Dia sampai di kandang kuda setelah berjalan cepat dua puluh menit mengitari taman istana. Kandang kuda berdiri di gedung yang terpisah dengan bangunan utama. Meski begitu, kandang kuda sangat besar. Total luasnya setengah hektar sendiri. Kandang kuda ini dibangun dengan begitu mewah. Sekitar lima puluh ekor kuda pilihan milik raja dan keluarga kerajaan dirawat dan dirumahkan di sana. Kandang ini berbeda dengan kandang untuk kuda perang maupun keperluan militer dan keamanan. Kuda-kuda yang dipelihara di sana adalah koleksi pribadi Faritzal dari berbagai jenis spesies kuda pacu terbaik. Selain untuk memeliha kuda pribadi raja, disediakan satu ruangan khusus untuk kuda-kuda tamu. Di ruangan itulah kuda Ralin menunggu.
Seorang penjaga keamanan kandang sekaligus yang bertanggung jawab pada semua kuda di sana, menghampirinya. Tubuhnya pendek, agak tambun dengan kulit pucat dan bibir meronanya. Dia menyapa Ralin dengan senyum lebar nan ceria.
“Cepat sekali?” sapanya ramah.
Ralin hanya menjawabnya dengan lirikan sekilas, tanpa senyum keramahan. “Dimana?” tanya Ralin ketus. Dia tak memelankan langkahnya sementara pria itu terus mengikutinya dengan kecepatan yang sama sambil menunjukan lokasi kuda Ralin.
“Kandang nomor sepuluh,” ucapnya bernada cepat.
“Gadas,” panggil Ralin mendadak berhenti.
Pria itu ikut berhenti.
“Aku ingin makan koi bakar. Koi yang berwarna hitam. Dan harus dari kolam istana,” cetus Ralin berwajah datar. Lalu perutnya berbunyi.
Gadas menggidikkan bahu, kedua alisnya terangkat naik. “Gurami bakar lebih nikmat,” tanggapnya bingung.
Ralin menyipitkan matanya sambil menarik kedua alisnya ke hulu hidung. “Tidak berguna,” bentak Ralin.
Mereka sampai di depan kandang nomer sepuluh. Gadas membuka pintu kandang dan melepas simpul tali kuda sementara Ralin melompat naik ke punggung kudanya.
“Kau seperti mayat hdup,” komentar Gadas cuek.
“Bukan urusanmu!” sergah Ralin panas.
Gadas cepat-cepat mengambil cermin lingkaran kecil yang terselip di saku celananya yang lusuh itu. Dia tunjukkan cermin itu pada Ralin, memaksanya untuk mengaca dan mengkonfirmasi komentarnya baru saja.
Ralin merebut cermin itu, ia luruskan sejajar dengan wajahnya. Bulatan hitam mengantung di bawah matanya, bibirnya putih pucat, begitu pun dengan warna kulitnya yang tak sesegar biasanya. Ia tampak sangat buruk di bayangan cermin itu.
“Ya, aku seperti mayat hidup,” jawab Ralin ketus. Dia kembalikan cermin Gadas lalu memacu kudanya keluar dari kandang istana.
Ada jalan khusus yang menghubungkan kandang istana langsung menuju gerbang lapis kedua tanpa melewati taman istana yang berhektar-hektar. Jalan itu lewat pintu belakang kandang, sebuah jalan dengan kerikil-kerikil tumpul yang sudah diratakan seluas satu setengah meter, membentang hingga pintu dinding benteng bagian dalam. Tak banyak kelokan, rute khusus itu hanya lurus saja. Jalan yang sengaja dibuat untuk memotong rute, namun tak semua orang bisa memanfaatkannya.
Dua penjaga gerbang membuka pintu besi raksasa itu. Mereka mendorongnya ke arah luar, namun hanya sebelah daun pintu saja. Setelah terbuka kurang lebih dua meter lebarnya, Ralin melesat pergi.
----------------------
Angkasa mencuri sebuah kuda pacu yang diikat di kandang milik sebuah penginapan di ibukota. Dia bebas dari pengejaran sang pemilik setelah kejar-kejaran setengah jam lamanya memutari komplek itu. Angkasa berhasil lepas karena mereka kehabisan stamina.
Setidaknya butuh satu jam perjalanan dengan kecepatan tinggi untuk sampai ke markas Ralin. Tak ada tempat lain yang terpikirkan oleh Angkasa untuk ia tuju demi menghentikan empat orang Benang Merah menjemputnya. Di sana juga satu-satunya lokasi yang berpeluang besar Ralin menahan perempuan salah tuduh yang tak ia tahu siapa namanya. Dia berdoa dirinya tidak terlambat. Tapi perhitungan di atas kertas, mengecilkan peluang itu. Ada jeda waktu yang panjang semenjak dia mendeteksi keberadaan orang-orang Benang Merah itu dengan waktu ia berangkat menyusul mereka. Tidak kurang dari satu jam dia harus berhenti untuk memberi waktu pemulihan bagi tubuhnya yang sudah mencapai batas. Beruntung Oyan datang tak lebih lama lagi, ia bisa tertolong. Segala skenario buruk sudah terbayang dan begitu jelas di depan mata jika ia sampai pingsan di gang sempit itu tanpa pertolongan. Mungkin ia akan membuka mata di balik kurungan Zakaffa dengan kedua tangan dan kaki terantai. Ya, Angkasa harus mengakui kelemahannya. Tidak, bukan kelemahan, tapi kesalahannya karena lengah. Semua yang terjadi hari ini karena ia kecolongan. Bom di medan pertarungan benar-benar membalikkan keadaan dengan sempurna.
Angkasa hampir mencapai benteng ibukota dalam. Setelah melewati pintu gerbang itu, perjalanan ke markas militer sudah sangat dekat. Dia tak memelankan laju kudanya. Terus pada kecepatan yang sama namun semakin meningkatkan kewaspadaannya pada sekitar. Semakin mendekati istana dan markas-markas pusat di ibukota, penjagaan bertambah dua kali lebih ketat. Meski sudah berganti pakaian, memakai jubah berwarna terang dan sebisa mungkin berpenampilan selayaknya bangsawan ibukota, Angkasa tetap tak boleh lengah.
Dia pelankan kudanya setelah memasuki lingkungan pintu benteng. Tak ada pemeriksaan identitas di sana, tapi pintu yang seperti terowongan itu cukup padat lalu lalang rakyat. Angkasa turun dari kudanya, lalu menuntunnya masuk dengan kecepatan yang sama dengan orang-orang lainnya, mungkin sedikit lebih cepat. Dia lepas penutup wajahnya untuk mengurangi kecurigaan penjaga.
Saat keluar dari pintu terowongan itu, Angkasa mendongak ke langit, mengedarkan pandangnya ke atap-atap rumah di kanan kiri jalan utama. Kosong. Tak ada pergerakan mencurigakan. Angkasa mengalihkan pengawasannya ke jalanan yang padat ini. Di sepanjang tepian jalan, di kedua sisinya, berdiri rumah-rumah besar yang difungsikan jadi toko, warung dan penginapan. Semuanya berbaur dalam keramaian dan kepadatan orang. Angkasa menajamkan penglihatannya. Dia memeriksa setiap sudut dan berusaha menemukan keberadaan mereka. Perasaannya condong pada keyakinan bahwa para utusan Benang Merah itu tidak akan langsung menorobos masuk ke markas, mereka pasti akan membaca keadaan dulu. Dia berharap bisa menemukan mereka di sini.
Angkasa terus berjalan sembari menuntun kudanya. Dia terus mengedarkan pandang hingga netranya terhenti pada bayangan hitam yang bergerak cepat di belakang kerumunan. Bayangan itu melompat dan berbelok ke persimpangan jalan di depan. Sekilas ia menangkap visual identitas khas Benang Merah lewat ikat pinggang dan jubah mereka. Dua benda yang tak pernah Angkasa pakai kemanapun, termasuk di dalam markas. Dia segera melompat naik ke punggung sang kuda dan memacunya membelah kerumunan orang yang berdesakan di jalan lebar itu.
Riuh. Semua orang protes. Marah dan mencaci dengan kata-k********r. Sebagian lainnya terjungkal karena kaget dan terdorong orang di belakangnya. Beras bawaannya terbang semburat ke langit. Teriakan histeris kaget semakin melengking. Sambung menyambung orang rubuh terjungkal berjamaah. Sebagian lainnya menyumpah serapahi Angkasa yang tak tahu sopan santun dan menganggu ketertiban umum. Jalan yang padat itu bukannya terbelah teratur, tapi kacau ke segala arah.
Tapi Angkasa, tidak peduli. Fokusnya sekarang hanya mengejar orang-orang Benang Merah. Dia tak tahu siapa yang Buros kirim untuk menyelamatkannya. Apakah mereka hanya anggota biasa? sepertinya tidak mungkin. Apalagi mengingat jumlah yang pergi yang empat orang saja dan mereka harus menyusup ke penjara markas pusat militer Zakaffa? Itu terdengar mustahil. Lantas apakah yang datang adalah para komandan atau letnan? Mereka yang dipandang lebih mumpuni dengan kemampuan bela diri dasar yang cukup bisa diandalkan.
“Siapapun mereka yang datang, harus kuhentikan,” tekad Angkasa.
Dia berhasil keluar dari kepadatan jalan berbelok ke jalan yang sama dengan ekor bayangan yang ia lihat. Dia berlari dengan kecepatan penuh sejauh tiga ratus meter lalu mendadak berhenti. Jalan lurus itu sangat lengang. Benar-benar kosong. Tak satupun orang yang melintas di sana. Tak satupun, sama sekali. Ujung jalannya sangat menyilaukan sebab lurus menghadap barat dimana matahari sudah sejajar dengan mata. Segalanya menjadi putih.
Angkasa segera minggir ke tepian. Berteduh ke bawah sebuah kanopi rumah yang menjorok ke jalanan lebih panjang. Dia tutup sinar matahari itu dengan telapak kirinya. Tak satu pun bayangan yang ia temukan di sini.
“Mereka tak mungkin jauh. Tapi kemana?” batin Angkasa.
---------------------
Sementara itu,
Langit begitu cerah dengan semburan awan kelabu di barat. Eztyo berdiri di balkon ruangannya memandangi langit yang bak es kopyor itu. Awan-awan semburat, bersembur warna pink dengan kelam abu-abu. Sementara matahari masih menyingsing mengambil aba-aba untuk mengucap selamat tinggal. Dengan background oranye kebiruan terang, seolah semesta ingin mengingatkan bahwa hari berat ini harus ditutup dengan indah.
Tapi apakah itu mungkin?
Masih ada tiga jam lagi sebelum matahari benar-benar meninggalkan daratan Zakaffa menuju ke peraduan malam. Mungkin masih ada kesempatan untuk membuat keajaiban yang menutup hari?
Pria paruh baya itu menyibak rambut pendeknya ke belakang. Ia sisir rambut yang sebenarnya tidak berantakan itu, ke belakang, dengan kelima jemarinya. Rambutnya sudah pendek, bahkan terlalu pendek untuk bisa berkibar tertiup angin. Rambut hitamnya tak akan pernah berantakan sekalipun angin menerpa kuat di beranda ruangannya sekarang. Dia tak pernah membiarkan rambutnya tumbuh lebih dari lima sentimeter. Benar-benar gaya rambut yang membosankan. Namun itu justru sangat pantas untuk seseorang yang sudah menginjak akhir kepala tiga seperti dirinya.
Dengan tubuh yang masih sangat bugar, dan otak cemerlangnya yang penuh strategi cerdik, Eztyo memimpin badan intelijen Zakaffa.
Pria itu berdiri di pinggiran beranda kantornya. Kedua tangannya mencengkram pinggiran pagar setinggi pinggangnya. Tatapannya tak kosong, lurus menerawang ke langit barat. Ada beban berat yang kini memenuhi pikirannya. Kedua alisnya termagnet ke tengah. ekspresinya datar, namun sebenarnya menahan emosi yang hampir meledak.
“Ketua,” panggil Oyan. Pria itu baru tiba di ruangan Eztyo. Dia menutup pintu kaca balkon lalu mendekat dan berdiri di belakang Eztyo agak serong ke kanan.
“Aku sudah dengar soal Angkasa,” jawab Eztyo.
Oyan mengatupkan bibirnya. Dia terlambat.
“Kenapa kembali padahal misimu adalah mengawasinya?” tanya Eztyo agak dingin. “Kau gagal mencegahnya?” imbuhnya lebih tegas.
Oyan menunduk dengan wajah menyesal. Spontan, ia silangkan kedua tangannya di belakang punggung dengan sikap istirahat di tempat. Tak ada yang bisa ia katakan untuk mengelak apalagi membela dirinya. “Ya, ketua.”
Eztyo menghela napas panjang. Lalu berbalik menatap Oyan. “Kau dapatkan informasi soal kaki tangan yang ditangkap Ralin?” tanyanya. Nada bicaranya lebih rendah. Ia bersandar ke pagar balkon dengan posisi tubuh yang lebih santai.
Oyan mengangguk. “Aku sudah menyeledikinya. Mereka mahasiswa aktif di sekolah tinggi ilmu pedang. Talana, mahasiswa tingkat akhir, keluarganya pejabat pemerintahan. Ayahnya kepala administrasi di kementrian pertahanan. Satu lagi seorang perempuan, Naviza.”
“Namanya familiar untukku,” potong Eztyo antusias.
“Dia adik Danu,” jawab Oyan sedikit ragu.
Eztyo memalingkan wajahnya. Dia kembali memunggungi Oyan. Jari telunjuknya mengetuk-ketuk permukaan pagar sementara tangan kirinya menggenggam pinggiran besi pembatas balkon itu.
“Danu sudah tahu soal ini?” tanya Eztyo setelah diam beberapa saat.
“Dia baru saja melewati perbatasan,” jawab Oyan.
“Dia memang cepat,” puji Eztyo dengan senyum miris. Dia tangkupkan kedua telapaknya mengusap wajahnya. “Bagaimana dengan Ralin?” tanya Eztyo lagi. Wajahnya berubah serius.
Oyan hanya menggeleng lesu. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Oyan.
Eztyo masih bergeming. Balkon itu jadi hening. Eztyo menimbang antara satu dan dua kemungkinan yang akan terjadi, mana yang paling kecil resikonya dan mana yang bisa mereka cegah. Jika boleh bermain praktis, dia bisa menggunakan kuasa dan wewenangnya untuk menghentikan semua drama yang sedang terjadi. Tapi, apakah seorang intelijen bermain secara terbuka? Ada kerahasiaan identitas dan semua gerak yang harus mereka jaga dan lindungi. Drama ini bukan masalah berat yang sekomplek menghadapi Benang Merah, namun tetap tak bisa ia sepelekan. Masalah kecil dapat memicu masalah berikutnya yang lebih besar dan serius. Bagaimana jika satu masalah sepele yang tak terselesaikan dengan baik itu akan menjadi pemicu untuk meledakkan bom lain yang terjadi sudah dipersiapkan tanpa sepengetahuannya? Tidak, itu tidak boleh terjadi. Drama kali ini masih dalam ruang lingkup kekuasaan Eztyo.
Dia harus hati-hati mengambil keputusan. Ralin sudah melapor pada Faritzal soal kaki tangan yang ia tangkap. Ketika masalah ini telah melibatkan raja, artinya seluruh pembantunya besar kemungkinan juga tahu. Kecuali jika raja memilih merahasiakannya. Namun perburuan Benang Merah selalu menjadi pusat perhatian. Bukankah tetap ada kemungkinan raja dan jajarannya ingin pencapaian berbonus lebih? Tidak hanya mengalahkan Benang Merah di bentrokan resmi saja, namun mereka juga berhasil menangkap seorang kaki tangan dari aktor yang paling diburu. Tentu pemerintah Zakaffa ingin mendapat penghargaan maksimal atas keberhasilan mereka.
“Pertama, pastikan kalau Naviza dan Talana bukan kaki tangan Angkasa,” cetus Eztyo dalam emosi yang dingin.
“Bagaimana jika mereka tak lagi peduli soal kebenarannya?” bantah Oyan.
Eztyo tak menyangkal. Dia balik badannya untuk menyimak pendapat Oyan.
“Naviza kritis. Tikaman Ralin mengoyak otot lengannya, dia kehilangan banyak darah dan terancam lumpuh. Dalam kondisi ini, kemungkinan selamatnya sangat kecil. Bukankah lebih baik jika Ralin tidak salah tangkap? Apakah mereka mau melepaskan orang salah taangkap yang sekarat? Atau menelan fakta itu seolah tidak ada kesalahan apapun dan mereka bebas dari bahaya karena orang yang mereka salahkan sudah mati? Ralin bisa kehilangan karirnya. Apakah dia mau mengakui kesalahannya jika saya berhasil mengungkapnya?” tanya Oyan menggebu.
“Faritzal sangat tegas pada segala apapun yang menyangkut Benang Merah. Tapi dia juga sangat perhatian pada bagaimana opini rakyat terhadapnya,” timpal Eztyo.
Netra Oyan membulat penuh dengan garis bibir yang membentuk sebuah senyuman. Gigi-gigi ratanya terlihat begitu berkilau dalam balutan senyuman tipisnya. Dia paham apa yang dikatakan Eztyo. Itu sebuah solusi yang mampu mengembalikan semangatnya lagi. Oyan segera membungkuk untuk berpamitan pergi lagi, tapi…
“Oyan,” cegah Eztyo. Dia bergegas cepat menghampiri Oyan yang hampir menceklek gagang pintu. “Dukung Angkasa, dia mengambil langkah tepat untuk tiga kemungkinan,” cetus Eztyo.
“Maksud Anda?” tanya Oyan dengan wajah bingung.
“Akan kuberitahu setelah semua selesai,” jawab Eztyo mengusir keraguan Oyan.
Oyan mengangguk patuh. Dia membungkuk lalu keluar dari ruangan Eztyo.
-------------------