan helm itu di kepala Dian. "Kamu satu-satunya wanita, yang paling cerewet dan manja di dunia ini. Enggak apa-apa, jika hanya berantakkan sedikit. Aku tetap cinta sama kamu," Liam memandang wanitanya, helm itu kini terpasang sempurna di kepala Dian. Ia menepis rambut panjang itu ke belakang. Dian tidak ada pilihan lain, karena Liam, sudah menepuk body jok, agar duduk di belakangnya. Akhirnya mau enggak mau, Dian ia lalu duduk menyamping. Ia memegang sisi pinggang Liam dengan erat. "Pelan-pelan, soalnya aku enggak pernah naik motor," gumam Dian, nyaris berbisik. Liam mengerutkan dahi, ia lalu menoleh ke belakang memandang Dian. Tawanya lalu pecah mendengar pernyataan kekasihnya. Akhirnya terjawab sudah, kenapa sang kekasih tidak menginginkan naik motor. Ia sulit percaya bahwa kekasihnya ini belum pernah naik motor. "Pegang yang erat," ucap Liam. Ia lalu kembali tertawa, kali ini tawanya semakin bahagia. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD