Part 5 - Harusnya Dinner

1831 Words
Sudah lebih dari 2 jam Laura memantengi layar handphone. Merefresh kotak masuk dalam email sekitar semenit sekali. Dara cantik itu tengah menunggu dan berharap akan pesan masuk pengumuman pemenang dinner bersama Naren. Yang katanya akan di umumkan hari ini pukul 9 siang. Namun, sekarang sudah jam 10.30 dan Laura belum menemukan email masuk itu. "Yah, masa beneran gak dapet?" Laura menghela nafas pasrah. Harapan yang tadinya tinggi, seketika pupus. Terhempas begitu saja. Dengan asal, mematikan layar ponsel dan berguling di atas tempat tidur. Meratapi nasib yang gagal dinner bersama sang idola. "Padahal pengin banget dinner sama Naren." "Huft." Kakinya menendang-nendang semua yang ada di atas ranjang. Melampiaskan rasa kekecewaan. Ting "Ah jangan-jangan itu email dari panitia kemarin." Dengan segera, Laura meraih ponselnya. "Yah indos*t." Laura melempar ponselnya asal. Ia kira pesan masuk yang ditunggu. Ternyata hanya operator yang mengabarkan bahwa kartunya akan memasuki masa tenggang 3 hari lagi. Rasanya Laura ingin memaki pihak operator yang mengirim pesan tidak tahu waktu itu. Tapi sayang, Ia tidak bisa. Ting Ponsel kembali berbunyi. Karena rasa penasaran dan harapan yang tinggi, akhirnya ponsel yang tadi di lempar di ambilnya lagi. "Ih ngeselin banget. Sekarang yang masuk info gratis ongkir." "Kesel kesel kesel. Gue silent aja ah. Berisik." Laura kembali merebahkan tubuhnya. Setelah merubah pengaturan nada dering ponsel menjadi diam. Berbaring sambil menatap langit-langit kamar yang di beri stiker bintang. Menerawang bila dirinya yang mendapat kesempatan dinner dengan Naren, nanti apa yang akan terjadi. Mungkin akan menyenangkan. Atau sebaliknya, Laura mungkin akan melakukan hal bodoh dan mempermalukan diri. Laura begitu mengidolakan aktor berusia pertengahan 20 tahun itu. Sejak awal kemunculan Naren di televisi, Laura langsung mengikrar bahwa Naren merupakan aktor idolanya. Aktor idola satu-satunya. Naren begitu mempesona. Ditambah bakat-bakatnya yang luar biasa. "Dek, makan dulu. Udah siang." Suara Kevin memutus lamunan Laura. "Hah?" Laura yang tak mendengar bertanya. "Makan dulu. Udah siang Adek..." Kevin mengulangnya dengan sedikit kesal. Laura mengalihkan tatapan pada jam dinding. Ternyata sudah jam 12 siang. Dan berarti dirinya menghabiskan satu jam setengah untuk berkhayal. "Ah iya Bang Ke." Laura beranjak. Berjalan di belakang Kevin dengan malas. Rasanya masih kecewa. Huft. Mungkin emang ini bukan takdirnya saja. "Lemes banget Dek," Lilina menegur. Bingung melihat Laura yang biasanya selalu bersemangat berubah menjadi lemas. "Aku gak menangin dinnernya Ma," jawab Laura pelan. Bibirnya melengkung sedih. "Hah? Bwuahahahaha," tawa Kevin berderai keras. Laura yang tidak terima ditertawakan menghampiri Lilina dan mengadu. "Mama. Liat Abang." "Hahahaha." Kevin tak berhenti tertawa meski sudah diberi pelototan David. Mata Laura sudah berkaca-kaca. Suasana hatinya sedang tidak baik saat ini. Ditambah dengan datang bulan. Dan Kevin malah membuat ia kesal. Rasanya ingin menangis dan berteriak kencang untuk melampiaskan. "Abang. Udah." Lilina turun tangan menegur Kevin. Menjewer telinga Kevin agar anak keduanya itu berhenti tertawa. "Aduh aduh Ma. Sakit..." Kevin meringis merasakan sakit. Laura yang tadinya akan menangis malah tersenyum mengejek ke arah Kevin. Memeletkan lidahnya meledek. "Berdosa banget Mama jewer Kevin yang ganteng ini. Nanti kalo gak ganteng lagi gimana? Kalo gak ada yang suka lagi gimana? Hayo gimana? Gima aduh. Sakit Ma. Iya Ma. Ampun." Kevin yang belum selesai berbicara melantur kembali di hadiahi jeweran oleh Lilina. "Makanya diem. Gak usah ngelantur kalo ngomong." Lilina melepas tangannya dari telinga Kevin yang sudah memerah. Kevin mencebik. Mengambil handphone dalam saku dan bercemin menggunakan kamera depan. "Tuh kan merah. Gak ganteng lagi deh gue," ucapan Kevin dianggap angin lalu. Deon, Lilina, David dan Laura sibuk memulai makan siang mereka. Diiringi gerutuan kecil dari Kevin yang tak usai-usai. "Dek, habis makan mau ke mall gak? Ada kedai ice cream baru buka loh." David membuka suara. Laura mengangguk semangat. Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Mungkin pikirannya akan sedikit teralihkan nanti. David tersenyum. Mengajak Laura bukan semata untuk mengunjungi kedai yang baru buka itu. Tetapi menghilangkan kesedihan Laura yang ternyata tak mendapatkan kesempatan dinner dengan Naren. David begitu mengerti perasaan Laura. Setelah selesai makan dan bersiap, David dan Laura mulai jalan menuju mall tujuan. David berkali-kali membuka obrolan. Menghindari Laura untuk diam dan merenung. Rencana awal untuk ke kedai ice cream berakhir di game zone mall. Kedai yang baru buka itu begitu ramai pengunjung. Jelas saja. Banyak yang ingin mencoba. Ditambah pemilik kedai memberi potongan harga 50% khusus opening hari ini. 2 jam bermain, Laura meminta pulang. Tubuhnya sudah lelah mencoba hampir seluruh permainan yang ada. Pukul 4 kurang 5 menit mereka tiba di rumah. Laura langsung memasuki kamar dan merebahkan tubuh. Laura merasa ada yang kurang. Tapi entah apa itu. "Apa ya." Setelah berfikir keras, akhirnya ia teringat. "Ya ampun handphone. Gue gak pegang HP dari tadi. Pantesan aja rasanya ada yang kurang." Diraihnya ponsel yang tak jauh dari tempatnya berbaring. Mengecek apa ada pesan masuk penting atau bahkan panggilan tak terjawab. Satu per satu notifikasi dari bagian atas ponsel di lihat. Menyortir barangkali ada yang penting. Email masuk dari panitia meet and greet kemarin? Ah, Laura sudah tidak mengharapkannya. "A..." Mata Laura membola, dan refleks berteriak kala melihat pop up pesan masuk email dengan nama pengirim panitia_mngarion@g*******m. Dengan terburu, di klik. Dear Laura Deona Terimakasih telah datang di acara meet and greet Arion Narendra. Kami, panitia ingin menyampaikan bahwa Anda terpilih menjadi pemenang dinner bersama Naren nanti malam di restoran milik Naren. Ditunggu kehadirannya pukul 19.00. Saat masuk, perlihatkan saja pesan ini kepada waiter. Terimakasih. andia "Ya ampun ya ampun. Mimpi apa gue. Aduh. Deg-deg an banget. Kasih tau orang rumah. Iya, kasih tau." Laura dengan semangat bergegas menyampaikan berita baik ini. Rasa lelah yang tadi bersarang, menguap begitu saja. "Mama... Papa... Bang Kepin... Bang David..." Laura mengabsen penghuni rumah dengan berteriak. Kedua orangtuanya yang sedang bersantai di taman belakang menyahut saat Laura berteriak entah yang kesekiam kalinya di pintu dapur. "Ada apa Dek?" Lilina berseru khawatir. "Mama..." Laura menghambur dalam pelukan Lilina. Memeluk erat dengan senyum lebar yang terpatri. Bertolak belakang dengan saat makan siang. "Ada apa sih? Buat Mama takut aja kamu." "Mama... Adek ternyata menangin dinner sama Naren." Laura melompat-lompat bahagia. "Ya ampun. Kirain ada apa." Deon menghela nafas. "Hehe... Adek seneng banget tadi. Jadi teriak-teriak." "Aduh, udah jam setengah 5. Adek mau mandi ah. Mau siap-siap. Bye Mama Papa." Laura melenggang memasuki rumah. Deon dan Lilina hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah ajaib putri tunggal mereka. Di dalam kamar mandi, Laura bersenandung lirih. Rasa bahagianya begitu membuncah. Mimpinya untuk dinner dengan Naren sudah di depan mata. Semoga saja semua berjalan lancar. Di hadapan cermin, Laura memutar tubuhnya. Memastikan jika semua sudah tertata dengan rapi dan pas. Dress dan flatshoes menjadi pilihan. Kedua barang yang di beli emang khusus dinner dengan Naren. Rencananya, akan berangkat dari rumah 30 menit sebelum waktu yang ditentukan. Laura tak ingin terlambat. Itu akan sangat memalukan. "Lah Dek, mau kemana?" Tanya Kevin heran begitu Laura melewati kamarnya yang kebetulan tidak tertutup. "Mau dinner sama Naren dong." Laura melengos dan melanjutkan jalan. "Hah? Dek yang bener mau kemana?" Kevin berteriak. Berlari mengejar Laura yang sudab di tengah anak tangga. "Ih. Bener lah. Emang Adek Bang Kepin apa, yang suka nge halu." "Heh heh tungguin gue Dek." Kevin bergegas kembali ke kamar. Mengganti pakaian dengan yang lebih layak. "Kok bisa sih? Bukannya gak menang ya?" Tanya Kevin begitu tiba di ruang keluarga. "Ya bisalah. Laura gitu." Laura mengibaskan rambut panjang yang di gerai itu. "Aduh kena mata gue." Kevin memekik kaget saat merasakan perih pada matanya. "Buruan kalo mau ikut." "Pergi dulu ya Ma, Pa, Bang Dav," pamit Laura. "Heh tunggu. Dasar Adek durhaka." Sungut Kevin. Perjalanan menuju restoran baru milik Naren tak begitu jauh. Hanya menghabiskan sekitar 25 menit saja. Yang artinya, masih sisa 5 menit dari janji temu. "Bang. Lu beda meja ya. Awas aja. Jangan ngerusuh. Jangan aneh-aneh. Kalo aneh, Adek marah 1 minggu sama Abang." "Iya. Bawel Lu Dek." Laura di antar pelayan restoran di tempat yang sudah disediakan. Agak ke pojok. Katanya agar lebih privasi. Dan Kevin memilih duduk jarak dua meja dengan adiknya. Untung saja masih tersisa lumayan banyak meja yang kosong. Tak lama, pria dengan kaos dilapisi jaket jeans mendekat. Mendudukan diri di hadapan Laura tanpa menyapa. Laura yang tengah asik meng scroll ponselnya mendongak begitu mendengar derit kursi di tarik. Ternyata Naren sudah tiba. Jantung Laura yang sedari tadi berdetak tak menentu makin menggila. Idolanya ada di depan mata. Duduk hanya terpisahkan sebuah meja yang tak terlalu besar. "Hai Laura," sapa Naren mengulurkan tangannya. Laura bingung. Kenapa Naren tahu namanya. Ah, mungkin diberi tahu panitia. Iya, pasti diberi tahu. "Ah, hai Kak Naren." Laura membalas jabatan tangan Naren. Wajahnya bersemu merah. Senyum malu tersungging dari bibirnya. Tak jauh dari sana, Kevin mendecih melihat Laura yang biasanya bar-bar bisa bersikap manis. "Aduh, mana mules lagi. Ke toilet dulu ah." Kevin tak dapat menahan rasa sakit pada perutnya. Meninggalkan meja menuju toilet terdekat. Bermaksud menuntaskan urusan urgent nya. "Eh Kak Arion." Laura buru-buru meralat. "Gak papa kok panggil Naren." Naren tersenyum. "Mm... udah pesen?" Tanya Naren. "Belum Kak. Nunggu Kakak pesennya." Laura menunduk. Tak berani menatap iris sang lawan bicara. Di pangkuan, tangan Laura saling meremat gugup. "Yau..." Drrtt Ucapan Naren terputus oleh suara ponsel pria itu sendiri. Panggilan masuk. "Sebentar ya," ucapnya pada Laura. Dan mengangkat panggilan. "Halo, iya Yah." "...." "Hah? Kok bisa?" "...." "Aku kesana sekarang." "...." "Gak papa Yah. Pasti bisa ngertiin kok." "...." "Iya." Nada suara Naren terdengar panik. Entah apa yang dikatakan orang di balik telpon itu. Tapi, sepertinya itu dari Ayah Naren. "Aduh. Kayanya gak bisa dinner. Maaf yah. Ibu saya tiba-tiba pingsan. Aduh gimana. Yaudah kamu ikut saya saja ya." Naren terlihat bingung. "Ah, tidak perlu Kak. Saya bisa pulang saja." Laura menolak. Walau tak menampik rasa kecewa yang bergelayut. "Kamu ikut saya saja. Setelah memastikan Ibu baik-baik saja, baru nanti kita dinner." Naren yang merasa tak enak membatalkan acara secara sepihak memberi masukan. Setelah menimbang, Laura menganggukkan kepala setuju. Tak kuasa menolak saat wajah Naren sudah memelas. "Ayo." Laura mengikuti langkah Naren. Melupakan keberadaan seseorang yang datang bersamanya. "Maaf yah. Jadi kaya gini. Tadi orang tua saya lagi ada acara di hotel mentari. Tapi pas mau pulang, Ibu malah pingsan. Karena kaget, bukannya Ayah bawa ke rumah sakit malah pesen kamar hotel buat Ibu baringan dan baru manggil dokter." Naren menjelaskan secara singkat apa yang sedang terjadi. "Ah begitu." Laura hanya menanggapi seadanya. Bingung harus berucap bagaimana. "Aduh, Bang Kevin." Teringat akan Kevin, dengan segera mengirim pesan singkat. "Ada apa?" "Ah itu, tadi saya ke restoran bersama abang saya. Dan lupa tidak mengabari kalo saya sudah keluar restoran." Naren hanya mengangguk. "Mm... apa boleh menggunakan bahasa informal saja? Ah maksud saya, agar tidak terlalu kaku." Naren berpendapat. "Baik Kak." Perjalanan tak menghabiskan waktu yang lama. Akhirnya tiba di tempat parkir hotel bintang 5 tersebut. "Ayo." Laura tersentak kaget, saat merasakan jemari hangat Naren menggenggam tangannya. Rasanya seperti sengatan listrik yang begitu menyiksa. Memaksa jantung bekerja 2 kali lebih cepat. Memasuki lobby hotel dan berjalan menuju kamar yang menjadi tempat Ibu Naren beristirahat. Naren dan Laura terus berjalan dengan tangan tertaut. Mengabaikan keadaan sekitar. Mengabaikan orang berlalu lalang yang melirik penuh minat. Mengabaikan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin akan datang tak lama lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD