Ralin berdiam di ruangannya. Duduk di belakang meja jati besar yang begitu gagah dengan warna coklat tua yang mengkilap. Kursi kerjanya juga sangat kokoh, meski bukan kayu jatih, namun kaki-kakinya kokoh dan sandarannya sangat tinggi. Bantalan empuk yang berisi ribuan bulu angsa makin menambah kenyamanannya untuk terus duduk di sana. Tapi semua kemewahan fasilitas seorang jenderal itu sama sekali tak berarti untuknya ketika satu masalah kesalahpahaman ini tak selesai petang ini. Seperginya ia dari rumah sakit militer yang berjarak tak jauh dari kantornya, Ralin terus termenung di titik ini. Ia tak berpindah, baik fisiknya, juga pikirannya. Padahal detik jam terus bergerak maju, menggilas habis kesempatan yang ia miliki detik demi detik. Tapi ia, tak bisa melangkah ke manapun.
“Apa yang membuatku terhenti seperti ini? Tetiba semua kelam dan aku buntu harus mencari bukti dari mana. Mereka berdua harus jadi kaki tangan, bagaimana pun caranya. Tapi nuraniku tak bisa. Angkasa tak akan bersikap seperti itu jika benar dua mahasiswa itu kaki tangannya. Yang lebih penting, Angkasa tak membutuhkan kaki tangan seperti mereka. Dia selalu bergerak sendirian.”
Ralin menenggelamkan wajahnya dalam lipatan kedua tangannya di atas meja. Dia gulung rambut panjangnya membentuk satu bola di belakang. Ia lepas dress panjang yang hanya ia kenakan saat menghadap raja itu, berganti dengan setelah seorang militer biasanya. Diliriknya jendela ruangannya yang berada di sebelah kiri mejanya. Tirai putih tipis di sana sudah bersembur cahaya oranye. Petang sebentar lagi datang. Waktunya akan segera habis.
Ralin bangkit, melepas gulungan rambutnya sambil berjalan mendekati jendela. Ia berdiri di sana, memenuhi bingkai jendelanya yang tak seberapa lebar. Ia singkap tirainya, digulungnya ke atas agar memberi ia ruang pandang yang lebih lega.
“Langit semakin mengejekku,” gerutu Ralin pelan tanpa tenaga. Awan-awan abu gelap menggantung di horizon langit yang oranye kemerahan. Bulatan matahari tersembunyi dalam kabut senja yang kelabu, abu keunguan. Kabut itu menyerap habis seluruh silaunya, hingga mengizinkan mata telanjang Raling melihat lingkar penuh bola oranye terpanas di galaksi itu. Secantik bulan purnama, tapi sangat oranye.
Lalu bunyi gagang pintunya dicekrek dan daun pintunya didorong ke dalam. Ralin spontan menoleh dengan simpanan emosi yang siap ia muntahkan pada siapapun yang masuk dan mengganggu ritual senjanya. Dia sudah menyiapkan kemarahannya di ujung lidah, tapi dia adalah Eurfo. Ralin spontan menelan ludah dengan mata masih terbelalak penuh. Jantungnya berderu cepat. Hampir saja ia merusak karirnya.
“Kau tersinggung dengan ejekkan langit yang bahkan bisu?” seru Eurfo. Dia duduk di sofa tamu ruangan Ralin. Sofa single di kepala meja kopi.
Ralin segera merapikan rambutnya lagi. Ia ikat satu di belakang dan segera menghampiri atasannya dengan duduk di sofa di sampingnya. Ralin begitu tegang mendadak sebab Eurfo datang dengan ekspresi yang tak ramah. Dia bahkan tak menatap mata Eurfo dan terus melihat permukaan meja yang kosong.
“Kau sudah temukan petunjuk? Apapun untuk meyakinkan raja bahwa Talana dan Naviza adalah kaki tangan Angkasa?” tanya Eurfo dengan nada tegas.
Ralin masih diam. Dia terus tundukkan wajahnya tanpa berani mengangkatnya sedikit pun. Meski ini terasa sangat sulit untuk seseorang dengan harga diri tinggi seperti Ralin.
“Kenapa Anda lakukan ini?” tanya balik Ralin, datar.
“Karena aku tahu mereka bukan kaki tangan dan kau hanya butuh kambing hitam karena kegagalanmu membiarkan Angkasa lolos!” jawab Eurfo sangat tegas.
Ralin mengangkat wajahnya dengan tatapan serius. Ia sangat terkejut dengan tuduhan Eurfo padanya. Ralin ingin menyangkalnya, namun lidahnya menolak untuk bicara.
“Kau masih ingat Danu Askara?” tanya Eurfo tiba-tiba.
Sorot mata Ralin berubah. Ada sedikit terkejut dan antusias begitu ia mendengar nama itu disebutkan Eurfo. “Tentu saja, sangat mengingatnya.”
“Kau pernah jadi wakilnya,” imbuh Eurfo.
“Kenapa dengan Danu?”
“Kau masih percaya dengannya bahkan setelah insiden yang dia perbuat?” tanya Eurfo penuh selidik.
Kali ini Ralin mengambil jeda untuk jawabannya. Dia mencoba menemukan alasan kenapa tiba-tiba panglimanya mengungkit soal Danu, mantan atasannya dulu ketika ia masih menjabat sebagai wakil jenderal. Kenapa Eurfo ingin memastikan pendapatnya soal Danu yang keluar dari militer setelah menimbulkan keributan?
“Kau ingat dia punya seorang adik?” tanya Eurfo lagi tanpa menunggu jawabannya.
Seperti lampu yang tiba-tiba menyala dan mengusir gelap, ucapan Eurfo mampu menghubungkan semua data yang Ralin miliki sekarang. “Jangan katakan, perempuan itu adalah adik Danu?” tebaknya ingin menyangkal.
“Hemmm,” angguk Eurfo membenarkan. Sorot matanya serius namun sudah lebih santai dibanding saat ia datang.
Ralin melempar dirinya ke sandaran sofa. Tatapannya kosong seketika. Kenapa kebetulan ini begitu menjengkelkan untuknya? Lalu harus bagaimana ia sekarang? Jika Naviza adalah adik yang selalu ia banggakan, Danu pasti akan datang untuk adiknya. Bagaimana Ralin akan menghadapi laki-laki yang pernah menjadi atasannya sekaligus sosok kakak untuknya itu?
“Haruskah aku mengundurkan diri saja? Aku tak bisa menghadapi Danu,” cetus Ralin pelan dan terdengar putus asa.
Eurfo bangkit dengan ekspresi tak bersahabat. “Temui raja dan selesaikan masalah ini,” perintahnya pelan tapi tegas.
“Akan kubuktikan mereka bersalah,” seru Ralin bersih keras.
Eurfo menghela napas dalam diam. “Bersiaplah menghadapi Danu,” ucapnya dingin. “Kau melukai orang yang berbahaya,” imbuhnya.
Eurfo pergi dari ruangan Ralin meninggalkan aura dingin yang menyiksa. Setelah panglima itu pergi, Ralin menghempaskan sekali lagi tubuhnya ke sofa. Kali ini tak hanya duduk bersandar, tapi dia telentang di sana.
Jenderal wanita itu bangkit lagi dengan bergegas mengambil jubah luarannya dari tiang gantungan dan menyabet pedang miliknya yang tersandar di dekat pintu ruangan. Ralin keluar dari ruangannya, berjalan cepat sambil memakai jubahnya dan memasang pedangnya di punggung. Pedang itu tak boleh terpisah dengannya.
Ralin sampai di pelataran luas halaman samping markas yang juga jadi kantornya bekerja. Lalu dia masuk ke sebuah bangunan kecil di ujung belakang yang bersampingan langsung dengan bangunan asrama militer. Bangunan itu hanya sepetak ruangan berukuran tak lebih dari enam meter persegi. Gelap tanpa jendela. Sebuah lampu kecil menyala otomatis begitu pintu luar dibuka. Tak ada apapun di dalam ruangan itu kecuali sebuah tangga menuju ke bawah. Sebuah tangga ulir yang sempit dengan lampu yang menyala bergantian sesuai keberadaan Ralin. Dia turuni puluhan anak tangga itu dengan langkah cepat yang tergesa hingga akhirnya ia sampai di lantai bawah.
Seorang penjaga menghadangnya, meminta identitas dan menanyakan keperluannya.
“Ralin, dari divisi satu. Di mana sel mahasiswa yang baru masuk hari ini?”
“Sel D18,” jawab penjaga.
“Terima kasih,” ucap Ralin.
Penjaga itu memberi hormat lalu dibalas Ralin dan buru-buru pergi. Wanita itu berlari mencari alamat sel yang diberitahu. Blok D nomor 18, kira-kira begitu penerjemahannya. Setiap blok biasanya difungsikan untuk kelas kejahatan yang berbeda-beda. Semua blok memiliki fasilitas sel yang sama, tak ada yang istimewa ataupun dianaktirikan. Setelah melewati tiga blok pertama, dan berlari sejauh empat ratus meter, Ralin menemukan pintu sel blok D. Dia berbelok ke kanan, berlari lagi hingga sampai di nomor 18 di sebelah kanan. Napasnya beradu dengan keringat yang mengucur deras.
Talana berdiri jauh dari pintu selnya. Dia menyandar pada dinding sel yang cukup berlumut namun masih bisa dimaafkan. Dindingnya lembab, tapi tak cukup berair saat disentuh. Lantai sel yang masih berupa plesteran tanah, kotor, agak berpasir dan digenangi air barangkali yang membuat mahasiswa sekolah elit ibukota itu enggan untuk duduk. Talana maju, mendekat ke pintu sel dengan tatapan sinis yang penuh kedengkian.
“Namamu Talana?” tanya Ralin setelah mengatur napasnya.
“Bagaimana kondisi Naviza?” tanyanya dingin.
Ralin tercengang dengan respon pertama laki-laki itu. Dia tak menyangka hal pertama yang ia dengar lagi-lagi soal Naviza, bahkan dari seseorang yang seharusnya mencemaskan nasibnya sendiri.
“Aku akan membalasmu begitu keluar dari sini!” bentak Talana.
Ralin makin tercengang lagi. Mulutnya menganga dengan tatapan kaget lalu tiba-tiba tertawa terpingkal. “Kau bisa?” ejeknya.
“Tentu, kalian pasti meremehkan kami. Bagaimana jika berduel untuk membuktikan siapa yang lebih baik?” tantang Talana.
Ralin menghentikan tawanya. Dia berusaha memasang wajah serius meski sisa-sisa tawa masih ada. “Hemmm, kau mau menukar kemenanganmu dengan kebebasan?” balas Ralin meremehkan.
“Tidak,” bantah Talana tegas. “Aku tidak salah, untuk apa aku berusaha membuktikan diri dan susah payah melawanmu demi bebas?” lanjutnya angkuh. Dia sangat percaya diri.
Ralin tersenyum miring. “Tak kusangka kau sama menyebalkannya dengan temanmu,” komentar Ralin.
“Kau harus menyelamatkan Naviza bagaimana pun caranya. Buat dia bangun dengan tanpa kehilangan apapun!” pinta Talana tegas. Sebuah permintaan yang lebih terdengar seperti ancaman.
Ralin melipat kedua tangannya sejajar dengan perutnya. Lalu dia mendekat ke Talana hingga hanya menyisahkan jarak satu meter saja. “Aku tidak punya waktu bermain denganmu,” tolak Ralin tegas. Lalu mundur lagi tiga langkah pendek.
Talana menggebrak jeruji besi dengan tubuhnya. Bunyi benturannya menggema, memantul utuh ke dinding-dinding lembap penjara.
“Biasanya remaja sendok perak seperti kalian akan memamerkan kedudukan keluarga dan sibuk mengancam kami dengan koneksi kalian yang kuat. Kenapa tidak kau lakukan hal yang sama? Bukankah ayahmu seorang pejabat istana?” tantang Ralin dengan tatapan serius.
“Kenapa harus melakukan yang sama padahal aku punya kebebasan untuk memilih cara lain?” bantah Talana.
“Kau tidak percaya diri dengan koneksimu?”
“Aku tidak membutuhkan koneksi. Aku akan bebas dengan kemampuanku sendiri!” jawab tegas Talana.
“Baiklah, kalau begini aku tidak bisa bernegosiasi denganmu,” ucap Ralin sambil menggeleng. “Kalau begitu, tenang dan tunggu hukumanmu di sini,” imbuhnya.
Ralin melangkah pergi tapi langkahnya terhenti lagi.
“Kau sudah punya bukti keterlibatan kami?” seru Talana.
“Lusinan prajuritku yang mati di tangan kalian, juga bom menjijikkan yang kau ledakkan itu, apakah mereka masih tak cukup menjadi bukti?” sarkas Ralin mulai emosi. Namun dia merasa menang. Tanpa merespon panggilan Talana lagi, Ralin meninggalkan sel D18 itu dengan langkah tegap dan cepat. Tak ada yang bisa diharapkan dari mahasiswa bernama Talana itu selain kemampuannya merakit bom yang cukup menyita perhatian Ralin. Ya, Ralin tahu bom yang cukup merepotkan itu adalah hasil rakitan Talana di sekolahnya. Sekalipun tak membayakan nyawa tapi efeknya cukup membuat trauma.
--------------------------
Angkasa sampai di garis terluar pagar kantor militer yang sekaligus jadi benteng pertahanan. Tebal, sudah pasti. Berlapis-lapis? Hanya dua lapis. Itupun tak setebal istana namun dengan penjagaan yang lebih ketat.
Dia berhenti, bertengger ke sebuah pohon yang cukup tinggi untuk bisa melihat bagian dalam markas di balik dinding benteng melingkar itu. Ada barisan pepohonan yang tinggi nan rimbun di belakang sana, di sisi lain dari markas ini. Di balik pintu benteng, Angkasa dapat melihat setengah lusin prajurit yang bergantian berjaga dan membuka tutup pintu. Lapangan rumput di dalam komplek itu lengang. Dan saat itulah, Angkasa melihat Ralin keluar dari bangunan tangga menuju penjara.
“Mereka mungkin ditahan di sana,” pikir Angkasa bicara pada dirinya sendiri.
Lagi, sekali lagi Angkasa edarkan matanya mengamati dan mengawasi sekitar sejauh apapun yang bisa ia dapatkan. Sampai pada titik ini, dia belum menemukan empat orang Benang Merah lagi sejak kehilangan jejak mereka di jalanan tadi.
Angkasa turun. Dia pergi menjauh dari dinding pagar lalu mampir ke sebuah warung kecil yang teramat sederhana di pinggir jalan. Warung itu seperti gubuk dengan luas hanya sembilan meter persegi saja. Bangunannya semi permanen, separuh dinding ke bawah dibuat dari bata, sisa ke atasnya dari anyaman bambu. Atapnya masih rumbai-rumbai daun kelapa yang ditumpuk-tumpuk rapi. Sementara lantainya hanya plesteran tanah yang tipis dengan lubang di sana-sini. Meski sesederhana itu, warung makanan itu sangat ramai. Bangku-bangku dijajar tiga baris di pelataran warung yang tak beratap. Mereka hanya mengandalkan teduhnya pohon beringin yang membentuk kanopi alami.
Angkasa duduk di bangku kosong di sisi terjauh dari warung setelah memesan segelas kopi hitam panas dan sepiring nasi ayam. Tak lama sejak ia mulai menunggu pesanannya datang, sekelompok orang ikut bergabung di meja yang sama. Mereka menyapa Angkasa dengan senyum lebar nan ramah sebagai tanda meminta izin mengambil tempat di meja itu. Angkasa mengangguk sambil membalas senyuman.
Pakaian mereka cenderung penuh warna, warna-warna yang cerah dan hangat. Jelas bukan pakaian yang dikenakan para utusan Benang Merah. Dengan berlapis-lapis kain mengkilap yang sehalus sutra, dan pernak-pernik aksesoris kepala, penampilan mereka sangat menyita perhatian. Tapi Angkasa tidak tertarik. Fokus perhatiannya hanya mencari dan menunggu para utusan itu muncul. Lokasi warung ini berada lurus dengan gerbang utama markas militer. Siapapun tamu yang masuk, orang-orang yang merencanakan menorobos atau siapapun yang ingin masuk dengan legal pasti akan melewati gerbang itu. Entah benar-benar masuk atau sekadar mondar-mandir mengamati. Tapi jika mereka seorang profesional, mereka tak akan bertindah gegabah dengan mondar-mandir. Mereka tak akan melewati gerbang depan. Lalu kenapa Angkasa duduk dan menunggu di sini padahal sangat paham bahwa hanya mereka yang amatir yang akan melewati atau muncul di gerbang depan?
Makanan pesanannya datang. Bersamaan dengan pesanan empat orang di sampingnya.
“Anda orang Zakaffa asli, Tuan?” Tiba-tiba seorang dari mereka menyapa dengan wajah ramah. Dia mengangkat sepiring gorengan campuran wortel, kubis dan tepung, lalu menawarkannya pada Angkasa.