MANTAN ORGANIK 15 - PENCARIAN BOLA BASKET

2005 Words
"Ya elah ini anaknya malah tiduran. Ajeng, ayo ganti baju. Jangan sampe telat ke lapangan. Lo mau dihukum?" Andin mengetuk meja Ajeng di mana sang empunya tengah menelungkupkan wajahnya ke atas meja padahal sepuluh menit lagi jam pelajaran olahraga dimulai. "Lo duluan aja, deh." balas Ajeng dengan lesu. "Ih jangan gitu. Ayo! Udah lo jangan mikirin yang lain-lain dulu. Kita olahraga biar sehat jiwa raga dan kuat menghadapi hidup." ucap Ayu yang kini menarik lengan Ajeng agar berdiri. "Oke. Gue ganti." Ketiga remaja yang sudah berganti seragam menjadi pakaian olahraga itu memasuki lapangan dan bergabung dengan teman-teman yang lain. "Eh bentar, ini jadwal olahraga kita samaan sama kelas dua belas, kah?" tanya Andin kepada salah satu teman sekelasnya. "Iya, katanya mau digabung gitu sama anak kelas kak Dafa!" seru siswi itu dengan riang. Mendengar nama Dafa yang disebut dengan riang oleh perempuan lain begitu mengganggu Ajeng. Ia membuang napasnya kasar dan mulai menendang udara sebagai pelampiasan. Ajeng kira, setelah ini bahasan tentang Dafa akan berakhir. Tetapi, dugaannya benar-benar salah. Karena, mereka malah semakin semangat membahas Dafa yang kini berjalan bersama teman-temannya menuju lapangan. "Ayo, anak-anak. Baris yang rapi, ya!" Interupsi guru olahraga membuat siswa siswi sibuk mencari barisan. "Sepertinya, kalian tahu, ya kalau kali ini olahraganya digabung. Sebelas IIS satu sama dua belas MIPA satu, ya. Jadi, kalian nanti bakal dapat grup random." Perkataan guru olahraga membuat beberapa siswi berbisik dan berharap akan satu grup dengan Dafa. Ya, setidaknya sebelum guru olahraga melanjutkan pembicaraannya. "Tetap ya, laki-laki dengan laki-laki juga sebaliknya. Jangan kebanyakan baca fiksi, kalian!" "Yah, Bapak mah!" "Jangan jujur-jujur amat lah, Pak!" Begitu kira-kira seruan beberapa siswi yang merasa terkhianati oleh keputusan yang dibuat. Padahal, mereka sudah membuat banyak skenario di dalam kepala mereka untuk sekedar dekat dengan lelaki yang menjadi primadona di sekolah mereka. "Udah jangan banyak protes. Kalian baris lagi terus ketua kelas dari masing-masing kelas silakan maju untuk memimpin pemanasan." Pemanasan berjalan dengan baik meski tak jarang para siswi mencuri pandang ke arah Dafa dan dan berakhir saling bertubrukan karena bengong. Tetapi, mereka tidak sampai ribut. Hanya saja, pemandangan tersebut membuat Ajeng lagi-lagi merengut. Ia kesal sekali melihat itu semua. Apalagi, saat melihat Dafa membalas senyuman beberapa siswi yang tidak sengaja bertabrakan pandang dengannya. Dafa ini memang sangat ramah. Saking ramahnya, semua mendapat perhatian yang sama. Oh ayolah, siapa yang tidak baper kalau begini? "Pemanasan yang bener. Ntar, lo kram pas olahraga berabe, Jeng." bisik Ayu yang berbaris di sebelah Ajeng. "Hmm..." Ajeng hanya membalasnya dengan gumaman. Ayu tahu betul kenapa Ajeng merasa kesal. Tetapi, seharusnya itu menjadi pelajaran untuk Ajeng, bukan? Harusnya Ajeng sadar kalau Dafa memang ramah kepada semua orang terutama perempuan. "Udah lah, Jeng. Itu mata lo ntar keluar kalo melotot mulu begitu." sambung Andin yang berada di belakang Ajeng. Kedua sahabat Ajeng itu masih terus berusaha menyadarkannya tentang Dafa yang seperti itu. Tetapi, bukannya sadar, Ajeng malah semakin menunjukkan wajah kesalnya. "Materi kita kali ini basket, ya. Tapi, belum ngambil bola." ucap sang guru olahraga sambil menyisir pandangannya ke sekeliling. Beliau melihat satu persatu siswa-siswi dari dua kelas yang bergabung kali ini. "Dafa, Ajeng, kalian ambil bola basket, ya. Empat aja." Ajeng sempat terkejut dan membolakan matanya saat namanya dipanggil. Ah, bukan karena ini. Tetapi, karena nama Dafa yang turut disebut. Itu artinya, ia harus mengambil bola bersama Dafa? "Woy, Ajeng. Denger nggak, pak guru nyuruh lo?" Ayu menyenggol lengan Ajeng yang membuat kesadaran gadis itu kembali. "Ajeng? Ajeng mana? Jangan melamun. Nanti kamu kesurupan." ucapan sang guru olahraga membuat yang lain tertawa. Walaupun, sebenarnya beberapa siswi merasa kebakaran karena Ajang yang memiliki kesempatan untuk mengambil bola bersama Dafa yang merupakan impian setiap siswi agar bisa berlama-lama dengan Dafa. "Saya di sini, Pak. Iya sabar, dong." sahut Ajeng yang berjalan ke arah Dafa yang ternyata sudah menunggu di ujung barisan. "Jangan norak, jantung. Lo cuma ngambil bola sama kak Dafa. Bukan mau ke pelaminan!" teriak hati Ajeng saat beberapa langkah lagi sampai ke arah Dafa. "Lo nggak apa-apa, Jeng?" tanya Dafa karena melihat Ajeng yang hanya diam. "E-emangnya gue kenapa, Kak?" Bukannya menjawab pertanyaan Dafa, Ajeng malah bertanya balik. "Lah, gue kan nanya. Yang ngerasain kenapanya kan lo. Kenapa malah nanya balik, sih?" kekeh Dafa yang terdengar begitu ramah di telinga Ajeng. "Aduh, bisa gila gue. Ketawanya aja ganteng banget." batin Ajeng meronta-ronta. Oke, Ajeng sudah mulai hiperbola hanya karena Dafa yang tengah tertawa pelan. "Gue nggak kenapa-napa, Kak. Beneran." jawab Ajeng akhirnya. "Oh, syukur deh kalo baik-baik aja. Soalnya, lo diem aja. Gue kira lo sakit. Kalo sakit, mending ke UKS aja." ucap Dafa. "Perhatian banget. Emang idaman banget kak Dafa ini." Lagi dan lagi, Ajeng membatin. Ia benar-benar tidak bisa menahan euforia ini di hatinya. "Lo merhatiin gue, Kak?" tanya Ajeng. "Keliatan. Lo nggak bohong, kan?" Ajeng menggeleng. Mereka sudah sampai di gudang tempat bola basket di simpan. Namun, sebelum masuk, Ajeng mendapat perlakuan yang sangat tidak terduga. Dafa malah menempelkan punggung tangannya di dahi Ajeng. "E-eh, kenapa, Kak?" tanya Ajeng gugup. "Buset, kalo mau apa-apa tuh aba-aba dulu, kek. Dikira jantung gue kuat, apa?" teriak Ajeng dalam hati. "Oh, iya beneran nggak panas. Gue cuma mastiin aja kalo lo beneran nggak sakit." jawab Dafa santai. Lalu, lelaki itu melangkah dengan santai meninggalkan Ajeng yang masih mematung di tempatnya. Dafa benar-benar seperti tak melakukan apa-apa karena melenggang begitu santai. "Mana nih, bolanya yang lain? Kok cuma dua?" gumam Dafa yang tak menemukan dua bola lainnya. Sedangkan, mereka harusnya mengambil empat bola. Ajeng yang semula masih diam seperti patung selamat datang karena perlakukan Dafa kepadanya, kini ikut mencari di mana keberadaan bola basket yang lainnya. "Ini emang semua disimpan di sini kan, Kak?" tanya Ajeng yang diangguki oleh Dafa. "Iya. Nggak ada di mana-mana. Kalo udah latihan basket juga di taruh ke sini. Tapi, kok sekarang malah nggak ada." Aneh dan Dafa sibuk mencari bola yang lain dengan mengobrak-abrik tumpukan bola di dalam keranjang. "Di sini nggak ada, Kak." "Tadi gue juga udah nyari di situ. Udah gue ubek-ubek nggak ketemu juga." balas Dafa. "Gue kasih tau dulu ke lapangan, deh. Takutnya pada nungguin." ucap Ajeng. Namun, saat gadis itu melangkah menuju pintu, Dafa menarik pergelangan tangannya. Ajeng langsung membeku karena pergelangan tangannya tengah digenggam oleh Dafa sekarang. Kalau di sinetron-sinetron, adegan semacam ini akan menjadi gerakan lambat yang berlangsung cukup lama. Begitu pula dalam kepala Ajeng. Padahal, hanya hitungan detik, Dafa sudah melepaskan genggamannya. Meski begitu, efek perlakuan Dafa tersebut membuat Ajeng masih mencoba mencerna keadaan. Ia malah bengong di tempatnya. "Ajeng. Eh!" Dafa menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Ajeng demi menyadarkan gadis itu dari lamunannya. "Eh, iya?" Ajeng menggeleng cepat. Bisa-bisanya dia melamun seperti ini. Sudah cukup ia mempermalukan dirinya di depan Dafa. "Lo nggak kesurupan, kan?" tanya Dafa. "Ini orang-orang kok mikir kesurupan mulu dari tadi." Ajeng membuang napasnya kasar. "Gue jadi gagal loading juga gara-gara lo, kali. Kalo mau bertindak itu nggak pake mikir dulu." batin Ajeng. "Ya lo lagian diem aja." "Kenapa?" tanya Ajeng. "Kenapa apanya?" Dafa yang tidak mengerti arah pertanyaan Ajeng itu mengernyitkan keningnya. "Itu. Lo nahan gue kenapa?" "Oh. Nggak usah bilang. Mending kita cari aja dulu sampe ketemu. Kalo gue nyari sendiri malah nggak ketemu-ketemu." balas Dafa. Ajeng hanya mengangguk saja dan mulai kembali mencari di mana keberadaan bola basket itu. Diam-diam, ia mengulum senyum. Kalau ini memang takdir, ia sangat bersyukur karena keberadaan bola yang entah di mana itu membuat dirinya bisa berlama-lama dengan Dafa seperti saat ini. "Ck, ini iseng banget kalo ada yang ngumpetin!" gerutu Dafa yang masih belum menemukan keberadaan bola basket yang dicarinya padahal rasanya tak ada tempat yang belum ia lihat. "Lah apalagi gue. Nggak tau banget di mana." balas Ajeng pelan. Entah, Dafa akan mendengarnya atau tidak. "Udah, bilang aja bolanya cuma ada dua, Kak. Ini kita kalo nyari mulu bakal kelamaan. Anak-anak pada nunggu di lapangan." Ajeng dengan ide soknya padahal ia masih tidak masalah kalau harus berlama-lama dengan Dafa. Ia juga berharap kalau Dafa akan menolak usulannya. "Nggak, Jeng. Gue yakin kalo bolanya ada tapi ditutupin apa, gitu." tolak Dafa. "Yes!" seru Ajeng karena Dafa menolak usulannya. Tentu saja, ia bersorak dalam hati. Karena, tidak mungkin ia menunjukkannya secara terang-terangan. Pandangan Ajeng tertuju pada atas lemari yang tertutup spanduk. Mungkin saja, bola basketnya ada di sana dan tertutup spanduk. "Kak, kata lo mungkin nggak kalo ada di sana?" tunjuk Ajeng ke atas lemari. Dafa mengikuti arah tunjukan Ajeng dan ia pikir, mungkin saja benar di sana. Tetapi, masalah kali ini adalah lemarinya cukup tinggi dan bangku maupun meja yang berada di gudang terlalu rapuh untuk dipijak demi memastikan bola tersebut ada di sana atau tidak. "Bisa jadi. Tapi, ini gimana cara ngeceknya?" Dafa mengacak rambutnya. "Gue naik kursi aja." usul Ajeng. "Kursinya nggak kuat itu." tolak Dafa. "Gue kurus juga. Nggak bakal masalah, lah." "Nggak gitu. Emangnya, lo nyampe?" Ajeng yang mengingat tinggi badannya itu langsung tertawa kecil. Benar-benar tidak mungkin sampai melihat ke atas lemari. Dafa mengedarkan pandangannya demi mencari benda lain yang bisa digunakan untuk menarik spanduk tersebut. "Ah, ini kayaknya bisa!" seru Dafa sambil mengambil tongkat pramuka yang cukup panjang. Lelaki itu mulai mencoba menyingkirkan spanduk di atas lemari tersebut. Ia pikir, itu akan mudah. Tetapi, ternyata spanduknya nyangkut dengan belakang lemari. "Ya elah. Ada aja. Tapi, gue yakin sih bolanya di sana. Soalnya, kita udah cari di bawah nggak ketemu, kan?" Dafa dengan optimisnya masih terus menyingkirkan spanduk tersebut meski begitu sulit. "Bisa nggak, Kak? Gue bantuin apa?" tanya Ajeng yang melihat Dafa begitu kerja keras untuk menyingkirkan spanduk tersebut. "Nggak usah. Lo diem aja. Ini nggak bakal lama, kok." balas Dafa. Ajeng akhirnya benar-benar hanya diam menatap Dafa yang tengah kesulitan menyingkirkan spanduk di atas lemari. Lelaki itu terlihat begitu tampan. Tanpa sadar, senyum di bibir Ajeng tercetak begitu jelas. Kapan lagi bisa memandang Dafa dalam jarak sedekat ini tapi orangnya tidak sadar sama sekali. "Kalo nggak bisa, mending nggak usah deh, Kak Dafa. Ini kita udah lima belas menit di sini. Pas balik bisa-bisa didemo." Ucapan Ajeng membuat Dafa yang tengah berkonsentrasi itu menoleh sejenak. "Bentar. Ini beneran bentar lagi, kok." "Ya udah, oke." Ajeng kembali menatap Dafa yang tengah sibuk dengan spanduk yang ternyata hampir terbuka itu. Tiba-tiba saja pikirannya kembali kepada angket yang isinya hampir semua Dafa. Bagaimana bisa ia menjadikan Dafa target? Dafa begitu menanggapi siapapun yang menggodanya, benar. Tetapi, Dafa juga baik. Bahkan, hampir semua mantan Dafa menjawab kalau Dafa merupakan mantan yang begitu baik. "Pusing banget, gue!" teriak batin Ajeng. Ia masih terus melamun bahkan sampai Dafa berhasil menyungkirkan spanduk tersebut dan melihat bola basket yang berada di atas lemari. Tanpa pikir panjang, Dafa mendorong bola basket tersebut dengan tongkat pramuka agar jatuh. Dafa masih belum sadar kalau posisi Ajeng berada tepat di bawah lemari. Begitu juga dengan Ajeng yang tidak tahu kalau Dafa tengah berusaha menurunkan bola basket. "Oh ayo ikut lagi!" Dafa tampak begitu konsentrasi menurunkan bola basket tersebut. Sampai... 'Duk!' "Aw!" Bunyi bola basket yang jatuh itu diikuti dengan pekikan Ajeng yang merasa terkejut karena bahunya tertimpa bola basket. "Aw, sakit!" teriak Ajeng sambil memegang bahu kirinya yang tertimpa bola basket. "Eh, Ajeng sorry. Gue nggak ngeh kalo lo berdiri di situ." ucap Dafa yang menghampiri Ajeng demi memastikan kalau gadis itu tidak apa-apa. Dafa malah membiarkan bola basket yang dengan susah payah ia ambil dari atas lemari itu menggelinding sampai pintu gudang begitu saja. "Jeng, lo nggak apa-apa?" Dafa mengecek bahu Ajeng yang terkena bola. "Nggak. Gue cuma kaget aja, Kak. Sakitnya cuma refleks. Bolanya udah dapet semua, kan? Kita ke lapangan, ayo. Pasti udah pada protes, deh." ucap Ajeng yang mencoba menyingkirkan tangan Dafa dari bahunya. Bukan apa-apa, Ajeng merasa grogi berada dalam jarak sedekat ini dengan Dafa. "Beneran lo nggak apa-apa?" Dafa kembali memastikan. "Beneran, Kak. Gue--" "Ya ampun. Ini yang disuruh ngambil bola malah pacaran di gudang!" teriakan dari arah pintu gudang membuat Ajeng langsung melongokkan kepalanya. "Bisa-bisanya, ya bikin kita nunggu ampe jamuran!" tambah Ayu. Ya, yang memergoki Ajeng dan Dafa itu Andin dan Ayu yang ditugaskan untuk mengecek mereka berdua yang tak kunjung kembali. Setelah ini, Ajeng harus menjelaskan apa yang terjadi. Selamat membuat alasan, Ajeng!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD