Part 37

2007 Words
Part 37 Malvin telah masuk kembali ke sekolah. Lelaki itu tersenyum lebar menyapa Salma yang tengah serius menatap ponselnya. Sebelum masuk kelas, dirinya sempat mengobrol bersama temannya di depan kelas. Mungkin ada yang penasaran Malvin terkena sakit apa. Tapi terlihat Malvin itu sekarang baik-baik saja walau masih ada perban ditangannya. "Salma." Salma tersentak kaget dan menoleh cepat saat mendengar seseorang yang akhir-akhir ini selalu dipikirannya. "Lo masuk sekolah?" "Iya ini masuk sekolah. Gue manusia ya entar lo kira gue setan." Malvim terkekeh pelan. "Lo gak masuk selama seminggu." "Gue emang sakit." "Palingan bolos, lihat aja diri lo baik-baik saja kemarin dan sekarang juga." "Sejak kenal lo, gue emang pengen masuk sekolah terus kok. Gue aslinya suka bolos," ucap Malvin. "Gue gak baper sama omongan lo ya. Terus kemarin mereka yang bawa lo itu siapa?" "Orang yang nyuruh gue pulang doang sih." "Tapi kenapa sampai geret paksa lo?" tanya Salma yang masih teringat jelas soal kemarin terakhir mereka bertemu dan setelah itu selama seminggu Malvin tidak masuk sekolah. "Gue yang terlalu nakal jadi pakainya geret paksa. Gue kan nakal dan gak bisa diatur." "Suruhan orang tua lo kan?" " Emm bisa dibilang begitu." "Ouh maaf, gue terlalu kepo sama kehidupan lo." Salma sada terlalu banyak tanya pada Malvin lalu meminta maaf atas kesalahannya. "Enggak masalah kok, namanya orang penasaran kan? Nanti kalau dipendam juga gak tenang." "Iya sih." "Gue itu sakit demam selama seminggu ini dan kakek gue yang buatin izin juga. Mungkin kalau kakek gue gak tau gue sakit pastinya gue ditulis A alias bolos. Kakek kemarin ke rumah gue sih." Malvin menjelaskannya sendiri agar Salma tak mengkhawatirkannya keadaannya saat ini. "Jujur sih, gue khawatir sama lo kemarin. Lo kayak mau diculik aja dan mereka kasar ke lo." "Didikan dari keluarga gue emang kasar juga. Gue baik-baik saja sekarang dan bisa gangguin lo lagi." Malvin menusuk jari telunjuknya ke lengang Salma beberapa kali. "Hih sakit tau. Mana kuku lo panjang, tuh ada potong kuku. Kuku lo bikin gue jijik lihatnya." Salma bergidik geli saat melihat kuku Malvin yang sudah panjang dan itu pun tidak terawat baik. "Gue males." "Karena gue gak suka sama kuku panjang. Sini gue yang potongan kuku lo." Tangan Salma mengadah dan yang lain mengambil pemotong kuku. "Enggak usah, gue bisa potong sendiri." Malvin yang tidak yakin Salma bisa memotong kuku orang lain, dilihat dari gelagatnya saja gadis itu akan kasar dan membuat Malvin cemas. Takutnya bukan kukunya saja yang dipotong melainkan sampai ke akar-akarnya. "Ambil sana!" suruh Salma pada Malvin. Malvin buru-buru mengambil pemotong kuku dan mulai memotong kukunya. Ia takut Salma marah jika tidak diturutinya. Dalam hati sebenarnya Salma tertawa puas melihat Malvin ketakutan seperti ini dan lelaki itu sangat patuh kepadanya. "Terus lo kok bisa sakit tiba-tiba? Aneh banget." "Kan sakit datang tanpa diminta dan pergi tanpa pamit. Sakit datang tiba-tiba." Malvin sebenarnya berbohong soal sakit demam dan kenyataannya punggungnya rasanya sakit disertai panas akibat pecutan dari ayahnya yang menghukumnya hanya karena dirinya tidak pulang ke rumah melainlan ke rumah kakeknya. Beberpa kali memang Malvin mendapat hukuman tidak hanya pecutan saja, pukulan-pukulan dari benda tumpul sudah dirinya rasanya sejak duduk di bangku sekolah menegah pertama dan tepat saat itu juga ada seseorang diangkat menjadi keluarganya. Orang itu pula yang mampu mengambil hati ayahnya sehingga dirinya tersingkirkan. Sebab mendiang neneknya dulu pernah bilang bahwa jika ada yang memiliki dua putra akan diberi hak waris paling banyak di antara yang lain. Ayahnya ingin mengambil itu semua dari sang nenek dan sekarang ayahnya lebih menyayangi bahakn memprioritaskan Kiky dibanding dirinya sebab Kiky adalah anak yang penurut serta mau disekolahkan di luar negeri sedangkan dirinya memang memilih sekolah di dalam negeri saja yakni di sekolahan ayahnya sendiri tapi ayahnya lebih memilih memberi perhatian khusus pada anak angkatnya apalagi anak angkatnya itu makin pintar sekali dan IQnya juga tinggi. "Iya sih sakit datang tiba-tiba." Salma mengangguk paham. "Selama seminggu, ada yang duduk di bangku gue?" "Cuman Cindy doang dan kadang-kadang tuh dua orang." Salma menunjuk Cerry dan Cika yang tengah asyik memandangi cowok ganteng dari jendela. "Cowok?" "Enggak ada." Salma menggeleng. "Kalau bisa emang gak ada ya." "Emang gak ada." Dahi Salma berkerut bingung menjawabnya. "Harus." "Apa sih? Gak jelas." "Gue gak suka aja sih bangku gue ditempati cowok lain. Cukup yang jadi Teman cowok lo sekarang itu gue." Malvin menunjuk dirinya sendiri seraya mengerlingkan matanya. ... "Ciee yang sudah resmi jadi ketua OSIS. Selamat bro." "Iya, terima kasih ya." Alfa tersenyum ketika teman-temannya memberikannya selamat dan bersalaman dengannya. "Terima kasih."Tak henti-hentinya Alfa mengucapkan kata terima kasih kepada semua orang. Hari ini Alfa telah resmi menjadi ketua OSIS SMA Louwis dan nantinya akan di arahkan lagi oleh para OSIS senior untuk menjalankan tugas. Ia tidak menyangka banyak yang mendukungnya dan penggemarnya yang banyak menjadi peluang dirinya memenangkan pemilihan ketua OSIS. Padahal ia baru saja menjadi murid di sini, karena wajahnya yang tampan dan murah senyum itu pula langsung banyak yang suka. Namun sayangnya rasa suka mereka hanya kepada Alfa saja, bukan ke Silma. Silma dianggap sombong, kaku intinya jauh berbeda dengan sifat Alfa. Ada juga sifat Silma yang paling menjadi sorotan publik karena terlalu manja pada Alfa dan tidak tau tempat. Selesai mengikuti acara rapat yang waktunya hanya sebentar, Alfa mencari keberadaan Silma. Kekasihnya itu tidak terlihat sama sekali bahkan menghampiri dan mengucapkan selamat kepadanya saja tidak. "Silma!" Alfa tersenyum lega bertemu Silma di perpustakaan dan kebetulan memang Alfa akan mengembalikan buku yang dipinjamnya lusa kemarin ke perpustakaan. Di sana Silma nampak duduk sendirian, telinganya terpasang earphone dan fokus membaca buku novel. Silma masih belum mendengar suara Alfa membuat Alfa bergegas mendekati gadis itu dan duduk di sebelahnya. Hari ini semua guru sedang rapat dan para murid memiliki waktu longgar meski banyak tugas yang didapat. Longgarnya yaitu bisa bebas bersantai ria tanpa takut dilarang oleh seorang guru. "Alfa." Silma sadar tatkala Alfa menarik earphone Silma secara perlahan. "Kamu di sini ternyata." "Iya." "Kamu kok gak ucapin aku sih? Tadi aku lihat di lapangan, tidak ada kamu di sana." Alfa menghela napasnya lelah sedangkan Silma menutup buku novelnya. "Aku tadinya mau menghampirimu tapi banyak fansmu yang mengerubungimu di sana." "Enggak papa kok, lagian mereka cuman sebentar doang." Alfa membelai rambut panjang Silma yang selalu diurai oleh gadis itu dan Alfa menyukai rambut kekasihnya yang indah. "Iya sebentar di sana, terus aku ikutan bukannya dapat jalan tapi malah dijambak." Sewot Silma. "Aku bisa kok negur mereka, aku itu selalu ada di sisimu." "Aku merasa kamu tidak bisa melindungiku." Lagi-lagi Alfa disalahkan, lelaki itu tersenyum masam padahal tujuannya mencari Silma yaitu mengharapkan gadis itu mengucapkan selamat dan menyemangatinya. Nyatanya mendapat omelan dari Silma dan rasanya lelah begini terus-menerus. "Kamu lagi PMS kah? Kamu itu tiba-tiba suka marah gak jelas." ""Gak jelas apanya? Emang kamu itu salah." "Aku terus yang disalahkan. Kamu enggak pernah ya ngertiin aku." "Kamu juga gak pernah ngertiin aku." "Dimohon yang ribut di dalam perpustakaan, segera keluar ya!" perintah seorang penjaga perpustakaan. Akhirnya Alfa dan Silma keluar dari perpustakaan. Namun keduanya saling diam selama beberapa menit saja. "Sil." Alfa menahan Silma agar tidak pergi dulu. "Apa?" Silma menatapnya datar. "Sebenarnya apa yang kamu mau?" "Aku ingin diakui kalau aku itu pacarmu. Penggemarmu selalu benci aku. Harusnya kamu marahi bukan menegur." "Aku tidak bisa marah ke perempuan dan cuman bisa negur doang." "Negur doang gak bikin mereka takut. Ditatap sinis mulu bikin aku enggak nyaman." "Biarin aja, Silma. Hidup itu ada aja orang yang suka dan tidak suka sama kita. Hiraukan saja dan kalau tambah dipikir malah kita yang tidak tenang." Alfa merangkul Silma dan syukurlah Silma tidak menghempaskan tangannya seperti biasa jikalau lagi marah. Alfa berusaha sabar dan mengalah demi hubungannya dengan Silma agar tidak merenggang. Beginilah perempuan, tiba-tiba marah tidak jelas dan suasana hati bisa berubah begitu cepat. "Tapi tetap saja, aku kepikiran." "Ada aku." "Kenapa aku tidak bisa diterima baik dan selalu mendapat perlakuan buruk dari mereka? Apa yang salah padaku? Itu yang selalu berada dipikiranku." Silma memijit keningnya pelan. "Tidak ada yang salah. Kamu lebih baik dari mereka kok." "Aku memang yang paling pantas bersanding denganmu dibanding mereka." Silma makin senang dipuji oleh kekasihnya dan mendongakkan wajahnya saat sudah berada di koridor yang suasananya nampak ramai. "Nah gitu dong, kamu harus percaya diri dan abaikan tatapan mereka yang membuatmu takut." "Aku akan mencobanya meski sulit dan aku berani begini karena ada kamu di sampingku." Silma menyunggingkan senyumnya lebar menoleh ke Alfa. "Iya, Sayang." Alfa tersenyum seraya menepuk puncuk Silma dengan lembut. "Kamu mengantarku sampai ke kelas?" "Pastinya." "Oh ya, aku baru ingat dan lupa sesuatu tadi." Silma tiba-tiba menghentikan langkahnya membuat Alfa kebingungan. "Ada apa, Sil?" "Hehe selamat ya sekarang sudah jadi ketua OSIS." Silma menjulurkan tangannya di hadapan Alfa. "Ouh iya, terima kasih." Alfa mengangguk dan tersenyum meski terkesan terlambat Silma mengatakannya. "Sama-sama. Kalau sudah jadi ketua OSIS, jangan abaikan aku ya!" ucap Silma mengingatkan. "Iya, aku usahain selalu kasih kabar ke kamu." Alfa kembali merangkul Silma. "Bakalan sibuk ya?" "Enggak terlalu mungkin. Aku akan buat jadwal, aku biasanya keteteran sih." "Aku jadi khawatir," balas Silma memasang raut wajah khawatir. "Enggak usah memikirkan hal-hal negatif," kata Alfa. "Kebiasaanku." Silma mengajak Alfa bergandengan saja. Di tengah perjalanan menuju kelas Silma. Mereka berdua bertemu Silvia dan gengnya. Namun yang menarik perhatian Silma adalah adanya Sofi di antara mereka. "Sofi," sapa Silma kepada Sofi. "Hai Sil." Sofi tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah Silma. "Kamu kok---" "Wow, kalian berdua semakin lengket saja ya." Silvia langsung memotong ucapan Silma yang tengah mengobrol dengan Sofi. Gadis itu bersedekap d**a dan berjalan selangkah mendekat ke Silma. "Lo mau siksa temanku juga ya?" tanya Silma yang cemas. "Enggak, Sil. Aku baik-baik saja kok." Sofi menyahut. "Tuh denger sendiri kan, dia baik-baik saja dan lo tidak usah ikut urusan kita." Silvia tersenyum miring dan memainkan rambutnya sendiri. "Tolong jangan siksa Sofi, gue gak akan temenan sama dia biar kalian gak nyiksa dia. Gue gak mau bikin dia terluka gara-gara gue." pinta Silma. "Ouh begitu kah? Sok peduli banget sih. Ups!" Silvia yang akan membelai rambut Silma malah ditepis kasar oleh Alfa. "Jangan sentuh dia, gue tau niat lo buruk!" sentak Alfa menatap tidak suka kepada Silvia. "Aku selalu buruk di matamu ya? Sayang, kamu jahat banget sih." Silvia mengeluarkan suara sok imutnya dan memanyunkan bibirnya. "Tidak usah goda pacar orang!" "Idih mbaknya ngambek nih. Tapi sayang sekali pacarnya begitu menggoda dan seksi." Silvia hanya fokus memandang ketampanan Alfa yang tidak pernah pudar dan semakin seksi saja menggoda kehadirannya, pikirnya. "Cari cowok lain sana, banyak kok yang tampan. Kita saling mencintai dan jangan ganggu hubungan kita! Kamu masa lalunya dan aku masa depannya," ujar Silma yang menggebu-gebu dan makin menggenggam erat tangan Alfa. "Segitu cintanya kah diri lo ke dirinya?" tanya Silvia seraya menaikkan sebelah alisnya. "Iya, gue cinta banget sama dia dan dia juga begitu ke gue." "Ah begitu." Silvia mengangguk pelan dan kembali menatap Alfa yang hanya diam saja. "Iya kan Alfa?" Silma menyenggol lengan Alfa agar dia mau menyahut ucapannya. "Ah iya ya." Alfa mengangguk saja. "Anak-anak yang manis. Silakan pergi dan kalian beri jalan pasangan yang manis ini!" suruh Silvia pada teman-temannya. Silma menarik tangan Alfa dan melintasi mereka. Emosinya makin naik saja ketika bertemu dengan Silvia. "Sudah Silma." Alfa memelankan jalan mereka agar lebih santai saja. "Kamu kok cuman diam mulu sih, harus ya dikode baru mau menyahut?" tanya Silma yang sudah kesal mengingat tadi kekasihnya harus dipanggil dulu baru menyahut dan itu sangat mempermalukan dirinya di depan Silvia. "Aku diam bukan berarti aku tidak peduli padamu. Percuma kamu bicar panjang lebar sama, bikin tambah emosi saja." Alfa menggaruk tekuknya yang tidak gatal. "Ya, tapi kan setidaknya kamu jangan cuek sama aku kalau di depan Silvia." "Bukan begitu sih. Aku itu mengawasimu, asal mereka tidak menyentuhmu dan aku tenang. Kamu gak lihat tadi, aku tepis tangannya supaya tidak sentuh fisikmu." Sanggah Alfa. "Iya ya." Silma masih memasang muka bete dan tidak mau bergandengan tangan dengan Alfa. "Jangan ngambek!" Alfa mencubit pipi Silma. "Jangan dicubit! Sakit tau." Silma memukul lengan Alfa. "Habisnya masang muka jelek begini. Yang cantik dong." "Aku emang jelek kok." "Enggak, senyum dong." "Males." "Senyum, Sayang." "Aku gak mau ih." "Aku gelitikin nih." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD