Motor milik Dafa melaju membelah jalan kota Jakarta siang hari yang begitu terik. Anak itu juga cemas dengan keadaan ibu dari Ajeng. Apalagi sejak tadi ia melirik dari kaca spion miliknya terlihat Ajeng yang begitu cemas. Bahkan gadis itu terus saja berdoa demi kesehatan sang ibu. Dafa bisa merasakan bahwa Gadis itu benar-benar adalah gadis baik.
Terkadang doa Ajeng terputus karena ia memberitahu Dafa arah jalan menuju rumahnya. Sejujurnya itu terlihat menggemaskan sekali ketika Ajeng mencoba menahan tangis dan doanya kemudian menunjukkan arah kanan atau kiri jalan untuk Dafa melajukan motor. Jika saja Dafa bisa mencubit pipi Ajeng mungkin itu sudah dilakukannya. Hanya saja tentu posisinya saat ini tidak mungkin untuk melakukan itu.
Sementara di sisi lain saat ini Ajeng benar-benar merasa cemas. Ia bahkan tak terpikir untuk bertanya langsung kepada sang Ibu padahal ia memiliki ponsel untuk melakukan itu.
Motor Dafa lalu menuju ke sebuah kawasan perumahan bukan kawasan perumahan elit. Kawasan perumahan sederhana yang masih terlihat seperti perkampungan yang ramah masih banyak anak-anak bermain di sana dengan ceria. Perumahan yang masih menyenangkan karena para tetangganya bisa saling berinteraksi.
"Nomor 13H Kak. Di sana."Ajeng kemudian menunjukkan sebuah rumah yang tepat berada di sudut.
Dafa dengan segera melajukan motornya melewati tiga rumah lainnya untuk tiba di sana. Keduanya kemudian sedikit terkejut ketika melihat Ratna yang kini tengah duduk seraya meneguk es teh manis yang ia buat.
Sementara itu melihat anaknya pulang dengan laki-laki, membuat sang Ibu juga tak kalah terkejutnya. Ratna kemudian berjalan mendekati Ajeng. Melihat sang Mama yang berjalan mendekat, Ajeng kemudian segera turun dari motor. Ratna menangkap dengan heran kedua anak itu, ketiganya saling menatap bingung sendiri.
"Tante sakit apa?" tanya Dafa.
Mendengar pertanyaan yang terlontar dari teman dari anaknya itu tentu saja membuat Ratna merasa bingung. "Sakit apanya?"
Ajeng menatap sang ibu iya benar-benar masih linglung dengan situasi saat ini. " Mama sakit apa?"
"Kalian ini kenapa sih Mama justru heran kenapa kalian nekat pulang di saat lagi ada demo?" Ratna malah menjadi kesal karena anaknya itu nekat pulang di saat situasinya sedang Pak aman.
"Demo?" Ajeng dan Dafa bergumam, kemudian mereka saling tatap menjadi bingung sendiri dengan apa yang dikatakan oleh sang ibu.
"Nggak ada demo kok. Mama Kata siapa kalau ada demo?" tanya Ajeng.
"Loh tadi Abin sama Ayu bilang ke mama kalau kamu nggak mau pulang padahal lagi ada demo. Mama juga bilang ke mereka untuk kamu tetap di sekolah sampai dia maunya selesai." Ratna menjelaskan apa yang diberitahu oleh kedua teman dari anaknya itu.
Saya setelah mendengar penuturan sang Mama Ajeng mengerti bahwa masalahnya ada pada Andin dan juga Ayu. Memberitahu bahwa sang mama sakit pasti adalah cara dari kedua sahabatnya itu agar dirinya bisa dekat dan mengenal Kak Dafa.
Ajeng kemudian meminta sang Mama untuk berjalan masuk ke dalam rumah sementara ia akan berbicara dengan Dafa. Ratna menurut kemudian ia berjalan masuk ke dalam rumah sementara Ajeng kembali berjalan menuju Dafa.
"Kak Dafa terima kasih ya udah mau nganterin aku sampai sini dan aku minta maaf karena udah nyusahin kakak."
Dafa tersenyum pada Ajeng, ia kemudian menganggukkan kepalanya. Untuknya ini benar-benar bukan masalah apalagi jika menyangkut hal seperti tadi. "Aku nggak masalah kok nganterin kamu. Ya udah aku balik ya, Ajeng." Dafa menyebutkan nama Ajeng dengan sedikit di jeda kemudian memberi penekanan.
Mendengar namanya disebut membuat hati Ajeng meleyot. Rasanya jika saat ini dirinya adalah es batu ya sudah benar-benar melebur dan mencair Bahkan tak berbentuk lagi. Dafa benar-benar membuat perasaannya jadi tak karuan hanya dengan ia menyebutkan nama Ajeng tadi. Setelah itu Ajeng berdiri beberapa saat untuk menunggu motor milik Dafa menghilang dari pandangannya. Setelahnya ia segera kembali berjalan masuk ke dalam rumah.
"Siapa Kak?" tanya Mira yang kini tengah duduk di sofa ruang tamu.
Ajeng menoleh ke arah Mira kemudian memilih berjalan cuek menuju kamarnya. Kalau ditanggapi bisa jadi berlarut-larut dan panjang. Belum lagi ledekan-ledekan yang akan terlontar dari bibir Mira.
"Sombong amat ditanya gitu nggak jawab," cicit Mira. Tentu saja anak itu merasa kesal karena sang kakak yang tidak menanggapi pertanyaannya.
Berjalan melewati ruang makan ia melihat sang ibu yang kini tengah duduk sambil menikmati kerupuk kulit. Ajeng mendekat kemudian ia meminta satu kerupuk kepada sang ibu yang segera memberikannya.
"Itu siapa Kak?" tanya Ratna.
"Itu kakak kelas. Tadi Andin sama Ayu yang minta dia buat nganterin aku. Soalnya mereka bilang kalau mama sakit."
"Jadi Andin sama Ayu bohongin kamu kalau mama sakit? Demo itu bohong juga?" Ratna bertanya mulai menatap kepada anak sulungnya.
Ajeng duduk tempat di samping sang ibu kemudian dia menganggukan kepala. "Aku lagi berantem sama mereka. Jadi, kayaknya mereka cari-cari cara supaya aku maafin."
"Owalah, Udah buruan kamu maafin mereka. Andin sama Ayu udah susah-susah biar kakak kelas yang kamu sukain mau nganterin kamu ke rumah lho."
Dengan perkataan sang Ibu membuat ajang merasa malu. "Mama ih. Enggak gitu."
"Ya terus ngapain, mereka repot-repot minta anak itu buat nganterin kamu kalau bukan karena kamunya suka?" Ratna mengetahui semua. Terbaca jelas diraut wajah Ajeng bahkan terlihat seolah ada di keningnya bahwa ia menyukai anak laki-laki itu.
"Udah ah, Ajeng mau ke kamar." Ajeng kemudian berjalan meninggalkan sang Mama menuju kamarnya.
Melihat kakak yang berjalan ke kamar Mira berjalan mendekati Ratna. Tentu saja yang ingin anak itu lakukan adalah bertanya karena rasa penasaran. Tentang siapa laki-laki yang tadi mengantarkan Ajeng ke rumah.
"Tadi siapa Ma?" Tanya si bungsu kemudian ia duduk di samping Ratna.
"Itu kakak kelasnya, kakak kamu."
"Tumben banget dianter laki-laki?" tanya Mira lagi.
"Ya bagus dong, berarti Kakak kamu normal suka sama laki-laki. Kadang ya, mama suka takut lihat pergaulan anak-anak sekarang. Kmrn itu viral anak-anak perempuan di mall sayang-sayangan sampai ciuman. Idih, ngeri." Ratna mulai berghibah.
Mira merasa malas jika sang ibu sudah mulai bergibah. Kasih bungsu kemudian memilih segera bangkit dari tempat duduknya dan ngacir mengambil langkah cepat untuk meninggalkan sang ibu.
"Mira, ih! Diajak mama curhat juga."
Sementara di dalam kamar Ajeng di tengah memperhatikan tangannya. Tangan itu tadi memegang bahu dan jaket Dafa. Bahkan tadi Dafa juga sempat menggenggam tangannya. Ajeng jadi deg-degan sendiri padahal saat ini ya sudah berada di kamar dan Dafa sudah pulang dari tadi. Memang dasarnya Ajeng bucin, iya jadi saat ini ia tengah kesemsem sendiri.
Dari situ kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur dia bahkan belum mengganti pakaiannya. Panjang lalu berguling-guling sambil menahan diri untuk tak berteriak. Anak itu kemudian mengambil ponsel dan segera menghubungi kedua sahabatnya.
Tampaknya usaha Andin dan Ayu kali ini berhasil Ajeng sedikit luluh. Iya bahkan berinisiatif untuk menghubungi Andin terlebih dahulu.
"Woy!" seru keduanya ketika panggilan tersambung.
Mendengar suara kedua orang itu bisa dipastikan saat ini Andin tengah bersama Ayu. Sepertinya mereka berdua masih membahas dan penasaran bagaimana kisah Dafa dan Ajeng.
"Kalian masih sama-sama?" tanya Ajeng.
"Kayanya, ada yang mulai luluh sama kita nih," ledek Andin.
"Iya nih Ada yang lagi kesemsem karena tadi dianterin sama Kak Dafa." Ayu menimpali apa yang dikatakan oleh Andin.
Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua sahabatnya tentu saja membuat Ajeng tersenyum sendiri. "Nggak ada yang spesial sih, tapi besok gua bakal ceritain di sekolah."
"Jadi kita udah baikan nih?" Andin bertanya lagi.
"Iya baikan." Ajeng menjawab sambil terkekeh.
"Aseek, baikan nih ye." Ayu dan Andin berseru.
Ketiganya kemudian tertawa. Rasanya senang sekali bisa melihat persahabatan Ajeng, Andin dan Ayu yang kini baik-baik saja. Lalu apakah mereka akan setuju untuk membantu Ajeng membuat mantan organik?