Keesokan harinya aku mengunjungi Grisella di rumah sakit. Dia sedikit membaik meskipun masih terlihat pucat. Saat tiba di rumah sakit, Grisella hanya ditemani oleh ibunya. Tidak ada Arron disana. Kemana laki-laki itu?
"Raya maaf aku menyembunyikan kebenaran soal kejadian malam itu padamu. Aku malu untuk jujur kalau aku dan Arron tidur bersama."
Grisella mulai bercerita saat ibunya pamit pulang setelah aku datang.
"Kalau aku berada di posisimu, aku juga pasti melakukan hal yang sama Gris. Selamat ya. Ku dengar kalian akan segera menikah, juga walaupun sedikit terlambat selamat karena sekarang kau adalah calon seorang ibu."
Grisella menangis setelah mendengar ucapan selamat dariku. Emosi ibu hamil katanya memang sedikit lebih sensitif. Diam-diam aku merasa iri pada Grisella. Kapan ya aku juga dilamar dan menjadi calon seorang ibu? Menyadari keinginan konyol itu aku jadi tersenyum sendiri.
"Kenapa kau malah tersenyum di saat aku sedang menangis Raya?"
Grisella tampak ingin marah. Aku langsung menggeleng dan memberinya alasan kenapa aku tersenyum.
"Aku hanya sedang membayangkan betapa beruntungnya jadi dirimu Gris. Kau akan menikah dengan laki-laki yang sudah lama kau cintai. Tak ada hal yang lebih membahagiakan dari pada hidup bersama dengan orang yang kita cinta, benar kan?"
Grisella tampak murung setelah mendengar perkataanku. Kenapa? Apa dia tidak bahagia?
"Raya aku merasa jadi wanita yang paling egois untuk Arron. Kita tau kalau Arron menyukaimu, lalu bagaimana mungkin aku bisa bahagia melihat dia yang memaksakan diri untuk menikahiku? Dia menikahiku hanya demi tanggung jawabnya Raya. Arron tidak mencintaiku."
"Gris cinta itu bisa datang dengan berjalanya sang waktu. Kau dan Arron pasti akan menemukan kebahagiaan kalian. Kau harus percaya, Arron juga pasti akan jatuh cinta padamu."
Grisella kembali menangis. Sejak jadi ibu hamil sepertinya wanita ini jadi semakin sensitif.
"Tapi sampai kapan Raya? Kita sudah bersama lebih dari empat tahun dan selama itu juga Arron sama sekali tidak pernah menaruh hati padaku lebih dari sekedar sahabat. Disaat aku sudah lelah untuk mengharapkanya, kami malah terikat dengan janin yang ada di perutku ini. Aku takut Raya. Aku takut dia tidak bisa melupakanmu. Aku takut menjalani rumah tangga yang hambar tanpa cinta. Aku benar-benar takut Raya."
Aku berusaha menenangkan Grisella yang terus menangis. Menangis terlalu banyak juga tidak baik untuk ibu hamil sepertinya.
"Akan ada banyak hal yang berubah setelah kalian menikah Gris. Percayalah Arron pasti akan jatuh cinta padamu cepat atau lambat seiring dengan kebersamaan kalian."
Grisella sepertinya mengerti dan mulai terlihat tenang. Aku memintanya untuk tidur dan melupakan keresahan hatinya. Dia harus lebih banyak beristirahat. Setelah Grisella tertidur, aku memutuskan mencari udara segar di halaman rumah sakit yang di desain seperti taman bermain.
Disanalah aku melihat laki-laki yang memang kucari sejak tadi. Arron. Laki-laki itu tengah duduk melamun dibawah pohon beringin, pandangannya menerawang, sama sekali tidak menyadari keberadaanku.
"Hei."
Arron sedikit terlonjak mendengar teriakanku.
"Hei. Sejak kapan kau datang? Apa kau sudah bertemu Grisella?"
Aku mengangguk sembari duduk disamping Arron.
"Apa yang sedang kau lamunkan? Kau bahkan tidak menyadari kedatanganku Arron."
Arron menghela nafas berat. Tak lama kemudian dia menggenggam tanganku. Sepertinya Arron sedang membutuhkan dukungan dariku.
"Raya apa pernikahan ini akan berhasil?"
Satu pertanyaan yang begitu menyayat hati. Arron dan Grisella, sepertinya mereka berdua belum siap untuk berumah tangga.
"Aku takut Raya. Aku takut tidak bisa menyayangi Grisella layaknya suami kepada istri. Bagaimana kami bisa bahagia jika tidak ada cinta di dalamnya?"
"Jangan katakan tidak ada cinta Arron, Grisella sangat mencintaimu."
"Tapi aku tidak Raya. Bagiku malam itu hanyalah sebuah kecelakaan. Kecelakaan yang akhirnya memaksa kami untuk terikat."
"Jangan anggap itu sebagai sebuah kecelakaan. Cobalah untuk menerimanya dan menganggap bahwa semua ini adalah takdir kalian."
Arron semakin mempererat genggaman tangannya padaku.
"Bagaimana jika kami gagal Raya? Bagaimana jika aku tetap tidak bisa menerima Grisella dan anaknya?"
"Dia bukan hanya anak Grisella Arron, dia juga calon anakmu."
"Kewajiban memaksaku untuk berada disisih Grisella, jadi apa boleh jika hatiku tetap memilihmu Raya?"
Aku tercekat. Bagaimana mungkin Arron bisa berkata seperti itu?
"Jangan gila Arron. Menikah itu bukan perkara main-main. Jangan katakan hal konyol seperti itu lagi. Jika setelah menikah kau masih ingin jadi temanku, maka jangan lakukan pikiran gilamu itu."
Aku berdiri, melepaskan genggaman tangan Arron, dan meninggalkanya begitu saja. Kurasa Arron sedang mengalami kebimbangan atas pilihan hidup yang dia jalani. Lebih tepatnya Arron tidak bisa memilih. Meskipun tidak punya pilihan, bukan berarti Arron bisa melakukan apa saja yang dia suka.
***
Pagi senin semua karyawan menyapaku dengan ramah. Apalagi alasanya kalau bukan kejadian di pesta Alya beberapa malam lalu. Mereka benar-benar berpikir kalau aku adalah pacar Gabrian.
"Hei pacarnya pak bos sudah datang."
Tak kupedulikan sindiran Bima dan langsung menoleh ke meja kak Vino. Kemana laki-laki itu? Kenapa dia belum datang?
"Apa kau tau kemana kak Vino pergi?"
"Kau mencariku Raya?"
Suara kak Vino dari ambang pintu membuatku dan Bima menoleh secara bersamaan.
"Iya. Ku pikir kakak ada pekerjaan di luar kantor."
Kak Vino tidak menimpali dan duduk di meja kerjanya. Aku langsung menghampiri kak Vino untuk meminta maaf atas kejadian malam itu.
"Kak maaf malam itu aku pulang lebih dulu padahal kak Vino yang mengajakku datang kesana."
Dengan takut-takut akhirnya aku bisa menyuarakan isi hatiku pada kak Vino.
"Tidak perlu Raya. Sebenarnya dari awal aku memang sudah merasa aneh karena kau dengan begitu mudah menerima ajakkanku. Ternyata alasanya karena kalian sedang bertengkar. Sekarang aku malah merasa tidak enak ke pak Gabrian."
"Jangan pedulikan soal Gabrian. Pokoknya aku benar-benar minta maaf kak."
Kak Vino menganggukan kepalanya dan tersenyum padaku. Aku meleleh, Kenapa dia begitu manis sih?
"Sebagai permintaan maaf kakak mau kan makan siang denganku, bagaimana?"
Sedikit bercanda, kak Vino menerima tawaranku.
"Kalau kau memang memaksa, baiklah."
Kak Vino kembali tersenyum dan memintaku untuk segera bekerja. Aku senang dia tidak marah, tapi juga kecewa karna dia sama sekali tidak merasa cemburu dengan kedekatanku dan Gabrian. Baru juga disebut dalam pikiran, laki-laki itu sudah mengirim chat pagi-pagi begini. Tumben? Ada apa?
Jam istirahat datanglah ke ruanganku!
Sial. Kenapa dia selalu mengacaukan kesempatanku untuk berduaan dengan kak Vino sih? Dengan malas kusingkirkan ponselku dan mulai sibuk bekerja. Tak ku pedulikan puluhan chat baru yang dikirim entah oleh siapa. Tapi aku yakin itu pasti bukan Gabrian.
Aku terus mengerjakan pekerjaanku dengan serius sampai-sampai aku tidak sadar kalau jam sudah menunjukan waktunya untuk istirahat.
"Raya apa kau tidak makan siang?"
Pertanyaan Bima sontak membuatku menghentikan kegiatanku. Dengan semangat aku menghampiri kak Vino yang sepertinya masih asik dengan pekerjaannya. Kak Vino langsung menghentikan pekerjaanya begitu aku datang.
"Apa kita mau makan sekarang Raya?"
Kak Vino bertanya seraya membereskan meja kerjanya.
"Iya kak. Soalnya aku mau ngajak kakak makan diluar kantor. Tidak apa-apakan?"
"Justru itu lebih baik. Jika makan di kantin kantor, aku takut kau akan di bully karena dianggap sedang selingkuh."
Aku terkekeh dan tanpa sadar menarik tangan kak Vino untuk segera mengikutiku. Yang membuatku diam-diam sangat senang adalah, kak Vino tidak melepaskan gengaman tanganku pada pergelangan tangannya. Beberapa pasang mata mulai melihat kami dengan tatapan aneh, semula aku ingin membiarkanya. Tapi kak Vino sudah lebih dulu bereaksi dengan melepaskan tanganku.
"Maaf Raya tapi sebaiknya kita tidak bergandeng tangan seperti ini."
Kak Vino berbisik pelan disebelahku. Aku hanya mengangguk dan mengajaknya untuk lebih cepat meninggalkan area kantor. Kami menuju restoran yang kumaksud dengan menggunakan mobil kak Vino. Hari ini aku harus jujur pada kak Vino tentang hubunganku dan Gabrian. Aku tidak ingin dia terus salah paham.
Setelah sampai di tempat yang kami tuju, aku dan kak Vino langsung memesan makanan yang kami suka dan memilih duduk di meja pojok. Setelah makanan yang kami pesan tiba, kami makan dalam diam. Tak ada yang membuka percakapan sampai kami berdua benar-benar selesai makan.
"Aku dan Gabrian sebenarnya tidak punya hubungan apa-apa kak."
Kak Vino sedikit terbatuk begitu mendengar penjelasanku yang langsung ke inti masalah.
"Lalu? Apa dua orang yang tidak punya hubungan apa-apa bisa berciuman di depan umum?"
"Sebenarnya Gabrian meminta bantuanku untuk menemaninya datang ke pesta keluarga Nabilah. Aku menolaknya karna sudah punya janji dengan kakak. Aku membohongi Gabrian dan menjadikan keluargaku sebagai alasan. Siapa sangka keluarga Nabilah yang dimaksud Gabrian itu adalah Alya atau suaminya. Aku merasa malu setengah mati karena ketauan sedang membohongi laki-laki itu."
Aku memainkan ujung-ujung jariku dan menatap kak Vino ragu-ragu.
"Lalu?"
"Ya lalu Gabrian marah dan menganggap bahwa aku sedang mempermalukanya. Sebenarnya aku dan Gabrian sedang bersandiwara. Kami pura-pura pacaran di depan Nabilah."
Kali ini kak Vino menatapku antusias. Dia sepertinya bingung dengan penjelasanku.
"Pura-pura pacaran? Untuk apa?"
"Karena Gabrian tidak mau Nabilah menganggapnya belum bisa move on dari wanita itu. Aku setuju dengan imbalan aku ingin terus bekerja di bagian pemasaran bersama kakak dan yang lainnya."
"Kenapa harus kamu? Bukankah pak Gabrian bisa saja mencari orang lain untuk membantunya bersandiwara?"
"Itu karena aku sahabat baik adiknya dan juga karena dia menganggap bahwa aku wanita yang tidak mungkin bisa jatuh hati padanya. Gabrian tidak mau memberi harapan palsu pada wanita lain."
Kak Vino langsung tersenyum mendengar perkataanku. Apa ada yang salah?
"Kenapa kakak tertawa? Apa aku membuat kesalahan?"
"Tidak. Tidak. Bukan itu Raya. Kalian berdua seperti anak kecil. Kenapa pak Gabrian bisa berpikir kalau kau tidak mungkin bisa jatuh hati padanya? Bukankah dia sosok laki-laki sempurna yang digilai banyak wanita? Tidak mungkin kan selama bersandiwara kau dan dia tidak memiliki perasaan apapun?"
Aku ingin menjawab kalau hatiku ini sudah sepenuhnya dimiliki oleh kakak, tapi jika aku menjawab begitu mau ditaruh dimana mukaku? Aku sudah pernah ditolak sekali, mana mungkin aku siap untuk ditolak untuk yang kedua kalinya.
"Ah sudahlah jangan pedulikan apa alasanya. Oh iya sebaiknya kita kembali ke kantor kak, sebentar lagi jam istirahat selesai."
Aku memilih tidak menjawab pertanyaan kak Vino dan mendahuluinya berdiri menuju kasir. Saat ingin membayar, kak Vino sudah lebih dulu memberikan uangnya. Tak ingin berdebat di depan kasir, aku memilih untuk mengalah dan membiarkan kak Vino yang membayar makanan yang tadi kami makan. Nanti saja. Nanti akan ku kembalikan uang kak Vino jika sudah di dalam mobil.
"Terima kasih untuk ceritamu Raya. Jika kau tidak mengatakan yang sebenarnya padaku, sampai akhir aku bisa saja salah paham pada hubungan kalian berdua."
"Aku tidak peduli jika orang lain salah paham padaku kak. Asal itu jangan kakak."
Kak Vino hanya tersenyum dan tidak mengatakan apapun lagi. Sesampainya di lobby kantor, aku menyerahkan uang yang tadi dibayarkan oleh kak Vino. Tapi kak Vino terus menolak uang pemberian dariku, jadi mau tidak mau aku meraih tangannya dan meletakan uang itu secara langsung ke dalam genggamanya.
Aku terlalu senang hingga tak menyadari, diujung koridor tempat dimana aku dan kak Vino sedang berjalan, Gabrian berdiri dengan kedua tangan terlipat di d**a. Sial. Apa dia melihatku yang sedang memegang tangan kak Vino?
Setelah jarak kami semakin dekat Gabrian tiba-tiba menarikku ke sisihnya.
"Maaf kak Vino sepertinya kami punya masalah yang harus diselesaikan, nanti kuhubungi lagi."
Setengah berteriak aku meminta pengertian dari kak Vino karena Gabrian langsung menarikku pergi begitu saja. Ada apa lagi ini? Kenapa dia marah? Setelah tiba di ruang kerjanya, Gabrian langsung menatapku tajam tanpa melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tanganku.
"Apa maksudmu bersikap mesra pada Vino di depan karyawan yang jelas-jelas kemarin malam mengetahui kalau kita punya hubungan? Sepertinya kau memang sengaja ingin mempermalukanku."
Gabrian semakin mendekatkan dirinya padaku yang secara otomatis mundur teratur menjauhinya.
"Aku tidak sengaja Gab. Sumpah."
"Tidak sengaja? Jangan bohong Raya. Kau pasti sedang mencuri kesempatan untuk menyentuh Vino kan?"
Aku ingin marah. Tapi entah mengapa setiap Gabrian marah, nyaliku langsung ciut. Apa sekarang aku salah lagi? Tunggu dulu, kenapa dia begitu marah?
"Aku salah apa Gab? Seharusnya aku yang marah padamu, kenapa malah sebaliknya?"
"Kau masih tidak tau kau salah apa Raya? Sungguh?"
Aku memberanikan diri menatap mata Gabrian yang jaraknya kini begitu dekat denganku. Sial. Kenapa dia begitu tampan sih?
"Kau mengabaikanku demi Vino Raya itulah kesalahan fatalmu."
Seketika aku langsung ingat kalau Gabrian memerintahkanku untuk menemuinya di jam istirahat. Astaga kali ini aku salah lagi.
"Maaf aku lupa."
Aku langsung merapatkan kedua tanganku didada demi memperlihatkan ketulusanku padanya. Aku benar-benar lupa soal perintah Gabrian. Gabrian tidak membalas permintaan maafku, tapi yang terjadi selanjutnya adalah Gabrian menarik pinggangku mendekat ke arahnya seraya berbisik.
"Jika kau lakukan kesalahan fatal seperti ini lagi, bukan hanya ciuman pertamamu yang akan kucuri tapi..."
Gabrian sengaja menjauhkan sedikit tubuhnya dariku dan menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Menyadari kemana arah pembicaraan Gabrian, aku langsung menyilangkan kedua tanganku di depan d**a dan mendorong laki-laki itu menjauh.
"Dasar pria mesum."
To be continue...