"Arron ada apa? Apa sesuatu terjadi pada Grisella?"
Aku mengguncang bahu Arron untuk membuatnya memperhatikanku. Tapi Arron seperti tuli dengan pandangan mata yang kosong. Apa yang terjadi pada Grisella?
"Sadar Arron! Ada apa?"
Tiba-tiba Arron berdiri dan meraih kunci mobilnya di atas nakas. Tak menghiraukan keberadaanku, Arron pergi begitu saja. Aku berusaha untuk mengejarnya dan bermaksud untuk mengikuti Arron. Tapi dengan cepat laki-laki itu mengunci pintu mobilnya dan meninggalkanku dalam kebingungan.
Tak kehilangan akal, aku langsung mencari taksi yang lewat tanpa sempat berpamitan kepada kedua orang tua Arron. Lagi pula sepertinya mereka sedang tidak di rumah. Sejak datang aku tidak melihat keberadaan mereka.
Aku sampai frustasi sendiri saat tidak satu pun melihat taksi yang lewat. Mobil Arron sudah tidak terlihat lagi saat akhirnya aku mendapatkan taksi. Kemana dia? Aku ingin mengejar Arron, tapi mengingat Arron sempat bicara pada Grisella di telpon bisa jadi Arron menuju rumah Grisella.
Tak ingin membuang waktu, aku segera meminta supir taksi untuk mengantarku ke rumah Grisella. Aku bahkan tidak peduli pada penampilanku yang berantakan dan masih menggunakan baju kerja. Aku harus tau apa yang sebenarnya terjadi pada Grisella. Akhir-akhir ini Grisella memang lebih sering menolak jika ku ajak jalan atau makan diluar. Apa dia sakit?
Sesampainya di rumah Grisella tak kudapati mobil Arron terparkir disana. Artinya Arron tidak datang ke rumah Grisella. Kemana laki-laki itu pergi? Aku bermaksud mengetuk pintu rumah Grisella saat secara bersamaan Gabrian keluar dari rumah tersebut.
"Raya? Kau masih belum pulang kerumah?"
Gabrian tampak sangat terkejut melihatku ada di luar rumahnya. Terlebih saat dia memperhatikan penampilanku yang jauh dari kata berkelas.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Grisella. Apa dia di rumah?"
Tak menjawab pertanyaanku, Gabrian yang semula ingin pergi kini malah mempersilahkanku untuk masuk. Mama Gabrian pun tampak sama terkejutnya dengan Gabrian saat melihatku bertandang ke rumah mereka di waktu yang sangat tidak tepat. Tamu macam apa aku ini?
"Wah nak Raya tumben ke sini di jam segini. Apa ada sesuatu yang mendesak?"
Tante Gina, mamanya Grisella dan Gabrian tersenyum ramah padaku sembari menuntunku ke meja makan. Ternyata mereka baru saja akan bersantap malam. Sungguh aku malu sekali. Aku benar-benar datang di waktu yang tidak tepat.
"Tante aku cuma mau ketemu Grisella. Apa dia ada?"
"Lho bukanya sejak siang tadi Grisella pergi sama Arron? Memangnya kamu tidak ikut?"
Grisella berbohong. Jelas-jelas Arron ada di rumahnya seharian ini. Lalu kemana Grisella pergi? Apa mereka berdua janjian untuk bertemu?
"Raya."
Panggilan Gabrian sontak menyadarkan lamunanku.
"Ah eh maaf tante aku jadi melamun. Sepertinya mereka hanya pergi berdua mengingat aku yang kerja sampai sore. Mereka pasti tidak ingin jam kerjaku terganggu."
"Sekarang jadi tidak bebas seperti dulu lagi ya karna sudah kerja."
Tante Gina kembali tersenyum sambil menyendokan nasi ke piringku.
"Tante tidak usah repot-repot. Aku buru-buru jadi tidak bisa ikut makan."
"Tidak. Tidak. Karna kau sudah disini maka kau harus temani tante makan. Gabrian baru saja akan pulang, dan papanya anak-anak masih sibuk di kantor."
"Aku kan masih disini ma."
"Iya tapi awalnya kau mau pulang kan? Untunglah Raya datang, jika tidak mama pasti makan sendirian lagi."
Gabrian hanya nyengir sambil ikut menyendokan nasi ke piringnya. Kami makan dalam diam. Sesekali tante Gina menanyakan hubungan kami bertiga padaku. Gabrian yang mengerti aku berada di posisi yang sulit untuk menjawab, sesekali membantuku mengalihkan topik pembicaraan dengan mamanya.
Selesai makan aku segera pamit pulang. Tante Gina memaksa Gabrian untuk mengantarku pulang lebih dulu baru memperbolehkan laki-laki itu kembali ke apartemennya. Gabrian tampak kesal saat sudah duduk berdua saja denganku di dalam mobil. Mungkin dia bosan karna sejak tadi terus terjebak dalam satu mobil denganku. Yang pertama kupaksa ke rumah Arron. Kemudian dia malah diminta mamanya untuk mengantarku pulang.
"Wajahmu menggambarkan isi harimu Gab."
"Kalau begitu kau harusnya jadi gadis yang pengertian dan memintaku untuk berhenti disini dan melanjutkan perjalananku Raya."
"Kau ini benar-benar laki-laki yang tidak peka. Seharusnya kau bisa bersikap lebih manis di depan wanita. Pantas saja Nabilah meninggalkanmu. Ups sorry."
Aku langsung minta maaf begitu menyadari kesalahan ucapanku. Gabrian langsung menghentikan mobilnya dengan kesal. Dia marah?
"Keluar!"
"Aku sudah minta maaf Gabrian. Aku tidak sengaja."
"Keluar!"
Mendengar nada suara Gabrian yang semakin tinggi mau tidak mau aku langsung keluar dari mobilnya. Setelah pintu mobil ku tutup laki-laki itu pergi begitu saja. Dasar. Untung saja dia menghentikanku di daerah yang masih ramai dan mudah mendapatkan taksi. Kalau tidak bisa jadi aku pulang jalan kaki dan jadi mangsa om om hidung belang. Membayangkanya saja tubuhku langsung menggigil.
Setelah mendapatkan taksi, aku pulang dalam keadaan tubuh yang sangat letih dan pikiran yang kusut. Apa yang sebenarnya terjadi pada Grisella? Sejak tadi aku mencoba menghubungi wanita itu. Tapi sama seperti ponsel Arron, ponsel Grisella juga dalam keadaan mati. Apa mereka sedang bersama? Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berdua? Apa mereka baik-baik saja? Mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya.
***
Keesokan harinya aku berpapasan dengan Gabrian di lobby kantor. Sial. Kenapa harus bertemu dia pagi-pagi begini sih? Mood ku tiba-tiba langsung rusak begitu mengingat kejadian semalam. Aku langsung memasang wajah cemberut saat jarak diantara kami semakin dekat, tapi Gabrian malah berjalan melewatiku begitu saja tanpa menoleh sama sekali. Sialan. Apa dia tidak punya niat untuk meminta maaf padaku?
"Hei Gabrian! Apa kau tidak merasa bersalah?"
Aku berteriak begitu Gabrian dengan sengaja menutup pintu lift padahal jelas-jelas aku masih belum masuk. Gabrian cukup terkejut dengan keberanianku mengingat kami tidak hanya berdua saja sekarang. Melihat situasi yang tidak menguntungkan untuknya, Gabrian meminta pegawainya untuk menggunakan lift yang lain.
Aku menutup muka dengan malu saat beberapa pegawai menatapku dengan tatapan benci, marah, kesal, dan banyak lagi pandangan-pandangan yang tidak mengenakkan. Setelah hanya berdua, Gabrian menarikku masuk ke dalam lift.
"Kau mau merusak reputasiku hah?"
"Sorry. Aku tidak bermaksud seperti itu."
Gabrian melepaskan pergelangan tanganku dengan kasar. Aku ingin marah, tapi mengingat kesalahan yang sudah kuperbuat, aku jadi tidak punya nyali.
"Dengarkan aku baik-baik Raya! Disini kau adalah bawahanku terlepas dari kebebasanmu untuk memanggilku dengan sebutan apa saja. Tapi tolong jangan melewati batasan itu di depan pegawai lainnya."
"Maaf."
"Bagus. Kuanggap maafmu itu adalah bentuk penyesalanmu."
Aku hanya mengangguk dengan malu. Setelah sampai di lantai yang dia tuju Gabrian keluar dari lift dan meninggalkanku sendiri. Aku baru ingat bahwa aku sedang menagih maaf darinya. Sialan. Kenapa malah aku yang meminta maaf?
"Gabrian berengsek."
Agh. Aku menendang pintu lift dengan kesal. Gabrian sialan. Tunggu saja. Aku tidak akan membantunya jika Nabilah datang lagi. Begitu sampai di ruanganku, aku menyapa Bima dan kak Vino dengan wajah yang masih terlihat kesal. Bima yang memang sedikit kepo dan suka mencampuri urusan orang langsung menghampiriku dengan antusias.
"Raya ku dengar kau bertengkar dengan pak Gabrian, apa benar?"
Waw mulut manusia memang sangat menakutkan. Aku tidak menyangka Bima yang sudah lebih dulu datang dariku bisa mendapatkan informasi secepat itu.
"Aku hanya lupa meletakan kata 'pak' di awal nama pak Gabrian. Semua orang langsung menatapku horor dan pak Gabrian menganggap bahwa itu adalah usahaku untuk merusak reputasinya."
Bima manggut-manggut seolah mengerti dengan keluh kesahku.
"Tapi apa benar kau tidak punya hubungan khusus dengan pak Gabrian? Kudengar kalian sering jalan bersama."
Gosip apa ini? Kapan kami pernah jalan bersama? Kecuali kemarin tentunya. Kemarin aku terpaksa meminta bantuan Gabrian karna harus menemui Arron.
"Sudahlah Bim. Lagi pula kalaupun pak Gabrian dan Raya ada hubungan apa-apa, itu bukan urusan kita. Disini kita hanya perlu bekerja dan tidak ikut campur masalah orang."
Kak Vino yang sejak tadi diam langsung membelaku begitu tau pertanyaan Bima cukup mengusik masalah pribadiku.
"Sebenarnya tidak masalah kak. Lagi pula aku dan pak Gabrian tidak pernah jalan bersama, rasanya aneh kalau ada berita kami sering terlihat bersama."
"Sudah jangan di pusingkan. Kalau sudah datang ke kantor yang harus kau pusingkan adalah masalah pekerjaan, bukan hal-hal lainnya."
Kak Vino menatap kami berdua bergantian. Aku langsung tersenyum senang karna mendapat tatapan manis dari kak Vino.
Ku dengar minggu depan Alya akan melangsungkan pesta pernikahanya. Entah bagaimana kak Vino masih bisa bersikap santai seperti itu sementara orang yang begitu dia cintai akan segera menikah. Mungkin dia sengaja menyembunyikan lukanya demi profesionalisme dalam bekerja. Atau dia memang sengaja bekerja keras agar bisa melupakan luka hatinya. Tak ada yang tau, bahkan meskipun aku ingin tau, kak Vino tidak akan pernah mengatakanya.
***
Pukul 16.10 WIB aku berencana untuk segera meninggalkan kantor. Saat sampai di pintu keluar ponselku berbunyi. Tante Anggun, ibunya Arron menelpon. Ada apa? Tidak biasanya beliau menghubungiku lewat telpon.
"Iya tante ada apa?"
...
"Raya juga bingung tante. Kemarin sore kami memang sempat ketemu. Tapi sejak kemarin Arron tidak bisa dihubungi. Memangnya ada apa tante?"
...
"Tidak pulang dari kemarin? Apa tante sudah menghubungi Grisella?"
...
"Aku akan menghubungi tante secepatnya jika Arron menghubungiku."
...
"Iya. Baik tante."
Perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak. Kemana Arron? Tepat setelah nama Grisella muncul di ingatanku, Gabrian kakaknya malah muncul di hadapanku.
"Aku sedang tidak ingin ribut Gab. Lagipula kumohon jangan terlalu sering menghampiriku di kantor. Orang-orang jadi makin salah paham terhadap hubungan kita."
"Aku juga sedang tidak ingin ribut denganmu Raya. Tapi kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu."
"Nabilah lagi?"
Gabrian hanya tersenyum kikuk pertanda bahwa tebakanku tidak meleset.
"Jangan jadi orang bodoh Gabrian. Jika kau masih menyukainya maka kau tidak perlu memainkan sandiwara ini dan segeralah nyatakan perasaanmu padanya."
"Aku tidak ingin secepat itu Raya. Aku tidak ingin dia menjadikanku pelampiasan karna baru saja di selingkuhi oleh pacarnya. Aku ingin dia yang benar-benar tulus menyukaiku, bukan dia yang datang padaku setelah dicampakkan oleh orang lain."
Wah ternyata kisah cinta Gabrian tidak sesederhana yang kupikirkan. Tapi aku tidak yakin Nabilah ingin kembali pada Gabrian karna dicampakan oleh pacarnya. Hari itu aku melihat dengan jelas pancaran rindu dan penyesalan yang nyata dari tatapan mata Nabilah.
"Baiklah seperti biasa aku akan membantumu. Lupakan masalah Nabilah, apa kau tau keberadaan Arron saat ini? Ah apa semalam Grisella pulang ke rumah?"
Gabrian menatapku dengan heran sambil menggeleng.
"Aku tidak tau karna aku memang tidak tinggal satu rumah dengan mereka. Tunggu sebentar aku akan cari tau ke rumah."
Tak berapa lama Gabrian menelpon ke rumahnya dan langsung menanyakan keberadaan Grisella. Setelah tau jawabanya, dia langsung memutuskan sambungan telpon.
"Grisella semalam pulang ke rumah Raya dan sejak tadi pagi tidak kemana-mana. Kalau kau mau menemuinya aku akan mengantarmu kesana. Bukankah semalam kau mencari Grisella?"
Aku langsung menggeleng begitu mengingat kejadian semalam. Sumpah aku kapok naik mobil bersama Gabrian. Bisa-bisa aku ditinggalkan di jalan lagi.
"Lain kali saja. Hari ini aku benar-benar lelah dan ingin pulang ke rumah. Kau pulanglah aku akan naik taksi."
"Oke."
Gabrian hanya menjawab singkat dan langsung meninggalkanku. Dia bahkan tidak menawarkan tumpangan. Dasar Gabrian sialan. Eh jadi tadi dia mau minta tolong apa? Ah sudahlah nanti juga tau.
***
Dengan malas aku berjalan menuju apartemenku. Apartement yang jauh dari kata mewah. Tapi bisa dikatakan lumayan untuk orang-orang golongan ekonomi menengah seperti ayahku. Bisa memiliki satu unit apartement seperti ini di Jakarta bagi kami sudah sangat wah.
Sesampainya di depan pintu apartement, mataku menangkap sosok seseorang yang sangat familiar sedang berdiri di depan pintu apartementku dengan gelisah.
"Arron?"
Arron langsung menoleh ke arahku begitu aku memanggilnya. Dengan tergesa segera kuhampiri laki-laki itu. Wajahnya kusut, matanya merah, rambutnya acak-acakan terlebih lagi dia masih menggunakan baju yang kemarin dia kenakan. Sesaat dapat kucium aroma alkohol dari bajunya meskipun sudah tidak menyengat lagi. Apa semalam dia mabuk?
Arron langsung membawaku ke dalam pelukanya begitu jarak diantara kami tidak bersisa lagi. Aku ingin menolak dan melepaskan pelukan Arron. Tapi mendengar isak tangisnya aku jadi tak tega dan membiarkan laki-laki itu memelukku. Ada apa? Arron tidak pernah selemah ini sebelumnya.
"Raya apa yang harus kulakukan? Aku menyukaimu Raya, aku menyukaimu."
Arron semakin mempererat pelukanya dan menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. Air mataku jatuh melihat Arron berada di titik terendahnya saat ini. Ku tepuk-tepuk punggungnya untuk memberikan ketenangan pada laki-laki itu. Dengan terbata Arron mengucapkan kata-kata yang langsung membuat lututku lemas.
"Grisella hamil Raya. Di dia hamil anakku."
Deg. Duniaku seolah berhenti berputar saat mendengar suara Arron yang lirih dan sarat akan penyesalan. Grisella hamil? Hamil anak Arron? Bagaimana bisa?
To be continue...