Part 55

2432 Words
Part 55 "Kan sudah gue tebak pasti deh bakalan begini. Mana gue malas keluar rumah dan cuman pengen rebahan doang." Salma baru saja membaringkan tubuhnya tadi mendapat telepon dari Malvin dan. cowok itu mengajaknya bermalam minggu. Salma bangun dari rebahannya dengan rasa yang ogah-ogahan dan segera mengganti bajunya yang awalnya memakai piyama. Selesai berganti baju kemudian Salma merias diri dengan sesederhana mungkin, memilih sepatu dan tas selempangnya. Barulah Salma keluar dari kamarnya. "Sal, lo mau kemana?" Silma tengah memegang gelas yang dibawanya dari dapur dan saat akan ke kamarnya, melihat Salma keluar dari kamarnya. Salma melirik kakaknya sekilas lalu pergi dari hadapan Silma dan enggan merespon ucapan Silma. Salma tidak ingin memikirkan Silma malam ini. Kakaknya itu membuat kepalanya makin berat. Baginya, Silma sudah dewasa dan tak harus dibuat terpojok untuk bercerita. Dan benar, Silma memang masih seperti anak kecil. Kakaknya itu tak mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Silma memandang kepergiaan adiknya, adiknya benar-benar marah besar. Sangat jarang Salma bersikap begitu kepadanya dan jika sudah begini, Silma malah bingung sendiri. Apa yang harus dilakukan supaya kemarahan adiknya mereda? Silma tidak sanggup diacuhkan oleh Salma seperti ini. ... "Mau kemana, Sal?" tanya Pandu begitu melihat putrinya turun dari tangga dan Salma mengenakana pakaian luar rumah. "Keluar, Yah." "Sama Malvin?" Tebak Pandu. "Ayah tau aja," balas Salma, menahan senyumnya. "Malam mingguan kemana?" "Malvin ajak aku ikut merayakan kemenangan tim basket. Di sana gak aku doang, ada banyak teman-temannya Malvin." Mereka berdua berjalan beriringan, bedanya Pandu akan menuju ke ruang tamu dan berniat membereskan pekerjaan kantornya yang tergeletak di sana. "Oh ayah kira kamu keluar berdua begitu." Pandu menggoda putrinya yang salah tingkah. "Enggak, Ayah. Kan kita teman doang." Salma mencebikkan bibirnya. "Lha ayah kan cuman bilang keluar berdua. Emang apa yang kamu pikirkan hayo?" "Ih ayah, aku kira yang lain." Salma menepuk lengan ayahnya dan memasang muka kesal. "Hayo apa?" Pandu mencubit pipi Salma gemas. Putrinya ini meski terkenal ketus tapi sangat manja terhadapnya dan Zena. "Bunda mana, Ayah?" Salma malah bertanya balik dan mengganti topik pembicaraan. "Bunda lagi sama adikmu." "Ya sudah ayah lanjut aja kerja sana, aku pergi, bye!" Salma berlari dan menghindari pertanyaan jebakan dari Pandu. Pandu tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Putrinya itu lucu sekali dan pantas saja Malvin menyukai Salma. Pandu tau dari Malvin sendiri kalau lelaki muda itu sangat kesulitan mengambil hati Salma karena sikap Salma yang jutek dan cuek sekali. Pandu menatap ponselnya yang dipegangnya lalu dirinya duduk dan mengangkat telepon dari seseorang. 'Malam om.' Terdengar suara lelaki remaja dari seberang sana. "Malam juga, Vin. Kamu mau ajak putriku keluar? Kemana?" tanya Pandu. "Ke cafe, Om. Gak jauh dari sini." Tanpa Salma ketahui, Malvin seringkali menghubungi Pandu terutama dalam hal meminta izin. Sebab Pandu mengerti perasaan anaknya jikalau menyuruh Malvin langsung datang ke rumah. Apalagi Zena yang melarang putrinya berpacaran meski berteman boleh. Tetap saja putrinya ingin kebebasan dan Pandu membiarkannya asal masih dalam pengawasannya. Lagian putrinya tak sering keluar rumah dan ia percaya putrinya bisa menjaga pergaulannya. "Jaga Salma dengan baik ya!" "Siap, Om." ... "Lo bawa mobil?" tanya Salma ketika sudah di dekat Malvin yang tengah menyenderkan tubuhnya ke mobil kecil berwarna hitam atau biasa disebut mobil jenis small car. Salma berjalan sampai di depan gerbang perumahan dan di samping pos satpam ada Malvin bersama mobilnya. "Katanya dingin malam ini jadi gue bawa mobil." "Gue kira---" "Bercanda gitu? Gue gak pernah bercanda soal kenyamanan lo." Malvin membukakan pintu mobil untuk Salma. "Heleh," balas Salma dengan suara yang mengejek. "Selalu aja lo anggap gue bercanda, kapan lo anggap gue serius?" Malvin menahan pintu mobilnya saat Salma sudah masuk ke dalam dan aman menutup pintu mobilnya. "Lo bicara apa sih? Gak jelas." Salma menatap sinis ke Malvin dan Malvin perlahan menutup pintu mobilnya. 'Maaf, gue belum bisa dan ingin begini saja'--ucap Salma di dalam hatinya. Tentu saja Malvin terluka hatinya dan ia sadar kalau Salma sudah begini sifatnya. Ia berusaha lebih ekstra lagi menyakinkan Salma agar gadis itu sadar bahwa dirinya benar-benar mencintainya. Malvin masuk ke mobil dan mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia melirik Salma yang diam-diam menatapnya namun gadis itu dengan cepat membuang pandangannya ke arah lain. Malvin tau kalau Salma perlahan membuka hatinya kepadanya dan sayangnya gadis itu masih belum menyadarinya atau disengaja. "Lo sudah makan?" "Belum." "Nanti harus makan." Malvin tetap sabar dan memberi perhatian kecil kepada Salma. Ia sudah berjanji pada Pandu untuk menjaga putrinya dengan baik. "Hmm." Salma mengangguk dan pandangannya lurus ke depan. "Kalau lo gak nyaman gabung sama temen gue, bilang aja ya. Gue sebisa mungkin buat lo nyaman saat jalan sama gue. Gue gak mau kalau lo punya rasa menyesal ikut sama gue. Lo nyaman, gue lega." Malvin mengulum senyumnya dan menoleh sebentar ke Salma. Salma bersedekap d**a dan enggan menatap Malvin balik. Astaga, jantungnya tidak aman ketika mendengar ucapan Malvin dan Salma mengusap pipinya karena merasa panas. Inikah rasanya kebawaperasaan oleh kata-kata seseorang yang dirinya cintai? Tidak lama kemudian mobil itu terparkir cantik di depan sebuah cafe yang suasanya lumayan ramai. Malvin dan Salma keluar dari mobil. Hampir saja Salma tertabrak seseorang kalau saja tidak dirangkul oleh Malvin. Salma kaget merasa wajahnya dekar sekali dengan wajah Malvin dari samping. Ini bukan hanya merangkul saja melainkan memeluknya. Sampai mereka berdua mengantri di kasir. Malvin enggan melepaskan rangkulannya dan betah sekali tangannya berada di pundak Salma. "Lo mau yang mana?" tanya Malvin pada Salma ketika mereka sudah di depan kasir. "Redvelvet itu." "Ouh." Malvin langsung paham. Ia memesan dua minuman dan beberapa makanan kepada kasir serta tidak lupa memberitahukan seorang kasir untuk mengantarkan pesanannya ke dua meja panjang yang digabung menjadi satu di sana. Terlihat di sana sudah banyak temannya berkumpul bahkan ada yang beneran membawa pasangannya masing-masing. Selesai setelah itu Malvin menggandeng tangan Salma agae gadis itu tak tertinggal jauh darinya ketika berjalan di antara orang-orang yang berlalu lalang di sini. "Weh Malvin datang sama siapa tuh?" Teman-teman Malvin yang belum mengenal Salma pada kebingunan sedangkan ketiga teman Malvin lainnya hanya diam saja sebab sudah tau Salma itu siapa. "Teman," jawab Malvin sambil menepuk tangan mereka satu per satu. "Nama lo siapa?" tanya salah satu teman Malvin melihat gadis di samping Malvin yang memilih berdiri di belakang Malvin. "Salma," jawab Salma singkat. Ia juga melihat para gadis cantik yang duduk dirasa pacar dari beberapa teman Malvin kumpul sendiri di meja yang lain. Salma yang malas bergaul saat ini memilih tetap di sisi Malvin. Malvin mengajak Salma duduk di sampingnya. "Gak mungkin deh cuman berteman." Komentar teman Malvin. "Nah betul tuh." "Pasti ada sesuatu nih yang sebenarnya." Malvin terus digoda oleh teman-temannya dan cowok itu membiarkannya saja. Sesuka mereka bilang apa dan jika ditanggapi malah makin menjadi-jadi. Malvin melirik Salma. "Lagi gabut?" Salma menatapnya balik dan dia baru saja membuka ponselnya. "Biasa." "Ah bentar-bentar." Malvin merogoh saku jaketnya lalu memberikan earphone kepada Salma. "Gue lagi gak mau denger lagu." "Ekhem ekhem." Teman-teman Malvin masih saja menggoda mereka. Salma berdecak sebal dan menatap mereka dengan raut wajah tidak suka. "Biarin, mending dengerin lagu jadi gak fokus nanggepin mereka." Malvin meraih ponsel Salma dan menancapkan ujung kabel earphonenya ke pomsel Salma. Malvin juga memasangkan headphone cap ke salah satu telinganya dan Salma. "Pilih lagunya." "Lo juga dengerin lagu?" tanya Salma heran. "Iya, ingin tau selera lagu lo apa." Malvin menyengir dan mengintip ponsel Salma saat Salma mulai membuka layar kunci ponselnya. Salma memilih salah satu lagunya sedangkan Malvin terus menatap ponsel Salma. "Kepo banget sih." "Gue lagi mantengin, barangkali ada cowok yang chat lo." "Terus kenapa kalau ada cowok yang chat gue?" Salma menghembuskan napasnya kasar. "Gue gak suka." Suara Malvin terdengar seperti bukan biasanya. Ada nada kemarahan di sana. Salma terdiam sejenak memandang mata Malvin yang kini sorot matanya begitu tajam dan terdapat makna yang disembunyikan dibaliknya. Salma kembali menatap ponselnya dan bibirnya cemberut. Malvin sadar dirinya bersikap tak biasanya langsung tubuhnya menghadap ke depan. "Maaf dan jangan diambil serius." Malvin mengusap wajahnya pelan. Pesanan mereka baru saja datang dan Malvin segera menyesap minumannya. "Gue gak pernah ambil serius seperti apa yang lo bilang tadi sebelum kita berangkat ke sini," ujar Salma. Akhirnya ada satu kata yang tidak disukainya yaitu serius. Malvin kembali menatap Salma. "Makan dulu." Lelaki itu mendengar ucapan Salma. Salma masih mengingatkannya soal kalimat yang diucapkannya tadi. Ia sebenarnya mengatakan itu bertujuan supaya Salma peka terhadap perasaannya. Mana ada laki-laki yang memberlakukan teman perempuan secara spesial tanpa melibatkan sebuah perasaan? Salma menyapu pandangannya ke sekitar dan tidak ada orang yang makan makanan berat di sini. Rata-rata mereka hanya memakan cemilan. Ia melihat makanannya yang sudah menggugah seleranya tapi entah mendadak malu ketika makan tapi tidak ada temannya. Malvin terus mengamati gerak-gerik Salma dan mengangguk paham. "Sama gue makannya." "Satu piring?" tanya Salma terkejut. "Iya." "Engg-enggak nggak usah." Salma melepaskan earphone kemudian menarik piringnya dan melahap makanannya. "Padahal satu piring malah so sweet lho." "Diem deh lo." Salma menggerutu. "Ada meja kosong buat berdua, ayo pindah!" ajak Malvin. "Tapi teman lo." "Santau aja sih, mereka juga sibuk sama urusannya sendiri. Sini biar gue yang bawa makanannya dan lo gelasnya." Malvin beranjak berdiri dan meraih piring makanannya Salma. "Mau kemana lo Vin?" tanya temannya. "Malvin juga pengen berduaan sama pacarnya lah." "Dia teman gue." Sela Malvin, meralat ucapan temannya. "Lama-lama juga jadi pacar lo, Vin." "Doain aja yang baik-baik." Malvin mengulas senyumnya tipis lalu melirik Salma yang menatapnya sinis. 'Jinaknya kapan yah?'---tanya Malvin di dalam hatinya. "Gue di sana ya!" pamit Malvin kepada teman-temannya. "Yoi." Malvin bersama Salma duduk di meja yang baru saja kosong. Tempat duduk mereka memang dikhususkan untuk berdua saja, beda seperti sebelumnya mereka duduk bersama orang banyak yang tempatnya lebih luas tadi. Salma menatap Malvin heran karena laki-laki itu ternyata tadi memesan makanan cemilan hanya untuk teman-temannya saja. Seperti lelaki itu tadi sengaja membelikan makanan ringan untuk teman-temannya sehingga dia hanya minum saja di sini. "Lo gak makan?" tanya Salma lagi. "Akhirnya lo nanyain gue itu." Malvin memekik senang dan senyumannya begitu lebar menunjukkan betapa senangnya pertanyaan dari Salma tersebut. "Dasar aneh!" cibir Salma. "Terima kasih sudah perhatian ke gue dan gue bisa pesan makan sekarang." Malvin terkeken dan memegang ponselnya. Membuka sebuah aplikasi milik cafe ini. "Maksud lo apa sih?" "Gue emang sengaja gak makan dulu dan nunggu pertanyaan lo tadi." "Gitu doang." "Gitu doang gitu doang, situ gue tanyain pasti baper. Emang cowok doang?" Malvin menjulurkan lidahnya dan rasanya Salma ingin memukul Malvin sekarang juga, kalau saja saat ini tidak di cafe. "Muka sudah jelek jangan tampil lebih jelek lagi!" Salma melototi Malvin kala lelaki itu memasang raut wajahnya yang jelek. Malvin masih saja mengejeknya membuat sudah tidak tahan lagi, gadis itu menendang kaki Malvim hingga cowok itu berteriak keras dan menjadi tontonan pengunjung cafe terutama teman-teman Malvin sendiri. "Sakit banget, Sal." Malvin meringis merasakan hasil tendangan dari Salma yang bukan main kerasnya. "Sudah diperingati, ngelunjak." Salma pun melanjutkan makannya dan tidak pedulikan tatapan aneh dari orang-orang. "Mon maap." Malvin mulai memasang makanan melakui aplikasi di ponselnya. "Katanya lo pesan makanan? Bohong deh." "Ini." "Bisa pesan dari hp?" Salma tampak tidak percaya apa yang dilakukan oleh Malvin. Tapi ketika sudah mengerti langsung dari ponsel Malvin pun terdiam sesaat. "Jadi lo bohongin gue? Hih lo modus kan tadi." "Hehe iya. Modus gue pengen deketan aja sama lo kok dan gak lebih dari itu." "Cowok kegatelan." "Ya nggak dong, gue kagak gatel-gatel." "Terserah." Malvin tersenyum lagi, ia merasa senang saja semenjak bisa dekat dengan Salma. Salma adalah moodbosternya. Tidak bisa dibayangkan hari-harinya tanpa adanya Salma, ia akan stress di rumah terus bersama seseorang yang membuat suasana hatinya buruk. Walau bisa juga ia keluar bersama teman-temannya tapi sangat sulit meminta izin kepada kakeknya. Baru-baru kali ini kakeknya memberikannya izin sejak ia dekat dengan Salma. Malvin juga heran saja pada kakeknya yang memberikannya izin tanpa bertanya-tanya lebih lanjut lagi soal Salma. ... Silma memegang sebuah pigura kecil dan mencoba mengeluarkan foto dari pigura tersebut. Ia merindukan masa-masa semasih pacaran dengan Alfa. Alfa adalah cinta keduanya setelah ayahnya. Silma baru merasakan apa itu cinta dari orang luar rumahnya. Rasa cinta itu berbeda dan lebih menyakitkan mencintai lelaki itu, Alfa. Silma tengah duduk di meja belajar. Setelah bisa mengeluarkan foto dari pigura lalu ia pandangi selembae foto itu seraya tersenyum kecut. "Gue masih belum bisa lupain lo." Bibir Silma bergetar mengatakan itu. "Benar, ucapan lo Alfa. Kalau kita sama-sama masih saling mencintai. Tapi gue gak tau lo sekarang masih cinta ke gue atau enggak." "Gue berusaha lupain lo dan anggap lo teman dekat yang datng cuman mampir doang. Itu sulit. Gak tau lagi deh." Silma meraih gunting di sampingnya dan berniat menggunting fotonya bersama Alfa. Lagi-lagi hatinya menggagalkan niatnya, Silma meletakkan guntingnya dan tidak jadi merusak fotonya bersama Alfa. "Berat dan gue gak bisa lakuin ini." Bayang-bayang senyuman Alfa masih terputar jelas dipikirannya. Silma mengacak-acak ramburnya dan sesekali mendongakkan wajahnya. "Berat berat berat." "Rese'." Silma beranjak berdiri dan mendengus sebal. Ponselnya tiba-tiba berdering, ia langsung saja meraih ponselnya dan menerima telepon dari seseorang yang dikenalinya. 'Halo, Sil?' "Iya, Ky. Wih tumben telepon malam-malam." Silma masih berdiri dan mondar-mandir di pinggir kasur. 'Lo sudah belajar belum buat persiapan ulangan besok lusa?' "Emm 40% sih, lagi males saja apalagi baru dapat nilai jelek." 'Belajar bareng gue yuk!' ajak Kiky bersemangat. "Kita keluar gitu?" 'Enggak, kita VC-an hehe.' Dari seberang sana terdengar suara ketawanya Kiky yang hanya sebentar saja. "Boleh juga." Silma mengangguk setuju. 'Gue matiin dulu, nanti telepon yang VC.' "Okay, gue mau siapin buku pelajaran gue. Lo kan jago banget hitungan." 'Haha iya, gue juga.' Silma buru-buru menyiapkan buku-buku pelajaran di meja belajar sampai tidak sadar fotonya tadi terjatuh ke lantai. "Ide dari Kiky gak buruk juga ya." Silma menghela napasnya lega setelah selesai menyiapkan beberapa buku mata pelajarannya yang ingin dirinya tanyakan kepada Kiky. Tak berapa lama Kiky meneleponnya lagi, kali ini video call dan Silma menerimanya dengan gesit. "Sudah, Sil?" tanya Kiky sembari meletakkan ponselnya. "Sudah." Silma mengangguk mantap. "Tapi gue gak maksa sebenarnya, lo gak merasa terpaksa kan?" "Enggak justru gue seneng diajak belajar bareng sama lo. Kapan-kapan gitu ke cafe atau tempat yang cocok buat belajar bareng." "Ayo-ayo aja gue, Sil. Oh ya, Salma gak ada di sana?" tanya Kiky penasaran. "Dia lagi keluar," jawab Silma. Ia sudah paham saja pastinha Kiky tidak absen menanyakan Salma. "Ouh begitu." Kiky tersenyum kecil. 'Salma beneran keluar sama Malvin'---batin Kiky. "Yuk dimulai, Pak guru." "Biasa saja manggilnya." Kiky tertawa mendengar julukan dari Silma. "Emang lo pantes banger jadi guru, Kiy. Dosen, cocok banget sama lo. Gaya mengajar lo itu bikin gue langsung paham banget sama materi. Hebat lo!" Silma bertepuk tangan, memuji kepintaran Kiky. Mereka berdua pun belajar bersama bahkan sesekali bercanda agar suasananya tidak amat canggung. Apalagi Kiky yang notabenenya jarang bicara duluan ke lawan bicaranya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD