"Aku nggak ngerti pikiran seniman gila kayak kamu!"
Lila berhenti di ambang pintu, menoleh. Mata bulat polosnya menatap Steve tanpa rasa bersalah. "Ups, Stitchy mulai marah-marah, tanduknya keluar. Ehem... Ehem... Baiklah, semua, dengar, saatnya lagu kebangsaan."
Lila mengambil satu kursi, naik ke atasnya untuk menyita perhatian Daniel dan anak-anak yang masih mengantri mendapatkan file. Dengan pensil di tangan, Lila berpura-pura sedang memegang mikrofon, dia pun mulai bernyanyi sambil menggoyangkan badannya.
Lila menyanyikan lagu cicak-cicak di dinding, tetapi syairnya diubah. "Stitchy mulai bertanduk, mukanya jadi jelek. Jangan coba mendekat. Hap! Nanti diterkam!"
Daniel dan anak-anak X IPA 1 tertawa mendengar nyanyian Lila dengan suara jernihnya yang sebenarnya tidak buruk. Berbeda dengan mereka yang bahagia, Steve malah mengepalkan tangan di sana, dengan wajah sangat kesal.
"Liiiloooo!!!!"
"Saatnya kabur!" Lila segera membungkuk di depan semuanya, lalu turun dari kursi dan berlari ke luar kelas.
Steve mengejar. "Kepalamu nggak bakal selamat kali ini, Lilo!!!"
Riani tertawa sambil geleng-geleng kepala melihat dua orang itu.
"Lilo and Stitch berantem lagi?" tanya siswa dengan name tag Farel Juliansyah ketika duduk kembali di sebelah Riani.
Lilo and Stitch, begitulah anak-anak menyebut Lila dan Steve. Keduanya jarang akur, tapi anehnya tidak pernah bisa berjauhan.
"Biasalah, kakak-adek mah gitu," jawab Riani enteng.
"Mereka beneran kakak-adek? Mukanya nggak mirip."
Riani mengedikkan bahu, memilih mengambil buku tebal di laci dan memakai kacamata. Dia mulai larut pada buku Dasar-dasar Psikologi.
"Mereka tinggal serumah, pulang-pergi sekolah juga bareng, bahkan nama keluarganya juga sama-sama Wellington. Steve kelihatan banget keturunan orang Inggris, tapi Lila Indonesia asli, malah wajahnya ayu-ayu gitu khas orang sunda. Kalau dilihat dari riwayat orangtuanya, emang, sih, mama mereka asal Indo, dan ayahnya asli Inggris. Tapi almarhumah mama mereka juga kelihatan kayak keturunan orang Inggris, kelahiran dari darah campuran juga. Berdasarkan genotipe-nya, semua anak mereka harusnya bermata biru kayak Steve. Bukannya abang dan kakak Steve juga punya mata biru? Kenapa cuma Lila yang warna matanya cokelat terang?"
Riani tidak memedulikan ocehan Farel.
Farel mendesah ketika melihat gadis berjilbab di sebelahnya ini mengabaikannya. "Kelas ini isinya orang-orang aneh."
"Kamu termasuk, dong," keluh siswa yang duduk di depannya.
Farel berdecak kesal. "Sialnya, iya. Sialnya lagi, aku adalah pemimpin dari dua puluh siswa aneh dalam kelas ini."
Riani tersenyum samar mendengar keluhan Farel. Sekilas dia memerhatikan murid-murid kelas IPA 1 yang mulai mengeluarkan bontot mereka usai pembagian file. Uniknya, anak-anak ini tidak mengalihkan perhatian dari buku di meja meski sambil makan. Lalu melalui jendela, Riani melihat siswa dari kelas lain yang duduk-duduk sambil bercerita, atau makan di kantin sambil memegang gadget.
"Hah... Benar. Kelas kita doang yang aneh," keluh Riani.
Farel tidak lagi mendengarkan keluhan Riani karena sudah larut dengan buku tebal bertuliskan 'Sejarah Indonesia' sembari mendengarkan sesuatu melalui earphone yang tersambung ke ponselnya. Sementara tangan lain aktif menyuapkan makanan ke mulut. Kaki di bawah sana bergerak-gerak seolah menikmati musik, mulut juga sibuk mengunyah makanan, dan tatapan fokus ke buku. Multitasking sekali!
Riani tertawa pelan. "Dia yang paling aneh kayaknya."
***
Lila sedang menggambar dua buah kalung pasangan (bulan sabit dan bintang), di tepi kolam air mancur di taman samping sekolah ketika seseorang mendatanginya dari belakang secara pelan-pelan.
"Stitchy, jangan pernah pakai trik ngagetin dari belakang. Itu nggak mempan," kata Lila, tak melepas mata dari buku gambarnya.
Sayangnya, orang yang dibelakangnya bukanlah Steve. Pria itu memakai masker hitam yang menutupi mulut dan hidungnya, dan mengenakan sarung tangan tebal warna hitam pula. Pakaiannya juga serba hitam, dengan sepatu pantofel warna serupa. Dia mengendap, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana. Setelah menyemprot sesuatu ke sapu tangan itu, dia bergerak cepat ke depan Lila dan membekap mulut gadis itu dengan tangan kanannya, sementara tangan lain menahan leher Lila.
Lila refleks memberontak sampai buku gambar berserakan, tapi kekuatan pria itu bukan tandingannya. Ditambah obat bius di sapu tangan, Lila hanya bisa pingsan setelahnya.
Steve yang pergi membeli minuman hanya bisa melihat Lila dibawa dalam gendongan ala gendong karung oleh seseorang. Dia menjatuhkan minuman dan mengejar orang itu, tapi sayangnya dia terlambat. Orang itu telah masuk ke mobil.
"Hei! Berhenti!" teriak Steve sepanjang jalan, mengikuti mobil.
Dia tertinggal jauh. Segera setelah itu, dia mengambil ponsel di saku celana dan menghubungi seseorang dengan nama 'Smith'.
"Bang, Lila diculik!"
Teriakan putus asa Steve dengan deru napas tak stabil itu mengagetkan seorang pejalan kaki yang melintas di belakangnya. Pemuda itu mengenakan masker hitam, tatapannya sedingin es ketika memandang Steve. Dia lalu memerhatikan mobil yang telah melesat jauh.
"Aku nggak melihat nomor kendaraannya, Bang. Aku nggak berhasil melihatnya." Steve memegang dadanya, berusaha menormalkan detak jantung yang berdebar sangat cepat.
Lelaki dengan masker hitam di belakang Steve, mengambil secarik kertas dari notebook kecil yang dikalungkannya di leher, lalu mengambil pensil kecil yang tersampir di pinggiran notebook, menuliskan sesuatu. Dia ingin memberikan kertas itu kepada Steve, tapi berubah pikiran. Dia malah mengantongi kertas itu ke dalam saku celana, lalu berjalan berlawanan arah Steve.
Ponsel dalam saku baju pemuda bermasker bergetar, panggilan atas nama 'Gelandangan'.
"Hei, Ares, keponakanku tersayang...? Kau di mana?" Suara pria dewasa di seberang telepon terdengar seperti orang mabuk.
Lelaki bermasker yang adalah ares sendiri kemudian mengembuskan napas pelan.
"Temani Paman minum, di sini... Ah, bawa uang Paman, ya, keponakanku sayang..."
Ares memerhatikan sekitar yang sunyi ketika dia memasuki g**g di antara dua ruko, lalu berujar dengan sangat pelan, "Apakah polisi seperti Paman diizinkan mabuk-mabukan di jam bertugas begini?"
"Oh...? Apakah keponakanku sedang menceramahiku sekarang? Pamanmu ini sedang nggak bertugas, mereka nggak membutuhkan paman lagi... Hueeekkk..."
Ares menjauhkan telinga ketika suara muntah di seberang sana terdengar. Detik berikutnya dia hanya mematikan ponsel itu.
Ketika memasukkan ponsel ke kantong, tangannya merogoh benda lain di sana. Ares mengeluarkan kalung dengan bandul bentuk persegi panjang yang di dalamnya terdapat bentuk seperti bintang. Kalung ini persis sama dengan salah satu dari kalung pasangan yang digambar oleh Lila.
Dengan tatapan tak terbaca, Ares memandangi lama liontin itu sebelum menyimpannya kembali ke dalam saku celana. Dua tangan mencengkeram tali tas, dia kembali melangkah di jalanan yang mulai gelap.
***