Part 53

2048 Words
Double up guys nanti di cek ya Happy Reading... Part 53 Di saat Salma sedang mengontrol emosinya teringat segerombolan cewek yang lagi tertawa riang gembira di sana, seseorang menepuk pundak Salma hingga dirinya tersentak kaget dan memutar tubuhnya ke belakang. "Elo!" Salma menepuk bahu laki-laki di hadapannya yang membuatnya kaget hingga menarik napas saja susah rasanya sebab tercampur oleh emosinya yang mencoba menguasai pikirannya. "Lo ngapain di sini?" Seseorang itu ialah Malvin yang menatapnya keheranan. "Gak ngapa-ngapain." Salma menggeleng. "Katanya lo minta kunci pintu halaman belakang kan?" tanya Malvin memastikan. "Ah iya, gue baru ingat. Lo sudah baca pesan dari gue tadi?" Salma memang mengirim pesan kepada Malvin soal dirinya ingin membolos dan meminjam kunci pintu halaman belakang sekolah. Ia sengaja mengirim pesan di waktu Malvin sudah tidak berada di kelas. "Iya, kenapa chat gue? Gak bilang langsung waktu gue masih di kelas?" Malvin merogoh sakunya dan memberikan secuil kunci kepada Salma. "Gue takut anak lain denger, mereka kan ember semua mulutnya." Salma menerimanya dan segera dimasukkan ke saku seragamnya. "Oh begitu, terus lo ngapain diam di sini? Gue cariin lo buat kasih kunci itu." "Iya, tadinya gue mau nyusulin lo kan katanya lo di rooftop," jawab Salma. Salma nampaknya melirik ke arah tadi dan membuat Malvin mendonggakkan wajahnya menatap apa yang tengah diperhatikan Salma sekarang. "Lo lihatin apa sih? Wajah lo kayak gak enak gitu." Malvin menatap penasaran kepada Salma. "Gue enggak papa dibilangin kok. Lo gak pergi gitu?" "Lo mau usir gue setelah gue kasih kunci ke lo?" "Maaf-maaf, terima kasih ya." "Hmm, lo gak langsung berangkat? Sebentar lagi itu pintu bakal dijaga lho." "Dijaga?" tanya Salma terkejut karena baru tau kalau halaman belakang juga dijaga di jam-jam siang begini. "Iyalah, lo harus manfaatin waktu dengan baik. Emang lo mau ketahuan? Kalau ketahuan jelas gue gak bisa nolongin dan gue juga kena sih." Malvin menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Sekarang jam berapa sih?" "Jam 10, lo bawa hp aja masih nanya." Malvin terkekeh sebentar. "Terus satpam datang ke sana jam berapa?" "Setengah 10, cepetan sana ganti baju. Lo bawa kan?" "Iya, haduh kok waktunya cuman sebentar." Salma panik seketika, setengah jam lagi halaman belakang sekolahannya akan dijaga oleh keamanan sekolah. "Iya sana! Mana cewek kalau ganti baju juga lama, pasti lo juga ajak teman kan?" "Iya, kenapa sih dijaga? Kan bukan jam pagi ini." "Memang ada penjagaan, sekolah kita kan ketat peraturannya nah mumpung ada acara begini biasanya longgar penjagaannya meski gak lama itu waktunya. Ya sudah sana! Cepetan!" Perintah Malvin. Sedangkan dirinya sengaja tidak membolos sebab pertandingan yang berlangsung itu pertandingan bola basket dan ia masih punya tanggung jawab juga di pertandingan tersebut. Oleh sebab itu, Malvin tidak bisa ikut membolos bersama Salma hari ini padahal di hati kecilnya ada keinginan untuk membolos walau itu ridak mungkin. Tanggung jawabnya sebagai kapten basket itu juga sangatlah besar dan teman-temannya membutuhkan dukungan darinya. "Okelah, gue ke kelas dulu ambil tas. Thank's." Salma memberikan senyuman penuh rasa berterima kasih kepada Malvin. "Iya." Malvin langsung memegang dadanya yang berdebar tak karuan diberikan senyuman maut menurutnya apalagi mendengar suara lembut Salma baru saja. "Lembut banget kalau ada maunya." Malvin tersenyum dan menggeleng kepalanya sebentar. Lelaki itu melanjutkan jalannya lagi, ia akan pergi ke lapangan bakset indoor di gedung sebelah. Sudah cukup menenangkan hatinya yang buruk suasannya sejak kemarin. Ditambah diberi vitamin senyuman dari Salma saja sudah makin membuat suasana hatinya sedikit membaik. "Gue gak bisa nahan emosi dan trauma. Gue gak bisa bayangin nanti kalau Salma bakalan menjauh dari gue setelah tau gue itu suka pukul temannya yang selalu dia memandangi fotonya. Gue gak nyangka, kenapa harus dia?" "Tapi gue gak mau menyerah begitu saja, Salma milik gue. Sudah cukup bajing*n itu merebut orang tua gue sekarang gue gak mau Salma direbut juga. Walau nantinya Salma bakalan benci ke gue karena cara yang gue lakukan itu buat dia marah." ... "Sal, lo diam mulu." Cindy merangkul Salma setelah semuanya selesai ganti baju di toilet halaman belakang sekolah. Cindy pun membiarkan Salma diam sekarang, gadis itu menatap Silma yang baru saja keluar dari toilet. Silma paling lama karena harus membersihkan wajahnya yang penuh dengan coretan. "Sudah selesai bener nih?" tanya Cindy kepada mereka. "Sudah," jawab Silma sedangkan Salma masih diam saja dengan raut wajahnya yang menunjukkan bahwa gadis itu masih kesal kepada Silma. "Kuy kita ke sana!" Cindy jalan paling duluan lalu di belakangnya ada Silma dan Salma dengan ekspresi wajah yang berbeda. Silma menatap adiknya. "Maaf, Sal." Salma tidak merespon dan makin mempercepat jalannya supaya tidak berada di sebelah kakaknya. Beginilah kalau sudah begitu emosi, mendiamkan Silma adalah pilihan utamanya. Toh, percuma merespon kalau kakaknya yang membuatnya khawatir berlebihan dan jika ditanya pun jawabnya berujung dirinyalah yang emosi. Sampai di depan pintu, Salma membuka gembok pintu itu dengan menggunakan kunci yang dipinjami Malvin. Cindy memekik senang karena bisa membolos hari ini. Mereka bertiga keluar dari halaman belakang sekolah sangat santai dan mudah. "Lo dipinjami Malvin kan?" "Hmm." Salma mengangguk tanpa menatap balik ke temannya. Silma berjalan gontai di belakang mereka dan juga menyimak obrolan mereka. "Enak banget jadi ngiri gue haha." Cindy tertawa dan merangkul Salma. "Malvin tidak ikut nonton ya tadi? Soalnya gak ada yang sebutin nama dia kan dia kapten basketnya." Silma ikut nrimbung. "Dia emang gak nonton, kalau si kapten gak nonton atau gak hadir ya gak disebutin sih tapi gak tau kalau sekolah lo ya. Masing-masing sekolah beda soalnya. Tapi katanya si Malvin bakalan ada di pertandingan dan cuman nonton teman-temannya yang main doang. Eh seharusnya yang jelasin yang deket sama dia, gue mah cuman tau itu doang hehe." Cindy menyengir kuda dan sedikit menatap ke belakang. "Ah begitu." Silm tersenyum kecil. "Diam mulu." Cindy menyenggol lengan Salma dan Salma tetap diam saja. Ketika sudah berada jauh dari area sekolah, mereka berhenti sejenak. "Kita jadi ke mall gak?" tanya Cindy pada mereka namun ia menoleh ke Salma duluan. "Jadi, Cin." Silma mengangguk semangat. "Eh Sal!" teriak Cindy saat Salma tiba-tiba pergi meninggalkan mereka dengan berjalan sangat cepat. "Sudah biarin aja, Cin. Nanti Salma juga gak lama kok marahnya." Silma menepuk pundak Cindy. "Salma kalau sudah badmood parah gak mudah balik gak marah lagi," ucap Cindy cemas. "Ya gimana lagi? Dia marah kan dibiarin aja nanti malah tambah marah ke lo." Silma mengerucutkan bibirnya, ia sudah lumayan tenang tapi juga menginginkan jalan-jalan ke mall. "Ya kan dia marah juga karena elo, Sil. Lo gak mau terus terang ke Salma, Salma begitu juga khawatir sama lo dan harusnya lo gak kayak gini sikapnya." " Gue emang gak mau cerita." "Ya deh terserah lo." Cindy menghela napasnya pelan mendengar jawaban Silma yang menurutnya nyebelin dan pantas saja Salma marah besar kali ini. "Terus kita pulang gitu?" "Iyalah, gue gak mau juga pergi tanpa ada Salma. Salma soib gue, Sil" "Halah padahal gue pengen jalan-jalan." Silma memasang muka kesal. 'Gue sudah jadi bebannya Alfa dan gue gak mau Salma terbebani gara-gara gue. Serba salah emang'---kata Silma di dalam hatinya Akhirnya mereka bertiga memilih pulang ke rumahnya masing-masing karena salah satu dari mereka sedang berada dalam mode memburuk suasana hatinya. Begitu sampai di rumah, Salma masih enggan menatap bahkan merespon ucapan Silma. Gadis itu sangat dingin dan wajahnya sungguh tidak bersahabat. Salma membanting pintu sangat keras dan membuat Silma kaget karena ia berada di belakang Salma sewaktu ke kamar. Silma menatap pintu kamar adiknya yang tertutup rapat dan dikunci dari dalam. "Kalau Salma tau gue disiksa sama mereka, dia yang bakalan kena masalah besar dan gue gak mau Salma terlibat masalah. Cukup waktu SMP saja Salma nakal, sekarang citra Salma baik di sekolah dan gue gak mau jadiin citra Salma menjado buruk." Silma juga teringat ucapan teman-temannya Alfa saat menggosipinya. Yang kata mereka, dirinya hanyalah beban Alfa. Tentu Silma sakit hati mendengarnya dan ia tidak mau lagi menjadi beban orang lain termasuk adiknya. "Biar gue aja yang mengalami rasa sakit sendirian begini tanpa melibatkan orang lain. Gue sayang sama Salma dan gue gak mau adik gue kenapa-napa kalau bela gue." Silma tau sikap adiknya nanti pasti akan nekat membalas dendam ke Silvia dan teman-temannya. "Maafin gue, Salma." Setetes air matanya jatuh ke pipinya. Sebenarnya Silma merasa bersalah harus menutupi semuanya dari Salma setelah Salma tau bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Di dalam kamar Salma membuang asal tas dan sepatunya. Ia melepaskan kaosnya dan menyisahkan tanktopnya serta celana panjangnya yang kini diganti mengenakan celana pendek. Salma mencepol rambutnya ke ujung atas dan melakukan pemanasan sebentar sebelum mengambil sarung tinju berwarna merah. Setelah itu, Salma mendekati samsak yang letaknya di dekat jendela balkon kamarnya. Ia mulai meninju samsak itu, melampiaskan apa yang membuatnya emosi kepada samsak di depannya. Wajahnya begitu serius dan tak main-main memukul samsak di depannya disertai teriakannya yang cukup keras. Keringat mulai bercucuran di pelipisnya sengaja dibiarkan dan tubuhnya semakin lama dibaluri oleh keringat. Mata Salma memerah menandakan emosinya sebentar lagi akan lepas. Napasnya memburu dan teriakannya lebih lantang. Selesai sudah, Salma memilih berbaring di lantai yang dingin dan melepas asal sarung tinjunya. Inilah yang selalu dilakukannya sewaktu amarahnya sudah tidak bisa ditahan lagi, melampiaskannya ke samsak tinju adalah jalannya dibanding menyakiti orangnya langsung. Ia akui sangat sulit mengontrol emosinya dan sering kali emosinya kelepasan hingga menghajar orang adalah jalannya. Tentu saja orang yang menyebabkan dirinya emosi. Untunglah Salma memiliki kesabaran besar terhadap sikap kakaknya, ia tidak pernah sekalipun menyakiti fisik kakaknya meski berulang kali kakaknya seolah-olah menyulitkannya. Mereka telah bersama dari kecil hingga remaja sehingga jika salah satu dari mereka memikirkan saudaranya dipastikan dirinya akan merasakan apa yang tengah dirasakan saudaranya tersebut. Seperti Salma merasa tidak beres soal kakaknya tadi yang menangis ketakutan sampai duduk di lantai koridor. Lalu Salma menghubungkan kejadian tadi dengan segerombolan gadis yang dilihatnya dari kejauhan. "Firasat gue yakin pasti mereka karena yang berseragam sama kayak Silma itu cuman mereka saja. Yang lain semuanya pada lihat pertandingan." Salma pun duduk dan menyenderkan tubuhnya ke pinggir kasur. "Enggak mungkin mereka melakukan sesuatu tanpa ada sebabnya. Pasti Silma cari masalah deh sampai dirundung sama orang. Hadeh, gue juga gak tau apa-apa. Apa gue harus cari sendiri dibanding nungguin Silma cerita? Gereget lama-lama, gue ingin tau semuanya." Salma menghembuskan napasnya kasar. "Gue gak mau diam saja karena sudah menyangkut kekerasan fisik begini. Kenapa mereka sampai menyakiti fisik Silma? Ini yang bikin gue kepikiran dan gak tenang banget." "Gimana cari taunya juga? Silma juga gak mau cerita, bikin gue emosi saja." Di kamar lain... Begitu sudah masuk ke kamar, Silma meletakkan tasnya di atas kasur dan selanjutnya pergi ke kamar mandi. Silma menyalakan shower dan mengatur keluarnya air. Ia membiarkan tubuhnya berserta pakaian yang masih dikenakan itu basah. Tidak perlu waktu yang lama, Silma langsung menangis dan menumpahkan segala yang dirasakan batin dengan mengguyur badannya sekarang. Dalam pikirannya, Silma memikirkan semua kejadian buruk yang telah dialaminya semenjak memasuki bangku menengah atas. Tidak menyangka ini semua terjadi kepadanya. Dimulai mengenal seseorang lalu dibenci banyak orang. 'Gue salah apa ke mereka? Gue ingin tenang tapi mengapa mereka seolah gak mau gue hidup tenang sih? Gue ingin balik ke SMP dan gak pernah mendapat perlakuan buruk dari orang-orang seperti mereka' Silma ingin memutar waktu kembali ke masa lalu yang indah dan damai. Silma meletakkan dahinya ke dinding dan masih dalam kondisi menangis. Mengapa sekarang hidupnya lebih memburuk? Ia sekalipun tak pernah mencari kesalahan orang lain bahkan sampai menyiksa fisik. Lebih sakitnya lagi, selalu teringat Alfa yang mengingkari janji-janji manisnya. Katanya akan berada di sampingnya tapi nyatanya meninggalkannya. "Gue sudah gak ada urusannya sama mereka lagi. Tapi lagi-lagi gue kena. Apa sih salah gue? Gue sudah relain Alfa sama dia. Gue gak pernah nyuruh putus ke Alfa, gue cuman bilangin ke Alfa kalau gak kuat ya tinggalin aja. Gue gak mau jadi beban buat Alfa karena Alfa pacaran sama dia demi melindungi gue agar tidak diganggu lagi sama dia. Teman-teman Alfa yang dulunya ramah ke gue pun bilang kalau gue ini bebannya Alfa. Itu yang buat gue merasa bersalah dan gak enak hati ke Alfa. Apalagi lihat wajahnya saja sepertinya tertekan di samping dia." Silma mencurahkan semuanya sembari memukuli dinding kamar mandinya dan menganggap ini semua sedang curhat kepada diri sendiri. "Gue gak bisa melawan mereka. Gue terlalu lemah dan gue gak mampu saja berdiri membela diri sendiri. Gue takut banget. Apalagi mengingat banyak murid yang melihat gue dengan tatapan yang sinis. Kenapa gue bisa mengalami hal begini? Apa kesalahan gue? Hiks hiks." Silma membenturkan dahinya pelan beberapa kali ke dinding. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD