Part 57

2556 Words
Part 57 . Silma sedang mencari ruang kelasnya untuk ulangan. Semua kelas memang diacak dan masing-masing mendapat kertas berukuran kecil yang bertuliskan nama, kelas, nomor ulangan serta nomor ruangan. Lalu seluruh murid masing-masing kelas dari kelas 10 sampai kelas 12 mendapat jadwal berangkat dan pulang sekolah secara berurutan. Ketika ulangan seluruh nurid dari masing-masing kelas mendapat ruangan yang berbeda sesuai absen dan seorang guru dari wali kelas mereka telah mengaturnya sedemikian rupa dari jauh-jauh dari. Supaya mengurangi kerja sama antar teman sekelasnya. Walau mungkin juga bisa antar kelas lain. Tidak hanya di sekolah Silma, peraturan seperti itu juga dilakukan di sekolah Salma dan sekolah lain juga. Silma mendapat ruang kelas ulangan terletak di lantai dasar dan ia juga terpisah dengan dua temannya yaitu Sofi dan Kiky. Mereka berdua ruang kelas ulangannya di lantai dua. Sedih karena nanti Silma merasa bakal sendirian dan sepi sebab dua temannya itu malas turun begitu pula dengannya yang malas wara-wiri di lantai dua. "Mengapa mereka beda kelasnya jauh banget sih? Kan gue ingin mereka di lantai satu biar kalau belajar bisa bareng." Silma sedikit kebingungan dan takut salah masuk ruangan. Ia malu bertanya kepada beberapa murid yang berlalu di hadapannya dan ada yang duduk-duduk santai di sekitaran koridor ini. Ia akhirnya mencari tau sendiri dengan mengecek satu per satu ujung meja yang terdapat tulisan nama murid dan persis kertas berukuran kecil yang dibagikan oleh wali kelas masing-masing kemarin. Meskipun dirinya sedang ditatap aneh oleh murid-murid di dalam kelas ini. Silma berusaha mengabaikan mereka dengan menundukkan wajahnya dan tidak berani menatap balik ke mereka. "Sudah gue duga ruang kelas gue di sini." Silma memekik kegirangan ketika sudah menemukan mejanya. Silma segera duduk dan menghela napasnya lega. Setelah sekitar kurang lebih setengah jam mencari ruang kelas ulangannya, akhirnya bisa menemukannya dan mulai mengeluarkan buku mata pelajaran sesuai jadwal ulangan jam pertama nanti. Ia membaca ringkasan di buku catatannya, kemarin dirinya mempelajari materi kisi-kisi yang diberikan oleh guru dan berharap materi itu benar-benar keluar di waktu ulangan berlangsung nanti. Terkadang materi juga bisa beda dengan soal ulangan. Pasti semua murid pernah mengalami begini. Yang dipelajari apa yang keluar apa. "Semoga hafal, amin." Mendengar suara bel masuk, Silma memasukkan kembali buku-bukunya ke dalam tas serta tidak lupa ponselnya. Ia sangat anti yang namanya curang di waktu ulangan dan selalu bersikap mandiri. Silma menjaga dengan betul kertas jawabannya dari dulu bahkan adiknya waktu SD pun tak pernah diberitahu kertas jawabannya. Walau begitu, ia tak pernah mengurusi murid lain yang curang demi mendapatkan nilai yang bagus dan Silma prihatin saja mengetahui ada murid yang nantinya melakukan kecurangan ketika waktu ulangan berlangsung. Silma memainkan papan kertas ulangan dan penanya sambil menunggu guru datang. Tidak lupa tadi tas semua murid di letakkan di bawah papan tulis termasuk Silma sendiri yang paling pertama meletakkan tasnya di sana. Silma menatap beberapa bangku ada yang masih kosong dan heran saja padahal sudah waktunya masuk kelas. Sembari menunggu gurunya datang, bibir Silma komat-kamit menghafalkan ringkasan materi ulangan dan rasanya deg-degan sekali karena ini adalah ulangan semester pertama di kelas 10. Saingannya sangat banyak dan Silma ingin mendapat ranking satu dalam paralel. Seluruh murid dikejutkan kedatangan segerombolan gadis berjumlah lima orang dan satu diantaranya adalah leadernya yang menobrak pintu setengah tertutup. Jelas itu terkesan tidak sopan, namun bagaimana lagi mereka mengenal leader dari geng segerombolan gadis yang melangkah dengan angkuhnya masuk ke dalam ruang kelas ulangan di sini. Seluruh murid di kelas ini kecuali Silma yang sibuk sendiri langsung menundukkan kepalanya bahkan ada yang pura-pura tidak melihat mereka sebab ada alasan tersendiri mereka melakukan itu. Leader dari segerombolan gadis itu adalah Silvia Grizelle. "Wow wow." Mata Silvia tertuju pada seorang gadis yang duduk di belakang paling ujung sendiri dan belum menyadari kehadirannya. Silvia tersenyum penuh arti mengetahui ada Silma di kelas ini dan berarti sekelas dengannya di waktu ulangan. "Sil, ada guru." Mika--teman Silvia yang bertugas memantau keadaan, memberitahukan kepada Silvia. Silvia mengangguk dan berjalan gontai ke arah bangku belakang. Ia duduk dibangkunya yang berseberangan dengan bangku Silma dan salah satu temannya bernama Tifany sebangku dengan Silma. Teman Silvia yang lain juga ikut duduk di bangku mereka masing-masing. Silvia duduk bersama temannya yang bisa diajak kerja sama sewaktu ulangan nanti. "Musuh lo tuh." Bisik Venya--teman sebangku Silvia. "Bukan musuh sih tapi tempat bersenang-senang kita kedepannya." Silvia masih menatap Silma sampai Silma itu sadar. Silma merasa sudah ada orang duduk di sampingnya lantas menoleh dan tatapannya tak sengaja bertemu pandang dengan seseorang yang seharusnya dirinya hindari. Silvia melambaikan tangannya dan mengatakan 'hai' tanpa suara. Lalu Silma melirik teman sebangkunya dan tubuh Silma membeku. Ia dengan cepat menghadapkan tubuhnya ke depan sebab perasaannya mendadak tidak enak dan raut wajahnya nampam cemas. Silma tidak menyangka bisa sekelas dengan Silvia dan lagi temannya itu menjadi teman sebangkunya. Di deretan bangku belakang dikuasi oleh gengnya Silvia. 'Kenapa gue bisa sekelas sama dia? Harusnya gue baca dulu daftar nama-nama murid di kelas ini tapi emang gue gak kepikiran ke situ sih' 'Mendadak gak enak banget, dari raut muka mereka seperti mau mencelakai gue' Silma menggerutu di dalam hatinya dan kedua tangannya sambil meremas. Benar-benar kondisinya sekarang tidak enak dan ingin pindah kelas ulangan. Namun itu tidak mungkin terjadi dan dia harus pasrah kali ini. Seorang guru pengawas ulangan semester satu telah memasuki ruangan. Guru itu menyiapkan kertas soal dan jawaban kemudian diberikan kepada murid yang duduk di depannya untuk membagikan ke seluruh murid di kelas ini. Guru itu memilih duduk santai sambil menatap ponselnya. Setelah semuanya sudah mendapatkan kertas soal dan jawaban barulah berdoa bersama sebelum mengerjakan kertas ulangan tersebut. Selesai sudah, guru berkeliling bangku ke bangku murid di kelas ini dan membawa dua lembaran kertas lalu menyuruh para murid menandatangani kertas yang dibawanya. Kertas itu berisikan daftar hadir dan jika ada yang belum tanda tangan itu berarti tidak masuk atau terlambat ketika ulangan. Urutan nomor absen Silma paling akhir dan kertas itu berhenti dibangku Silma. Karena gurunya sudah duduk dari tadi ketika setengah perjalanan menuju bangku ke bangku merasa capek akhirnya Silma disuruh ke depan untuk mengumpulkan kertas kehadiran. Silma beranjak berdiri dan melangkah berhati-hati ketika dirasa gengnya Silvia menatapnya. Ia benar-benar sangat takut sekali dan selalu overthinking setiap bertemu mereka apalagi kini menjadi teman sekelas sewaktu ulangan. "Terima kasih." Guru pengawas itu tersenyum seraya menerima kertas kehadiran dari Silma. "Sama-sama, Bu." Silma kembali ke bangkunya. Silma yang merasa gengnya Silvia tidak berani karena ada gurunya, sedikit bernapas lega dan berjalan santai. Tiba-tiba... 'Bruk' Silma terjatuh saat akan melewati bangkunya sendiri dan melihat ada kakinya yang sengaja membuatnya jatuh. "Silma, kamu tidak apa-apa? Kok bisa jatuh begitu?" tanya seorang guru yang mendengar suara keras dari arah Silma. Para murid selain gengnya Silvia tidak ada satu pun murid yang melihat Silma atau sekedar menolongnya. "Saya cuman kesandung dikit, Bu." Silma berdiri dan melirik ke bangkunya. Teman sebangkunya itu tersenyum miring. "Apa? Jatuh kan lo, kasian amat!" Desis Tifany, menatap tajam ke Silma yang masih berdiri di sampingnya. "Bagus banget pemandangannya tadi, uh sayang gak ke foto." Seseorang menimpali ucapan Tifany, Mika--teman sebangku Silvia. Tangab Silma mengepal kuat dan ada sebuah rasa yang berjongkok di hatinya. "Itu masih teman gue, bukan gue lho yang turun tangan langsung." Silma mendengar siapa pemilik suara itu dan berada tepat di sampingnya. Silma segera duduk dan memfokuskan pikirannya kepada ulangannya. Di tengah dirinya mengerjakan, Silma merasa bising dan resah sebab teman-teman Silvia tidak bisa berhenti bertanya bahkan ada yang saling melempar kertas contekan. Silma mendongakkan wajahnya dan melihat gurunya yang malah tidur. 'Pantas saja guru pengawas tidak menegur karena sedang tidur'--batin Silma. Di posisinya kali ini sangatlah tidak tenang sekali. Berulang kali Silma membenarkan mejanya yang bergerak terus sebab Tifany tidak bisa diam sedari tadi. Silma juga berhati-hati sewaktu mengisi jawaban walau sesekali menghapusnya karena tercoret. Untung saja kertas jawaban diisi dengan pensil bukan uraian karena ulangan ini masih semester satu dan hanya menjawab pilihan ganda. 'Ini ulangan dan gue lagi diuji banget'--Tentu Silma ingin marah dan membentak Tifany yang sengaja mengganggunya. "Jawaban yang membingungkan." Gumam Silma yang lagi serius membaca soal ulangannya. Silma melirik kertas jawaban Tifany yang masih kosong dan temannya Silvia itu hanya mengisi data diri saja. 'Dia niat ikut ulangan apa enggak sih?'--komentar Silma yang pastinya Silma berani berucap begitu di dalam hatinya saja. Tak terasa waktu sudah berakhir dan Silma masih meneliti jawabannya. Apakah ada yang kurang atau tidak. Herannya, gengnya Silvia sudah keluar lebih dulu dan paling cepat selesainya dibanding murid lain termasuk dirinya. Padahal tadi mereka tampak santai mengobrol entah membicarakan apa. Merasa sudah tidak ada yang kurang, Silma menumpuk kertas jawabannya dan mengambil tasnya di sana. Untuk tadi, Silvia dan teman-temannya masuk kelas tanpa membawa tas. Apalagi Tifany itu meminjam pensil kepadanya tanpa ada rasa sopan seperti mengambil begitu saja bahkan pensilnya sampai sekarang masih dibawa. Silma lagi-lagi menghembuskan napasnya dan menenangkan pikirannya sebelum belajar lagi mata pelajaran yang lain. Silma membawa makanan cemilan dari rumah jadi ia tak perlu lagi beranjak ke kantin ditambah lagi sejak tidak bersama Alfa, hari-harinya terasa sepi saja dan malas keluar kelas. "Untung saja mereka enggak tau kalau gue ini juga termasuk murid pintar. Bisa gawat kalau mereka tau." "Yuk jangan mikirin mereka bikin nambah pala pusing." Silma membaca ringkasan dan mencatat lagi beberapa materi penting yang belum ditulis. ... Salma merasa santai karena berangkat lebih siang dari biasanya. Hari ini adalah hari ulangan yang ditunggu-tunggu oleh Salma. Yang ditunggu Salma yaitu berangkat siang dan ia bisa tidur sampai kesiangan. Salma masih tiduran dan menyalakan televisinya. Ia masih mengumpulkan nyawanya dan malas untuk duduk. Bahkan ia kembali menutup matanya yang terasa berat untuk dibuka. "Pusing gara-gara belajar bisa menjamin pintar gak ya?" tanya Salma kepada angin kamarnya. "Males banget, masih jam berapa sih?" Salma membuka matanya susah payah. "Masih jam sembilan." "Perut laper sumpah." Salma mengelus perutnya. "Cuss mandi, makannya nanti aja." Salma menguap lebar dan bangun dari baringnya lalu pergi ke kamar mandi. Sudah selesai mandi dan berseragam sekolah. Salma turun ke bawah dan seorang pembantu mengingatkannya untuk sarapan. Sambil sarapan pagi, Salma membuka ponselnya dan memilih aplikasi chattingnya. Sebenarnya jika orang tuanya tau dirinya makan sambil memegang ponsel dipastikan kena omelan karena sikap itu tidak diperbolehkan dan harus fokus pada makanannya. "Bi, tolong buatin aku jus!" pinta Salma saat pembantunya baru saja meletakkan air putih. "Buat bekal, Non?" tanya pembantunya yang sudah paham permintaan Salma, anak majikannya. "Iya, Bi. Terserah jus apa yang penting dingin, butuh seger-seger soalnya." Salma mengulum senyumnya. Pembantunya mengangguk dan pergi ke dapur membuatkan Salma jus yang terpenting dingin, katanya. Salma hampir saja tersedak kalau saja tidak segera meneguk air putihnya. "Jari gue nakal banget deh, ngapain sih lihat statusnya dia?" Salma melototi jempolnya. Seberapa detik setelah tak sengaja melihat status seseorang, orang itu malah memberinya pesan dan Salma mau tak mau membaca pesan dari Malvin. Siapa lagi kalau bukan cowok itu yang dekat dengannya dan membuat jari jempolnya itu terhipnotis sehingga tidak sengaja menekan statusnya yang otomatis Malvin bisa mengetahuinya bahwa dirinya melihat statusnya pagi ini. Malvin: Lagi gabut ya neng Salma memutar bola matanya malas dan berdecih sinis. Ia tak membalas pesan dari Malvin. "Terima kasih, Bi." Salma tersenyum ketika pembantunya menyiapkan jus jambu biji di meja. "Sama-sama. Ada lagi gak, Non?" "Gak ada, Bi." "Oh gitu, ya sudah saya pamit ya." "Iya, Bi." Ponsel Salma bergetar menandakan ada pesan masuk lagi. Ia membuka pesan dari Malvin dan dahinya berkerut bingung membaca pesan tersebut. Malvin: Sal, lo pernah mandi divideoin gak? Salma: Enggak Salma menghentikan makannya dan entah mengapa dirinya terfokus pada pesan Malvin kali ini. Malvin: Gue tadi lihat video lo lagi mandi Salma: Bohong lu! Malvin: Beneran, bentar gue kirimin videonya Eh tapi sinyak gue lelet jadi agak lama terkirim ke lo Salma: Lo ini (emot marah padam) Salma melanjutkan sarapannya sampai habis dan duduk santai sebentar sambil menunggu video yang dikirimkan oleh Malvin. "Perasaan gue gak pernah mandi divideoin deh, jangan-jangan ngaco ini tapi gue kok penasaran." Salma antara percaya dan tidak percaya saat ini memikirkan pesan dari Malvin. Salma langsung mengecek ponselnya dan mengunduh video yang sudah terkirim kepadanya. Ternyata... "Anjim gue disamain sama tikus!" pekik Salma kesal menonton video tikus yang sedang mandi sendiri dan benar-benar mandiri sekali eh. Lalu Malvin mengirim stiker, sikter gambar monyet sedang tertawa mengakak. ... Ulangan hari ini telah selesai, semua murid keluar dari kelasnya masing-masing setelah guru memberikan intruksi. Silma memilih pulang paling cepar sendiri sebab was-was berada di sekitaran gengnya Silvia. Mengingat tadi dirinya dibuat jatuh tersungkur dan masih terasa sakit pada lutut kakinya. Gadis itu meminggirkan tubuhnya dan mulai memberi pesan kepada sang sopir. Ia lega mengetahui sang sopir sedang dalma perjalanan menjemputnya. 'Lihat aja lo, gue gak main-main sama ucapan gue kemarin dan gue kasih lo sedikit kelonggaran waktu sekarang'---batin Silvia di dalam hatinya. Memperhatikan Silma sambil bersedekap d**a. Terlihat Silma sangat menghindarinya dan ingin segera keluar dari kelas ini. "Yuk cabut!" ajak temannya yang langsung diangguki oleh Silvia. Silvia dan teman-temannya sudah keluar dari kelas. Mereka melangkah ke parkiran dan dengan santainya sampai tidak mau meminggirkan tubuhnya ketika banyak kendaraan berlalu lalang. Dari kejauhan di lantai dua, ada seorang gadis berambut dan berkaca mata berharap mereka segera pulang duluan. Gadis itu adalah Sofi. Sofi menunggu mereka benar-benar pulang kemudian barulah turun ke bawah. Dia celingukkan mencari seseorang dan ketika sudah bertemu segera menghampiri temannya itu yang tengah berdiri di samping pos satpam sekolah. "Hoii!" Sofi memegang pundak Silma dan Silma tersentak kaget. "Kamu ngagetin aja, Sof." Silma menepuk pundak Sofi. "Hehe, gimana tadi ulangannya? Bisa semua?" tanya Sofi berbasa-basi. "Bisa dong. Masuk di ulangan tadi materi yang aku ringkas kemarin, seneng banget dan semoga bisa dalat ranking satu paralel." Silma tersenyum lebar hingga matanya menyipit. "Syukurlah kalau bisa semua dan maaf ya aku gak bisa datang ke kelasmu. Aku malas turun saja," ucap Sofi berbohong. Sebenarnya dia memang tidak mau saja di kelas Silma sebab ada Silvia dan gengnya serta Sofi tidak mau mereka mengira dirinya berada di pihak Silma. "Enggak, aku tau pasti bakalan capek wara-wiri apalagi naik tangga. Eh ya, ketemu Kiky gak?" tanya Silma. Memiliki niat ingin mempertemukan adiknya dengan Kiky hari ini selepas pulang sekolah. "Tadi ketemu tapi dia kayak buru-buru gitu sih. Buru-buru mau pulang maksudnya," jawab Sofi. "Oh begitu." "Emang kenapa, Sil?" tanya Sofi bingung. "Ya ada lah hehe." Silma terkekeh pelan. "Haduh udah mulai move on dari Alfa ya?" "Belum sih." Silma menggelengkan kepalanya pelan. "Jadi lo masih memikirkan dia?" tanya Sofi lagi. "Sering bahkan tiap hari, gue kangen sama dan ingin peluk dia." Silma tersenyum kecut dan tidak mungkin hal itu bakalan terjadi lagi. "Kalau lo emang ditakdirkan sama dia ya sampai kapan pun kalian bakal bersama." "Iya, Sof. Ah begini ya rasanya galau." "Mending sok sibuk saja biar gak galau-galauan." "Ya aku udah nyobain begitu tapi tetap saja memikirkan dia. Kenangannya yang manis itu lho apalagi gue gak pernah merasakan pacaran." "Entar juga merasakan itu lagi dan mending fokus saja sama masa depan kita." Sofi menyarankan. "Iya, Sof." "Eh aku pulang dulu yah, udah di jemput!" pamit Silma sembari mengangkat tangannya dan mendekati mobil jemputannya. "Hati-hati!" Sofi tersenyum kecil. 'Semoga lo baik-baik saja, Sil. Maafin gue yang gak bisa bantu lo'---ucap Sofi di dalam hatinya. Silma masuk ke mobilnya dan sudah ada Salma di dalam mobil. Nantinya sebelum pulang, sang sopir mengantar Salma terlebih dahulu. Silma menatap Salma yang enggan menatapnya balik. Andai saja tidak seperti ini situasinya, Silma akan menceritakan keluh kesahnya kepada Salma seorang. Bukan seperti sekarang yang hanya bisa memendam saja apa yang terjadi kepadanya. ...

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD