Chapter 2

2402 Words
Dengan puluhan pengawal Anderson Hutton berjalan memasuki kantor pusat peninggalan sang ayah. Menemui pebisnis besar yang datang berkunjung. Hampir setahun Anderson tidak mengawasi kantor. Lelaki itu menyerahkan semua pada Dave, tetapi tidak untuk kali ini karena ada tamu istimewa dari keturunan Juventus ingin melakukan kerjasama. Ketika Anderson melewati lantai utama, tidak seorang pun berani bersitatap dengannya, kecuali gadis brunette yang mendadak muncul dari dalam. Hutton mencoba tidak peduli meski nyatanya sulit sebab gadis itu terus mengikuti langkah Anderson. Hanya seorang jalang tidak tahu malu mengejar bola, haus akan belaian, bahkan mengemis agar segera dipuaskan. Menjijikkan! Zoel memang bodoh menempatkan gadis segirang Velove sebagai sekretaris sexy, jika memandang buah d**a dan b****g yang besar. "Hutton, kau membaca pesan dariku?" Enggan menjawab Anderson diam saja, baginya itu adalah basa-basi yang paling memuakkan. Anderson sama sekali tidak tertarik pada tubuh sexy Velove meskipun pernah menidurinya beberapa kali atas dasar pemaksaan. Bukan berarti Velove tidak cantik, wajahnya bak poselen boneka barbie. Hanya saja Anderson tak menyukai kegirangan gadis itu setiap kali mereka bertemu. Bahkan, jika diberi dua pilihan, meniduri gadis secantik Velove atau mayat Barbara? Hati Anderson lebih mantap memilih menyetubuhi mayat. Merasa jengah Anderson pun menyerah, dan menjawab ketus. "Harus berapa kali aku katakan, bahwa aku tidak senang kau menghubungiku dalam situasi apapun, atau kau akan kupecat." Wajah gadis itu langsung seputih kapas, bibir merahnya bergetar seperti menahan tangis. Dia pintar dalam bersandiwara, selain untuk mengambil perhatian Anderson, sosoknya memang suka menjadi tontonan publik. Menunjukkan pada dunia seakan-akan Anderson telah melakukan hal yang buruk terhadap sekretaris kepercayaan Zoel. "Tapi, aku bermaksud memberitahu kedatangan Juventus," bela Velove dengan suara lemah gemulai yang terdengar menggelikan. "Kau bisa menghubungi Dave sebagai tangan kananku. Jangan ganggu kehidupanku lagi, dan menjauh dariku." Usir Anderson dengan jijik, lantas berlalu menuju ruangannya di lantai 2. Anderson Hutton. Diam-diam Velove menatap punggung lebar Anderson dengan perasaan penuh. Sejak mengenal Anderson, sang penguasa kita memang hidup sendirian. Dirinya seolah menutup hati untuk mencintai seseorang. Kesimpulan Velove mengira keturunan Hutton seorang gay terbantah, saat merasakan sendiri ketangguhan Anderson bermain di atas ranjang. Dan, di belakang Anderson senyum sinis Velove mengembang, bulu mata lentiknya mengerjap berulang kali membuang butiran air mata yang sempat keluar. Kehebatan lelaki itu sangat buas, tetapi sehebat apapun manusia jika tanpa cinta maka akan melemah. *** "Jangan ada satu pun yang memberitahu Anderson. Kita bisa mencarinya terlebih dulu di sekitar, menyebar!" Dave berkata tegas, memberikan komando pada seluruh pengawal terakurat. Kelalaian Denia yang tidak mengunci pintu kamar, bukan alasan bagus untuk mencari selamat. Anderson pasti marah besar terhadap semua orang terutama kepada Denia si pelayan tua. Itu akan sangat mengerikan jika harus terjadi karena hukuman siap mati tetap menjadi sebuah keadilan. Tidak ingin melihat nyawa wanita selembut Denia berakhir di tangan Anderson, jadi Dave ikut turun ke lapangan mengendus telapak kaki Barbara di tanah kebun. Menurut pemantauan gadis itu melarikan diri lewat jendela belakang. Dia meninggalkan jejak di mana-mana. Saking terlalu fokus mencari Barbara di perkebunan seluas bandara. Tanpa sepengetahuan Dave pelayan berumur 50 tahun itu menelepon Anderson, mengakui kesalahannya sambil menangis. "Apa?" Anderson menajamkan pendengarannya, melipir ke sudut ruangan. Belum sampai Denia menuntaskan kronologi cerita, Anderson sudah memutus sambungan sebelah pihak. Kedua tangan Anderson mengepal bagaikan batu. Di depan Juventus dengan seluruh kekuatannya menghantam dinding sampai retak. f**k, f**k, f**k! Anderson mengeram berulang kali, sambil menarik rambutnya dengan frustrasi. "Hei, kau kenapa?" tanya Juventus kebingungan, melebarkan kedua tangan meminta penjelasan. "Kita bicarakan lain kali," jawab Anderson menutup pertemuan mereka, tetapi Juventus tidak terima. "Kau akan menyesal." Juventus memandang kepergian Anderson, kedatangannya tidak dihargai dan sia-sia. Dengan kecepatan tinggi Anderson mengendalikan mobil ugal-ugalan tanpa jasa sopir, pikirannya hanya tertuju pada satu nama. Quinn Barbara. Bagaimana caranya dia kabur? Anderson bertanya-tanya dengan geram. Tidak menyangka gadis lemah seperti Barbara bisa lolos dalam penjagaan ketat. Janji Anderson setelah Barbara ditemukan, tak akan membiarkan gadis itu tinggal sendirian tanpa kedua tangan terikat. Seharusnya Anderson telah mendapatkan apa yang diinginkan. Mencari kenikmatan serta menggali kepuasan, tetapi entah kenapa rasanya agak berat menyalurkan kehendak pada Quinn Barbara. Bahkan, hingga saat ini Anderson tidak tahu apa penyebabnya, dan sulit dimengerti. Padahal milik Hutton sudah sangat ingin berada di dalam tubuh Barbara. Mengusap setiap inci kulit mulusnya, mencium, membelai lembut, dan mencumbu dengan panas. f**k! Sekali lagi Anderson mengumpat, memukul stir mobil kalap saat nyaris menabrak seorang pejalan kaki. "Berengsek! Keluar kau, bajingan." Orang itu berteriak sambil mengacungkan botol minuman ke arah Anderson, memancing kemarahannya. "Lelaki pemabuk tak berguna, kukirim kau ke neraka." Anderson menginjak gas dengan kuat, menabrak lelaki tua itu hingga terpental jauh.  Di detik berikutnya Anderson mendengar suara teriakkan, tetapi sang penguasa tak peduli. Ada hal yang jauh lebih penting daripada memastikan kematian lelaki sekarat. Anderson meluncur bagaikan kilat membelah jalan aspal, mengabaikan umpatan dari pengendara lain. Kemungkinan Anderson mendapatkan Barbara kembali sangatlah besar, karena gadis itu hidup sebatang kara di muka bumi. Dia pasti bingung ingin berlari ke mana, dan meminta bantuan kepada siapa. Hutton akan terus mengejarnya sampai ke ujung dunia sekalipun. "Dave," panggil Anderson dengan lantang disusul oleh suara tembakan yang menggelegar. Dor! Dor! Suara tembakan beruntun terdengar jelas di luar, dahi sang penguasa mengernyit. Anderson memang memiliki banyak musuh. Namun, sekuat apapun mereka, tidak ada yang berani menantang Anderson seperti ini. Kecuali ... musuh lama Zoel, yang baru saja Anderson temui di kantor tadi. Meski hubungan antar keduanya tidak sejalan, tapi Juventus tak pernah melibatkan permusuhan kepada Anderson. Tanpa berpikir panjang Anderson langsung balik arah, mengecek kekacauan dengan tangan kosong. Mengawasi penuh geram serangan musuh yang diterima baik oleh para pengawal Hutton, saling menendang, menghantam, adu kekuatan sampai titik darah penghabisan. Tidak tinggal diam kedua bola mata Anderson mencari-cari keberadaan Juventus, tangannya mengepal kuat seakan telah siap menyerang. Beruntung, kali ini Juventus enggan menunjukkan batang hidung, kalau tidak nyawanya akan menjadi sasaran kedua kemurkaan sang penguasa. "Anderson, kau sudah pulang," tegur Dave sesaat pertumpahan darah mencolok di depan mata. Banyak pengawal tergeletak tak berdaya, beberapa menunggu ajal kematian, sedangkan sisanya sudah tewas terbunuh. Anderson melangkahi mayat di depannya, berjalan menghampiri Dave yang tampak tegang. Bug! Belum sempat lelaki itu berkata-kata, pukulan Anderson sudah melayang tepat di tulang pipi Dave. "Kau telah merusak kepercayaanku." Anderson menekankan kalimatnya, menyalahkan pekerjaan Dave yang tidak becus. Bug! Pukulan kembali mendarat di tulang pipi Dave, membuat tubuhnya terhuyung jatuh, dan menyemburkan darah. Dave mencoba membalas perkataan Anderson, tetapi hanya sampai di ujung bibir karena pukulan terus datang menyerang. Anderson sama sekali tidak memberi kesempatan berbicara. Di saat kegilaan Anderson menjadi, bersikukuh ingin menghabisi nyawa Dave, pelayan tua itu muncul sambil membawa selembar foto gadis kecil yang mirip Barbara. Meski tampak usang Anderson dapat mengenalinya bahwa sosok di dalam foto adalah Quinn Barbara. Astaga! Kepala Anderson berputar kuat, mengingat kejadian pembunuhan satu keluarga yang dilakukan olehnya atas perintah Juventus. "Aku menemukan foto itu di kamar, mungkin milik Nona Quinn Barbara." Denia menjelaskan, memperkuat kesimpulan Anderson. Tidak menyiakan kesempatan Dave pun bangkit, memberitahu rencana musuh baru mereka sesaat Denia berlalu masuk. Wanita itu tidak ingin mendengarkan pembicaraan mengenai serangan atau hal yang berbau kejahatan. "Dengarkan aku, Juventus beserta pengikutnya telah membawa Barbara," pungkas Dave mengambil kesadaran Anderson, mengingatkan bahwa keselamatan Barbara sedang dalam bahaya. Tunggu kedatanganku, Juventus k*****t! Sambil lalu Anderson menendang mayat di bawah kakinya, lantas bergerak menaiki mobilnya dalam kecepatan tinggi dikuasai emosi. Menuju markas Juventus seorang diri tanpa pengawal, dan tangan kosong. Menurut pengetahuan Anderson kekuatan Juventus tak sebanding dengannya selama sang penguasa masih hidup. Lelaki itu telah menjemput ajalnya sendiri. Apa lagi yang dia inginkan dari gadis malang serapuh Barbara? Tidakkah cukup baginya menghancurkan keluarga Barbara dengan melibatkan Anderson sebagai pembunuh kedua orang tua gadis malang itu. Sampai terjadi sesuatu pada Barbara maka Anderson tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Kemarahan Anderson terhadap Barbara kini tergantikan oleh rasa bersalah yang terlambat. Menyadari betapa bodohnya sempat menjadi pengikut Juventus, hanya untuk mendapatkan sejumlah uang. Brakk! Menggunakan satu kaki Anderson mendobrak pintu markas Juventus, matanya langsung mengarah pada kursi kebesaran seorang bos. Tampak kosong. Kelima anak asuh Juventus terlonjak, meninggalkan permainan konyol mereka di atas meja. Dalam sekali gerakan Anderson melompat, menendang satu per satu wajah mereka, lalu menarik kerah baju berkepala plontos hingga bangkit. "Beritahu aku di mana Juventus berada?" "Aku tidak tahu." "Jawab pertanyaanku atau botol-botol ini akan menghantam kepalamu." Mengambil empat botol secara bergilir, dengan tepat Anderson melayangkannya kepada teman-teman si plontos yang hendak menyerang dari belakang. Anderson mencekik lehernya geram, penuh perhitungan sebelum sisa botol di meja melayang keras. Tepat di saat ingin menghantam botol ke sebelas lelaki botak itu angkat tangan. "Tolong, berhenti, aku akan mengatakan di mana Juventus." Gerakan Anderson berhenti, mencatat baik-baik alamat yang diucapkan di kepala. Meski tidak tahu pasti letak mansion baru Juventus, demi menjemput Barbara pulang dilaluinya perjalanan panjang. Hati Anderson berkecamuk antara marah dan cemas berlebihan. Dalam hidupnya Anderson tidak pernah secemas ini terhadap orang lain, bahkan jiwanya terlampau resah memikirkan nasib Barbara di genggaman Juventus Ball. Di sepanjang perjalanan Anderson mencengkram stir dengan kuat, mengingat wajah ketakutan Barbara berurai air mata sukses memperburuk suasana. Anderson merasa sangat bersalah sekaligus menyesal telah mengambil peran sebagai pembunuh bayaran. Aneh. Ini sangat aneh. Sebelumnya Anderson selalu membunuh dengan perasaan lega, serta merta bangga terhadap dirinya yang kuat. Melenyapkan nyawa seseorang adalah tugas paling mudah, menyenangkan, dan menguntungkan. Kebijakan membunuh telah dilakukan oleh Anderson Hutton dengan senang hati. "Ada apa dengan diriku, arrg!" Anderson menarik rambutnya ke belakang, merasa serba salah. Perasaan puas itu mendadak hilang, lenyap bagaikan ditelan angin. Padahal kedua tangan Anderson baru saja mematahkan leher lelaki plontos yang membuat kesabarannya habis, tentu setelah mulut sampah itu memberitahu keberadaan Juventus. Ini bukan seperti Anderson Hutton. Tiba-tiba mobil yang Anderson kendalikan oleng, tidak bisa diarahkan dengan lurus disusul suara letupan ban. Sial beribu sial! Juventus benar-benar keterlaluan, dia telah menyiapkan jebakan. Menaburi paku di sepanjang jalan untuk menghambat perjalanan Anderson. Kalau sudah begini tidak ada pilihan selain menunggu montir datang. Sambil terus menelepon mencari pertolongan pertama kepada siapa pun agar bersedia mengantar mobil ke tempat.  *** "Robin, tolong aku," gumam Barbara di dalam tidurnya, memanggil nama sang kekasih. "Robin ..." panggilnya bergetar diiringi air mata yang mengalir pilu. "Robin, jangan tinggalin aku, aaa tidak!" Barbara menjerit kencang terbangun dari tidur panjangnya, dan terisak. Dengan berlinangan air mata Barbara menatap sekeliling penuh antisipasi, diserang takut yang berlebihan. Ini bukan kamar Anderson Hutton. Entah bagaimana Barbara mengenali corak dinding kediaman Anderson beserta bentuknya, klasik namun tampak mewah. Memukul kepalanya, Barbara mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir kali sebelum dibius hingga tidak sadarkan diri. Ah, lelaki bertato. Barbara ingat betul sesaat kemunculan Dave, ada seorang lelaki bertato bersama kelima pengawal menghampirinya, lalu menawarkan bantuan. Tanpa menjawab Barbara langsung berlari seribu kaki yang dikejar olehnya, sementara Dave membalas serangan dari kelima anak buah Juventus. Satu kesimpulan Barbara garis bawahi jika mereka sama-sama orang jahat yang harus dihindari. Sialnya, selepas berhasil melarikan diri dari genggaman singa lapar bernama Anderson, Barbara malah terperangkap ke dalam harimau liar. "Kau sudah bangun?" tanya suara barinton yang mendadak muncul dari sofa, diikuti kepala dengan seringai nakal.  Juventus bangkit sambil memasang resleting celananya entah sejak kapan terbuka, tidak lama muncul kepala perempuan dari sofa yang sama. Mata biru Barbara membeliak. Ketakutan Barbara semakin menjadi saat Juventus bergerak mendekati ranjang sementara perempuan tadi keluar, menyisakan mereka berdua di kamar. Melihat wajah panik gadis di depannya Juventus hanya terkekeh, duduk di sisi ranjang sembari mengambil kotak rokok beserta pemantik, lalu menyodorkan ke arah Barbara di ujung ranjang. Gadis malang itu menggeleng keras. "Siapa kau?" tuding Barbara nyaris seperti bisikan saking ketakutan. "Kau tidak mengingatku?" Juventus balik bertanya, menatap sepasang mata Barbara dalam. "Katakan siapa?!" Barbara membentak Juventus, tidak senang pertanyaannya diputar balikkan. God, help me! Lagi, kedua mata Barbara membulat saat Juventus menarik kaus yang dikenakan melewati kepala menampilkan tubuh kekarnya berikut tempelan tato bermacam gambar. Ketika Barbara hendak lompat gerakan Juventus lebih cepat menahan. Menarik Barbara ke tengah ranjang, lalu menunjuk sederet huruf di atas pusarnya; Juventus Ball. "Kau ...." Napas Barbara tercekat saat mengingat nama Juventus sempat menjadi tersangka pembunuhan kedua orang tuanya, 10 tahun silam. "Aku tak percaya kau tumbuh begitu cepat menjadi gadis yang sangat cantik, dan menarik." Juventus mendorong pundak Barbara hingga terhempas, mengoyak kaus tipis murahan di tubuhnya memperlihatkan bra merah jambu. Di bawah Juventus semampunya Barbara meronta, menjerit histeris, mengelak ciuman Ball. Kengerian terpatri jelas dalam bayangan manakala Juventus menekan rahangnya kuat, lalu memagut bibir Barbara yang melengkung. Merasakan pagutan itu tubuh seketika kaku seperti kayu, kaget dan tidak terima dilecehkan. Akan tetapi Barbara tidak dapat melakukan apapun selain menangis tanpa suara. Sebagai bentuk pelampiasan paling ampuh ketika kita tak mampu berbuat apa-apa. "Cup, cup, jangan menangis." Juventus mengelus pelan pipi Barbara sesaat melepaskan ciuman, beralih mengerayangi leher berikut perutnya. Brak! Anderson datang sedikit terlambat, arah pandangnya jatuh menyaksikan posisi Juventus berada di atas perut Barbara. Menggulung lengan bajunya hingga seperampat, Anderson maju dengan gigi bergemelutuk marah. Tepat di saat Juventus berbalik tangan Anderson melayang keras hingga lelaki itu tersungkur. Tidak membiarkan Juventus bangkit, Anderson sudah mendorong ke lantai dengan memberikan pukulan bertubi-tubi tanpa henti. Belum puas melihat wajah Juventus babak belur. Anderson menariknya bangkit, lalu menghantam Juventus berulang kali ke dinding sampai pecah. "Anderson, lepaskan tanganmu," rintih Juventus ketika merasa tidak sanggup lagi melawan, atau berakhir mati. "Kau b******n besar yang sangat payah, di mana kekuatanmu, hah?!" sentak Anderson sambil mencekik lehernya, lalu menjatuhkan Juventus begitu saja. Di saat hendak menginjak d**a Juventus, mengakhiri nyawanya, Barbara berteriak histeris. Terlihat jelas ketakutan. Gadis itu seperti mengalami trauma berat kerap disuguhkan aksi pembunuhan di depan mata. Anderson menarik kakinya kembali, melepas Juventus yang sekarat. Mungkin saja akan mati dalam hitungan detik. "Barbara," panggil Anderson dengan sedih, melihat kondisi Barbara begitu menyita perhatian. "Tidak, kumohon jangan mendekat, pergi jauh dari hadapanku." Barbara beringsut menjauhi Anderson, sambil mencoba menutup sebagian tubuhnya yang terekspos. "Aku tidak akan menyentuhmu," kata Anderson selembut mungkin, lalu menutupi d**a Barbara dengan kemeja miliknya sebelum merengkuh gadis itu. Di dalam rengkuhan Anderson, kontan Barbara memekik, memukuli tubuh kuat yang menggelungnya sambil menangis kencang. Selamat dari Juventus bukan berarti aman. Masih ada Anderson sang penguasa. Manusia berkekuatan monster. Sebanyak apapun pukulan Barbara kerahkan dianggap tak pernah ada. "Kita pulang sekarang," bisiknya rendah seakan menahan sesuatu. Terpejam rapat, Barbara merasa tubuhnya seperti terayun-ayun di udara. Mengenyahkan seluruh kejadian barusan dengan mengenang seluruh kelembutan Robin. Dulu, tepat di hari jadi mereka yang pertama Robin mengajak liburan ke pantai. Bermain air sambil berlari riang ke sana ke mari. Tiba-tiba Robin menggendong Barbara layakan sepasang pengantin, berjalan di bibir pantai sesekali berucap janji sehidup dan semati. Robin. "Jika hidupmu untukku, kenapa kau pergi meninggalkanku?" Mendengar igauan Barbara, dahi Anderson mengernyit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD