Pukul sembilan malam, seorang wanita berusia dua puluhan berdiri di depan pintu sambil memegang nampan berisi secangkir teh. Tangan kanannya terulur dan mengetuk. Sepersekian detik kemudian, menyentuh gagang dengan menekannya ke bawah. Mendorongnya perlahan dan masuk ke dalam.
Ruangan itu memiliki rak besar panjang dengan berbagai macam buku bisnis. Suasananya terasa tenang dan hanya terdengar suara buku dibalik.
"Kebetulan kau datang," ucap Carl yang saat ini sedang duduk di kursi kerja.
Jari-jari rampingnya melepas kacamata dan diletakkan di meja. Kemudian, beranjak meraih map biru di rak sisi kiri.
"Ada apa?" tanya wanita yang diketahui memiliki nama lengkap Prisma Shaula. Tangan kurusnya meletakkan cangkir teh di meja.
"Tandatangani ini." Carl sedikit menghentakkan map biru itu di meja.
"Apa ini, Carl?" tanya Prisma penasaran.
Tangannya terulur meraih map itu. Perlahan, membuka lembar pertama dan membaca. Ia mengerutkan dahinya dan mendekatkan kertas itu sekedar ingin memastikan penglihatannya.
"Apa maksudmu memintaku menandatangani surat ini?!" tanya Prisma terbelalak.
"Aku ingin kita cerai," sahut Carl datar.
"Tapi kenapa?" Bola mata Prisma berkaca-kaca dan siap pecah. Hidungnya terasa tersumbat dengan leher yang tercekat.
Dua tahun menjadi istri dari seorang Carl Bright, ia tidak pernah mengeluh meski tidak pernah mendapat perlakuan baik sekali pun. Seluruh anggota keluarga juga tidak menganggapnya sebagai menantu dan memperlakukannya seperti b***k.
"Karena aku tidak mencintaimu," jawabnya masih datar.
Mendengar jawaban yang Carl lontarkan membuat Prisma mengangkat kepala terkejut. Mata sayunya menatap sang suami kecewa dengan tubuh yang bergetar.
Selama menikah, pria bermarga Bright itu tidak pernah menyentuh Prisma. Mereka tidur di kamar yang berbeda dan hampir tidak pernah bicara. Selalu bersikap tak acuh dan seolah wanita itu hanya seorang pelayan saja di rumahnya.
Hal itu terjadi karena pernikahan itu hasil dari paksaan sang kakek. Namun, setelah kakeknya meninggal, Carl langsung menggugat cerai Prisma.
"Tapi aku mencintaimu, Carl," batin Prisma menangis. Bulir-bulir air mata yang semula tertahan, kini tumpah ruah.
Ingin sekali mengatakan cinta, tetapi rasanya akan sia-sia. Sejak awal Carl tidak pernah mencintainya dan tidak pernah menganggap pernikahan itu nyata.
"Kenapa kau terlihat sangat sedih? Bukankah seharusnya kau senang karena bisa bebas?" tanya Carl heran.
Selama ini, ia tidak pernah bersikap baik pada Prisma. Jadi, seharusnya wanita itu bahagia karena akan terlepas darinya dan bukannya malah terlihat sangat terluka.
"Meski kita menikah bukan atas dasar cinta, tapi aku tidak pernah berpikir untuk cerai. Aku ... aku tidak bisa menerima perceraian ini," sanggah Prisma menggebu.
Ia menyeka air matanya dan berbalik, bersiap untuk pergi. Namun, langkahnya terpaksa terhenti karena mendengar ucapan Carl.
"Apa kau mencintaiku, Prisma?" tanya Carl dengan nada mengejek.
Prisma hanya menoleh ke samping. Menelan ludahnya dengan susah payah dan jantung yang berdegup kencang. Mengabaikan pertanyaan yang Carl lontarkan dan kembali melanjutkan langkahnya.
"Atau kau mencintai hartaku?" Carl tersenyum kecut lalu bergegas mendekat, "Sepertinya kau menolak cerai karena tidak mendapat kompensasi apa pun. Benar bukan?" imbuhnya berbisik.
Tubuh Prisma bergerak cepat dengan bergeser ke samping. Tidak lupa dengan menatap sinis Carl. Bahkan selama menikah, ia tidak pernah diberi nafkah justru diperlakukan seperti pembantu. Mengerjakan ini itu seperti yang dilakukan seorang asisten rumah tangga. Lalu, harta mana yang ia cintai?
"Sama sekali tidak!" sergah Prisma menggebu.
Carl mengabaikan ucapan Prisma. Ia menggulung kemeja putihnya sebatas siku dan melangkah maju membuat wanita itu bergerak mundur. "Apa kau ingin uang, rumah, dan mobil?"
Sampai ketika tubuh Prisma menempel pada dinding, Carl mencengkeram dagunya. "Jangan mimpi!" ujarnya sambil menghempas tangannya kuat-kuat.
"Aku bilang tidak! Aku tidak butuh harta apa pun darimu!" d**a Prisma bergerak naik turun menahan amarah dan sakit di dagunya, "Baiklah kalau kau memang ingin cerai," sambungnya.
Wanita cantik dengan kesederhanaan itu berjalan ke arah meja kerja. Meraih bolpoin dan tanpa pikir panjang langsung menandatangani surat cerai. Lagi pula, untuk apa mempertahankan pria yang tidak pernah menghargai usahanya. Lebih baik menyetujui keinginan Carl untuk bercerai dan hidup bebas.
Setelah itu, meraih surat cerai dan berjalan dengan langkah mantap. Melemparkan tiga lembar kertas itu ke wajah Carl dan berkata, "Aku menceraikanmu dan mulai sekarang kau bukan suamiku lagi!" Kemudian, melangkah percaya diri ke arah pintu dengan tatapan penuh tekad.
Meski awalnya ia menolak untuk bercerai, tetapi setelah mengucapkan kata-kata itu ada sedikit lega di hati. Mungkin karena selama ini ia tertekan menjadi istri Carl.
"Apa kau gila?!" teriak Carl murka.
Bagaimana bisa Prisma berkata seperti itu, sedangkan dirinya yang menggugat cerai? Harga dirinya terluka hanya karena beberapa kata yang terlontar dari bibir seorang rendahan seperti Prisma Shaula.
"Berhenti di situ!" seru Carl dengan manik mata yang membola dan memerah.
Tidak peduli dengan seruan sang suami, Prisma terus melangkah. Meraih gagang pintu dan berakhir dalam cengkeraman Carl.
"Tarik kata-katamu barusan!" Carl mencekik leher Prisma.
Meski ia berbuat kasar, wanita yang masih menyandang status sebagai istrinya itu menolak. Menggeleng kuat-kuat sambil berusaha melepaskan diri.
"Cepat katakan!" bentak pria itu sambil menggertakkan gigi.
Kekuatan tangan Carl semakin meningkat membuat Prisma kesulitan bernapas. Manik matanya membola dengan lidah yang menjulur keluar.
"Le-lepas, le-pas-kan ak-ku," ujar Prisma tersendat-sendat. Wajah kusamnya memerah seolah semua darahnya mengendap di sana.
"Aku akan melepaskanmu kalau kau mau berjanji akan menarik kata-katamu." Carl berusaha mengembalikan harga dirinya yang telah dihancurkan Prisma.
Sebagai jawaban, Prisma mengangguk lemah. Jiwanya terasa akan terhempas dari tubuh, jika ia tidak mau mengalah dalam hitungan detik. Sampai ketika Carl menjauhkan tangannya, barulah bisa bernapas lega.
"Baiklah, cepat katakan!"
Prisma terbatuk beberapa kali dan mengusap lehernya yang terasa sakit. Terlihat jejak telapak tangan di sana. Tentu saja karena warna kulitnya yang seputih kapas.
"Cepat!" bentak Carl tidak sabar.
"Kutarik ucapanku sebelumnya. Bukan aku yang menceraikanmu melainkan aku yang kau ceraikan. Apa kau puas?!" ujarnya menatap tajam manik mata sang suami.
"Ya. Pergilah dan jangan pernah muncul lagi di depanku," balas Carl malas.
Mendengar ucapan sang suami, Prisma langsung melangkah keluar. Pergi ke kamarnya dan memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Setelah itu, pergi dengan membawa luka yang mendalam.
***
Beberapa bulan kemudian, Prisma sedang duduk di tempat tidur. Menatap kosong ke arah di mana bulir-bulir hujan membasahi jendela. Pegangan tangannya mengerat pada serifikat perceraian. Ya, akhirnya ia dan Carl sah berpisah.
Ponsel berdering membuyarkan lamunan. Sontak, tangannya terulur meraih benda pipih itu dan menekan tombol jawab. Entah apa yang diucapkan oleh seseorang di balik panggilan, Prisma menganga terkejut dengan manik mata yang berair. Sesaat kemudian, ia menyibak selimut dan melangkah tergesa tanpa alas kaki. Menyambar kunci mobil dan mengemudikannya di tengah petir menggelegar.
Sampai tepat di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi, wanita itu keluar dari mobil dan melangkah masuk dengan tatapan lurus ke depan. Tidak peduli dengan kaki yang polos dan tubuh basah kuyup, bahkan kaos oblongnya tembus pandang.
Orang-orang di sekeliling saling berbisik membicarakannya. Namun, langkah kaki tidak goyah sampai berada di depan aula pernikahan. Di sana, terpampang jelas bahwa Carl sedang mengecup bibir seorang wanita dengan pakaian pengantin.
Melihat apa yang ada di depan mata membuat Prisma mengepal tangan. Manik matanya bergerak menatap sekeliling. Pesta pernikahan itu sangat megah. Dekorasi serba putih keemasan dengan mawar putih yang cantik bertebaran di mana-mana.
Sepasang pengantin itu terlihat sangat serasi. Pengantin pria tampan dan pengantin wanitanya pun cantik. Tidak seperti dirinya yang terlihat sangat kurus, kusam, dan penampilannya jauh dari kata menarik, bahkan meski memakai pakaian mahal sekalipun.
"Sepertinya ini yang dinamakan pernikahan," batin Prisma tersenyum getir.
Dulu, pernikahannya hanya dihadiri oleh beberapa orang saja dan tidak ada dekorasi apa pun. Bahkan sampai sekarang tidak ada yang tahu status pernikahannya dengan Carl kecuali keluarga pria itu sendiri.
Tiba-tiba, tubuh Prisma lemas seolah tidak memiliki tulang. Langkahnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit bergetar menahan nyeri di d**a. Binar matanya berkaca-kaca, seolah enggan melepaskan pandangan matanya dari sepasang pengantin yang tengah berbahagia. Rasa itu semakin menjadi-jadi ketika tatapannya bertemu dengan Carl yang langsung tersenyum menyeringai, seolah mengejek kehadirannya.
"Berbahagialah, Carl. Suatu saat nanti, akulah yang tersenyum dan membuatmu menangis di bawah kakiku!"