Perempuan Yang Malang

1278 Words
Setibanya di rumah sakit, nyonya Susan melangkah lebih cepat daripada Bunga. Anak menantunya itu, tampak terus menunduk dan tidak mencela atas apa pun kata-kata yang keluar dari mulut ibu mertuanya. Setibanya di depan ruang IGD, keduanya diminta untuk masuk karena ada hal penting yang harus dibicarakan. Saat itu, nyonya Susan mendorong dadaa Bunga agar ia terus menjaga jarak. "Saya mamanya Lucky, Dok," ucap perempuan terawat itu, sambil mengambil alih kedua tempat duduk. Dan yang satunya, diletakkan tas mahal bermerk miliknya. "Saya istrinya, Dokter," kata Bunga yang terus saja berdiri di belakang ibu mertuanya. Pemandangan yang menyedihkan. Sebab, tampak sekali kebencian di dalam tatapan mata nyonya Susan untuk Bunga, menantunya. "Pasien harus segera dioperasi karena tulang leher, punggung, dan ekornya patah," jelas dokter singkat karena tidak ingin lagi menunda waktu. "Silakan tanda tangani suratnya!" Dokter menyerahkan pulpen ke hadapan nyonya Susan. "Apa?" Nyonya Susan tampak syok karena melihat keterangan yang menyebutkan bahwa kemungkinan operasi ini tidak cukup hanya dilakukan satu kali. Sebab, cidera yang diderita oleh pasien digolongkan ke dalam kelompok sangat berat. Perempuan bermake up tebal itu berdiri tegak. Ia terlihat begitu marah dan tidak memperdulikan segalanya. Tiba-tiba saja, ia berbelok arah dan menatap Bunga sangat tajam. "Ikut!" ujarnya dengan nada membentak dan amarah yang hebat. "Ini semua gara-gara kamu. Perempuan sialan dan tidak punya etika, tidak tahu diri, dan harus disisihkan dari keluarga saya! Secepat mungkin," omelnya seraya menyeret tangan kanan Bunga. Air mata perempuan cantik itu runtuh sejadi-jadinya. Seperti hujan deras yang basah menjatuhi bumi. Saat ini, Bunga sama sekali tidak tahu harus mengatakan apa. Yang ia mau, suaminya selamat dan satu-satunya yang dapat membantu adalah mama Susan. Bukan tanpa alasan, sejak menikah dengan Bunga. Seluruh harta kekayaan yang sudah dilimpahkan untuk Lucky diambil kembali oleh mamanya. Selain itu, biaya keperluan rumah tangga dan kehidupan sehari-hari dibebankan kepada anak semata wayangnya tersebut. Sementara, biaya operasi yang tertera pada kertas di atas meja di dalam ruang IGD, tidak memperlihatkan angka yang sedikit. Belum lagi ditambah biaya perawatan dan pengulangan proses operasi karena tidak cukup hanya dilakukan satu kali. Setibanya di luar ruang IGD, Susan mendorong tubuh Bunga hingga ke sisi dinding berwarna putih. "Kamu lihat apa yang sudah kamu lakukan terhadap putra saya? Dasar perempuan sialan. Kamu memang pembawa petaka!" teriaknya seperti orang kesurupan. "Apa untungnya memiliki kamu di dalam keluarga saya? Bahkan hingga sampai detik ini, kamu tidak mampu memberikan anak saya keturunan. Sekarang, kamu tinggal pilih! Tetap di sini dan melihat Lucky mati perlahan atau pergi dari kehidupan putra saya untuk selama-lamanya." Petir terasa begitu dekat dengan wajahnya. Dunia ini seolah berguncang dan air laut menggulung untuk menenggelamkan seluruh tubuhnya. Tanpa terasa, tubuh mungil itu bergetar hebat. Bunga terdiam dengan matanya yang terbuka lebar. 'Apa untungnya memiliki kamu di dalam keluarga saya? Bahkan hingga sampai detik ini, kamu tidak mampu memberikan anak saya keturunan. Sekarang, kamu tinggal pilih! Tetap di sini dan melihat Lucky mati perlahan atau pergi dari kehidupan putra saya untuk selama-lamanya.' "Pergi kamu dari sini!" pekik nyonya Susan tanpa ampun. Wajah Bunga sedikit terangkat dengan mata yang membulat penuh binar ketakutan. Ia tidak menyangka bahwa ibu mertuanya akan mengatakan hal demikian kepadanya. Apalagi dalam kondisi genting seperti saat sekarang ini "Dengar anak pembantu! Jika kamu memilih poin kedua, maka saya akan membawa Lucky berobat kemana saja, dan menghabiskan berapa pun, asalkan ia bisa selamat," sambung perempuan itu benar-benar terlihat geram. Bahkan ketika berbicara, bibirnya tampak menipis seperti mata pisau silet yang begitu tajam. "Bunga mohon, Ma. Jangan pisahin Bunga dengan Lucky! Bunga siap menjadi apa pun untuknya. Bunga akan mengabdi." Bunga melipat kedua tangan di depan dadaa dengan tubuh yang membungkuk dan terus memohon. "Saya sangat mencintai Lucky, Ma. Lebih dari diri saya sendiri." "Kalau begitu, kamu pergi dari kehidupan putra saya!" perintahnya sambil menunjuk jauh ke depan. "Buktikan kepada saya! Kalau kamu benar-benar mencintai dirinya." "Tapi, Ma. Bukan begitu caranya," tolak Bunga yang masih berusaha untuk bertahan. "Lalu apa? Membiarkan Lucky mati?" "Ma ... ," gumam Bunga dengan bibir yang bergetar hebat dan mata yang terus saja basah. "Operasi ini akan berjalan, jika kamu menyetujui perjanjian yang kita buat," kata nyonya Susan sambil mendorong dadaa Bunga, sekali lagi. "Maaf nyonya, pasien harus segera dibawa ke ruang operasi! Jika tidak, maka beliau akan tiada," ucap seorang perawat yang muncul secara tiba-tiba dan memecah pertengkaran yang hanya diciptakan oleh nyonya Susan. Bunga menutup mulut dengan tangan dan menggelengkan kepalanya perlahan. Ia tidak tahu harus melakukan apa, kecuali menerima syarat yang ibu mertuanya ungkapkan beberapa saat yang lalu. Bunga menghela napas panjang dan mengatur napasnya. "Ma, Bunga akan melakukan semua yang mama mau," ucapnya dengan suara serak dan kacau. "Seharusnya kamu melakukan hal seperti ini sejak dulu, sejak awal!" timpal nyonya besar tersebut dengan mata yang terbuka lebar. Nyonya Susan membuka tas bermerek miliknya dan mengeluarkan selembar kertas bersama pulpen berwarna hitam. Lalu ia memberikannya kepada Bunga dengan kasar. Kemudian, nyonya Susan memerintahkan perempuan berwajah bidadari tersebut, untuk menuliskan kata-kata bahwa dirinya meninggalkan Lucky karena tidak sanggup mengurus laki-laki cacat seperti dirinya. "Tidak, Ma. Jangan lakukan ini kepada Bunga!" tolaknya sembari meminta karena memang kalimat itu terlalu tajam dan Bunga tidak mungkin mengatakan hal seperti itu untuk melukai hati suami yang sudah begitu baik dan selalu memperlakukan dirinya dengan penuh kasih sayang selama ini. "Terserah kamu saja jika tidak mau. Sebab, bukan hanya saya. Tetapi kamu juga akan merasakan kehilangan orang yang begitu berharga," tunjuknya pada dadaa kiri Bunga yang sudah semakin lemah. Bunga tertekan dan tidak mampu berpikir dengan baik. Lalu dengan cepat ia menuliskan kata-kata sesuai dengan keinginan ibu mertuanya tersebut. Sembari menghiasi kertas putih dengan titik air matanya yang suci, Bunga memohon maaf kepada Lucky di dalam hatinya. 'Aku sangat mencintai kamu, Lucky. Maafkan aku!' "Ini, Ma," ucap anak menantunya tersebut sembari menyerahkan selembar kertas yang tampak kusut beserta pulpennya. "Sekarang, kamu pergi dari kota ini dan jangan pernah kembali! Bawa semua barang-barangmu yang murahan itu dan jangan sampai ada yang tertinggal! Saya tidak sudi melihat semua yang berhubungan dengan kamu," perintah Nyonya Susan dengan wajah bengis dan terus membentak. "Apa lagi yang kamu tunggu? Pergi dari sini!!" bentak nyonya Susan, seraya mendorong. Tanpa dapat bertemu kembali dengan suaminya, Bunga menunduk sembari melangkah lamban menuju kediaman yang tampak besar dan mewah tersebut. Di dalam hati ia berdoa agar Tuhan memberikan kesembuhan dan cinta pengganti untuk Lucky. Bunga tidak ingin, laki-laki kesayangannya itu hidup menderita tanpa dirinya. Mungkin, memang lebih baik jika Lucky membenci dirinya, lalu melupakan, dan menikah dengan perempuan lain. Daripada ia terus mencintai, sementara mereka tidak bisa bersama. Dengan berat hati, Bunga meninggalkan segala kehidupan pernikahan yang membahagiakan, meskipun dikutuk oleh ibu mertuanya. Kini, satu-satunya tempat untuk pulang bagi perempuan cantik tersebut adalah sang ibu, yang baru hari ini kembali ke kediaman sederhana milik mereka di pinggir kota. Tanpa meninggalkan pesan kepada siapa pun, ia melangkah pergi meninggalkan segalanya untuk kembali ke pangkuan ibu. Saat ini, Bunga hanya dapat berharap agar ia mendapatkan kehidupan lain dan berbahagia. "Papa ... ." Bunga memanggil tuan Sanur dalam hati sembari meremas baju yang ia kenakan. Rasanya ingin sekali menjenguk ayah mertuanya tersebut, hanya untuk memohon maaf karena ia tidak dapat memenuhi janjinya sesaat setelah pernikahan berlangsung. Namun, bagaimana mungkin Bunga bisa menemui tuan Sanur yang posisinya berada di rumah sakit yang sama dengan Lucky. Sebab, nyonya Susan pasti akan marah besar dan mengambil resiko untuk semakin menyakiti Bunga lebih dalam lagi. Lewat tengah malam, Bunga tiba di kediaman ibunya. Namun, nasib buruk kembali menyapa. Ternyata sang ibu sudah tiada dalam posisi terbaring di dalam kamar, sembari memeluk foto almarhum ayahnya. "Ibu!" pekik Bunga dalam ratap yang terdengar begitu menyakitkan. Bahkan ia tidak mampu lagi berpikir dan menggerakkan tubuh karena baru mendapatkan dua tragedi buruk yang menghancurkan hidupnya dalam waktu yang bersamaan. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD