Keesokan harinya, para tetangga turut membantu Bunga dan anak-anaknya untuk berbenah, serta memperbaiki rumah mereka. Meskipun hanya di timpal dengan papan dan kayu, tetapi semuanya terlihat cukup membantu.
Apalagi semua orang bekerja sama, dan itulah poin penting bagi Bunga. Sebab, ia merasa memiliki banyak dukungan, serta perhatian dari masyarakat sekitar. Bagi Bunga, semua ini lebih dari cukup.
"Mama!"
"Iya, Sayang?"
"Mulai besok kan libur."
"Iya."
"Mama juga masih sakit."
"Apa yang ingin kamu katakan, Luka?"
"Luka sudah ke tempatnya kong Acan." Luka menghentikan ucapannya, dan meremas kedua tangannya. "Luka mau bantu-bantu di sana, Ma. Dari pada hanya main saja seharian."
"Kamu tidak perlu melakukannya, Luka! Semua ini adalah tanggung jawab Mama."
"Luka ikhlas kok, Ma. Lagian, Luka kan anak laki-laki di rumah ini. Menurut ustadz, Luka punya kewajiban untuk banyak hal."
"Kamu benar, Sayang. Pak Ustadz juga tidak salah," kata Bunga sambil duduk dan terus memperhatikan lentera hidupnya itu. "Tapi, bukan sekarang waktunya."
"Hmmm."
"Biar Mama yang melakukannya. Tugas kamu adalah belajar, dan Mama ingin kamu menjadi anak yang sukses. Jadilah anak yang membanggakan, serta berguna bagi bangsa, dan negara! Jadi, belajarlah yang benar!"
'Kamu anak yang baik, dan hebat, Sayang. Tapi, Mama tidak mau lagi membebani hidupmu dengan yang lainnya.' Kata Bunga di dalam hatinya.
"Tapi Luka suka kok, Ma." Luka masih berusaha untuk meyakinkan Bunga. "Lagipula, sebelum bisa berguna bagi bangsa, dan negara. Luka ingin berguna untuk Mama, dan Luke."
Bunga tertunduk dalam rasa syukur. Sebab, putranya sangat pandai membuatnya bahagia. "Baiklah."
"Alhamdulillah."
"Tapi janji!"
"Apa, Ma?"
"Jangan terlalu lelah, dan harus mengutamakan belajar!"
"Luka mengerti, Ma," sahutnya penuh semangat. "Kalau gitu, Luka beresin depan dulu ya, Ma?"
Bunga mengangguk, sambil menggigit bibir bawahnya. Ia tidak mampu untuk berkata apa-apa lagi. Semua karena, di dalam ratapan hidupnya, ia juga menyadari bahwa Allah memberikannya harta yang paling berharga.
"Kak!"
"Kenapa, Ke?"
"Buku pelajaran kita ... ."
"Di mana?"
"Di bawah lemari kaca. Thu!" tunjuknya sambil terus mengintip.
Luka menunduk untuk melihat, apa yang adiknya lihat. "Sepertinya masih utuh."
Luke mengangguk. "Iya, Kak. Tapi, gimana kita bisa ke sana?"
"Kakak akan coba."
"Tapi, berbahaya. Gimana kalau kita tunggu bapak-bapak yang lainnya? Saat mereka mengangkat puing bagian sini, baru kita ambil?"
"Bagus juga idenya. Kan lebih aman."
"Sip, Kak."
"Kalau gitu, kita beresin daerah sini dulu. Ya, sambil nunggu bantuan."
"Baiklah, setuju." Luke mengangkat ibu jari tangan kanannya, sembari tersenyum.
Ketika keduanya tengah sibuk membereskan rumah, demi membantu sang mama. Terdengar suara seru sejak di ujung gapura. Si kembar tahu itu suara siapa, dan berjanji untuk tidak membuat masalah dengan si tukang onar.
Setelah sepuluh menit. "Ayo-ayo, lempar bolanya ke sini!"
Anak-anak di sekitar rumah Luka dan Luke tengah asik bermain bola sepak. Mereka tampak tidak perduli dengan keduanya. Sementara, si kembar masih sibuk membantu mamanya untuk memungut puing-puing rumah mereka.
Tak lama, bola yang tampak baru itu, mengenai kaki Luka. Ia pun hanya menatap tanpa menyentuh. Sebab, Luka memang sejak lama selalu dihina oleh Anton jika memegang barang-barang miliknya.
"Hei, kamu! Bawa bolanya kemari! Dan ingat, jangan disentuh dengan kulitmu!" perintah Anton yang merupakan anak kepala desa nan angkuh, karena merupakan keluarga terkaya di desa mereka. "Itu adalah hadiah karena nilaiku tidak ada yang merah. Jadi, ambil dengan bajumu! Agar tidak mengokotori bolaku," bentaknya tanpa henti.
"Ambil sendiri aja!" tukas Luke sambil berdiri tegak, dan menantang bocah bertubuh gempal tersebut.
"Ke!" Luka berusaha menahan emosi adiknya.
Luke menatap Luka sangat marah. "Apa?" tanyanya terlihat kesal. "Kenapa Kakak selalu diam saja? Mereka itu nakal, dan jahat. Mereka juga selalu mengejek kita." Wajah Luke merah padam, dan ia kian emosional.
"Sudahlah!" Luka menggenggam tangan Luke, dan berniat untuk mengajaknya ke belakang, agar lebih dekat dengan mamanya.
"Kakak selalu begitu." Luke terus menggerutu, dan bibirnya tak lagi tersenyum.
Bola dibiarkan begitu saja. Luka yang tidak Terima akan sikap Anton, berusaha untuk mengabaikannya. Dengan langkah cepat, ia pun mengajak adiknya untuk menghindari kelompok anak-anak tuan tanah tersebut.
"Dasaaar!" pekik Anton kesal karena perintahnya tidak dituruti, sembari berlari, dan menendang bolanya ke arah Luka. Anak gempal itu pun berhasil menyakiti bocah berbelah dagu tersebut.
Bagian belakang kepala Luka terbentur kuat, bahkan tubuhnya sampai condong ke depan, dan hampir terjungkal. Pada saat yang bersamaan, ketua RT melihat kejadian tersebut, dan meminta Anton untuk meminta maaf.
Bukan orang kaya sombong namanya, jika ia mau melakukan apa yang diminta oleh pak RT. Malah Anton memanggil papanya, dan memutar balikkan fakta.
"Siapa yang berani mencelakai anakku? Sudah bosan hidup, ya?"
"Maaf, Pak Lurah. Kami semua saksinya di sini. Sebenarnya, anak Bapak lah yang menyakiti Luka. Padahal keluarga ini baru ditimpa kemalangan. Kami, warga di sini. Berusaha untuk membantu," jelas pak RT yang memang tahu bahwa Luka tidak bersalah. "Anton sengaja menendang bola, hingga mengenai kepala bagian belakang Luka, Pak. Untung Luka tidak pingsan."
Pak Lurah melihat seluruh bagian depan rumah Bunga yang tengah dibangun kembali, dan ia mengabaikan ucapan pak RT. "Di mana mama kalian?" tanyanya dengan nada misterius, bak penuh rahasia.
"Ada di belakang, Pak," jawab Luka yang masih memegang kepalanya. Rasanya, dunia menjadi gelap. Namun ia terus berusaha untuk kuat.
Pak Lurah berjalan ke arah Bunga. Usianya sekitar 43 tahun, dan ia sudah sering mencuri pandang ke arah Bunga. Sejak awal, ia menawarkan sebuah pernikahan siri yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri, dan Bunga. Namun, perempuan yang satu ini menolak dengan tegas, dan itu sempat membuatnya marah.
"Anda?" tanya Bunga terlihat tak bersahabat.
Tatapan mata pak lurah tersebut tampak liar. "Kamu, sudah berapa kali aku katakan. Jangan repot-repot seperti ini! Kamu hanya perlu setuju, dan aku akan memberikanmu hunian yang layak. Bahkan, anak-anakmu bisa mendapatkan kehidupan yang mewah," bisiknya sambil menyunggingkan bibir. "Bagaimana?" tawarnya sekali lagi. Sebab, ia yakin bahwa Bunga sudah hancur, dan tak memiliki harapan lagi kali ini.
Bunga mundur beberapa langkah, demi menjaga jarak. "Maaf, Pak. Jawaban saya masih sama. Saya tidak bisa, dan tidak ingin menjadi istri siri Anda. Maaf!" Bunga menipiskan bibirnya karena sudah sangat kesal. Rasanya, ia ingin sekali menyayat setiap urat nadi di tubuh laki-laki yang berada di hadapannya ini.
"Kamu akan menyesal!" ancamnya dan itu membuat Bunga berpikir, bahwa kebakaran rumah ini, merupakan rencana busuknya untuk mendapatkan Bunga.
"Silakan tinggalkan tempat ini!" pinta Bunga yang tak lagi memanggilnya bapak. Baginya, rasa hormat itu telah hilang, akibat sikap nakal dari sosok yang seharusnya mengayomi masyarakat.
Bersambung.