10.Gas Usaha

2948 Words
Noah POV. Ampun….kenapa Bella diam aja sih?. Waktu masih ada dokter yang jadi bosnya, aku masih bisa mengerti. Sekarang tuh dokter yang jadi bosnya sudah berlalu keluar ruang praktek. Masa masih diam aja?. Memang sih focus pada mulutku yang mengnganga karena dia memang periksa gigiku yang sebenarnya baik baik saja. Aku yang gagal focus melihat wajahnya yang dekat sekali dengan wajahku. Sekalipun tatapan matanya lebih kea rah mulutku dan dia memakai masker, tapikan ada penampakan sepasang matanya yang bening sekali. Gimana caranya aku jeda dan mengajaknya bicara kalo posisi kami seperti ini. Yakan mulutku sedang mangap, gimana aku mengajaknya bicara. Sudah dia korek korek gigiku. Yang tadinya tidak terasa ngilu, malah jadi terasa ngilu. “WAIT!!!” jedaku setelah menyingkirkan tangannya dari mulutku. Dia mengangkat alisnya menatapku. “Jangan serius banget apa Bel, gue bukan pasien yang gak elo kenal, ngomong kek” protesku. Malah mengerutkan dahinya menatapku. “Yakan dokter yang jadi bos elo aja suka sambil ajak ngobrol pasien, minimal tanya kek mana yang sakit” protesku lagi. “Kayanya gak ada masalah sama gigi abang deh” jawabnya bersuara juga. Thanks God!!, akhirnya buka suara juga. “Itu sih kenapa elo korek korek?” omelku jadinya. “Ya biar sekalian sakit, supaya abang gak bohong” jawabnya santai sekali. Terbahaklah aku dan dia memutar matanya. “Yaelah, gue bilang jangan serius banget” protesku lagi. Dia menghela nafas. “Gue bukan lagi main di rumah si kembar, yang bisa buat gue bercanda. Gue di ruang praktek dokter gigi, walaupun gue belum jadi dokter gigi, gue tetap mesti gimmick seakan gue dokter gigi” jawabnya. “Benar juga…” ledekku. Dia menghela nafas lagi. “Udah selesaikan bang?, gue mau balik nih” katanya kemudian. Panik dong aku, jadi aku tahan tangannya supaya dia tidak beranjak. “Bel…” rengekku. “Apalagi bang?. Bisa gak jangan ganggu gue lagi?” pintanya. “Gak bisa” jawabku lalu cengar cengir karena dia terbelalak menatapku. Dia lalu melengos menghindari tatapanku. “Kemana aja sih lo?, ke rumah si kembar gak ada, elo kemana?, di rumah aja apa main sama Kiera?” tanyaku mencari tau. “Bukan urusan abang” jawabnya masih tanpa melihatku. “Bel…sejak kapan elo gak suka lihat muka gue?, elo bilang gue keceh, jadi elo suka lihat muka gue” protesku masih mencekal tangannya setelah aku duduk di meja periksa gigi dari sebelumnya aku rebahan untuk di periksa gigi. “Udah gak lagi sekarang, males malahan lihat muka abang sekarang” jawabnya. “Waduh…jangan dong Bel. Mas ague mesti oplas dulu biar elo mau lihat gue lagi” protesku lagi. Dia menghela nafas lagi. “Udah apa bang, udah enak kaya gini, gue jadi gak perlu kesal kesalan gak jelas gara gara abang” katanya baru menatapku. Gantian aku menghela nafas. “Tapi gue gak enak Bel, aneh rasanya gak di ganggu elo. Apa gangguin elo” keluhku jujur juga akhirnya. Aku kehabisan akal untuk buat dia memaafkan aku atau setidaknya mau bicara lagi padaku. “Ya abang ngapain kek, gangguin yang lain kek. Asli deh mending kita masing masing, gak usah dekat dekatan juga” jawabnya. “Kan emang kita memang gak dekat dekat, tapi masih komunikasi. Ini elo blok nomor guekan?” tembakku. Dia melengos lagi menghindari tatapanku. “Mesti ya Bel sampai elo blok nomor gue?. Jadi elo beneran gak mau kenal gue lagi?” kejarku drama sebenarnya. Aku bisa memikirkan cara lain supaya Bella maafkan aku, lalu kami baikan lagi, apalagi circle pergaulan Bella yang sama dengan circle pergaulanku. “Bel…” tegurku lagi menjeda diamnya. “Kayanya memang mending gitu deh bang. Abang jadi bisa focus sama urusan abang, di banding nanggapin kegabutan gue, atau obrolan gak penting yang suka gue lakuin ke abang. Abangkan tau, gue cewek bego” jawabnya lalu menghindari tatapanku lagi. “Bel….maaf…” rengekku mengguncang tangannya supaya dia lihat penyesalanku. Dan berhasil kalo akhirnya dia menatapku lagi. “Gak apa bang, malah gue makasih sama abang, udah nyadarin gimana begonya gue jadi cewek” jawabnya lalu tertawa pelan. Kok aku kasihan ya lihatnya. Tawa itu terasa palsu, dan ada rasa nyeri yang merambat naik di dadaku. “Bel…maafin gue…” rengekku lagi. Dia menghela nafas lagi. “Udah ah bang, stop drama drama lagi mulai sekarang. Gue cape banget, sumpah!!. Kalo elo gak pernah perduli sama gue, kasihanin gue kek, kali ini aja” jawabnya sambil melepaskan cekalan tanganku. Tentu aku menolak dengan tetap mencekal tangannya. “Siapa bilang gue gak perduli sama elo. Gue perduli, gue khawatirin elo trus, elo aja yang gak ngerti” bantahku. Dia diam walaupun tidak menatapku tapi membuang tatapnya ke lantai. “Maafin apa Bel, gak boleh tau musuhan sampai lebih dari 3 hari. Dosa, tanya aja pak ustad” gurauku. Malah cemberut menatapku setelah dia membuka masker yang dia pakai. “Abang tuh bisa banget rayu gue. Heran!!. Udah bikin kesal, sekarang rayu minta baikan, abang tuh maunya apa sih?” keluhnya masih cemberut. “Ya baikan, elo gak kangen gue apa Bel?” jawabku. “GAK!!” jawabnya galak. Gak pantas sih jadi aku tertawa. “Bel…” rengekku lagi. “Udah ah, resek tau gak abang tuh” keluhnya lagi. “Ya terus gue mesti apa, biar elo maafin gue?” tanyaku tak mau menyerah. “Nyapu monas sana” jawabnya galak lagi. Aku tertawa lagi. “Jangan dong, nanti gue sakit, elo khawatir. Gak enak tau khawatir sama orang tuh” balasku. Dia kembali diam sekarang. “Bel…baikan apa” rengekku menjeda diamnya lagi. “Iya udah baikan, RESEK!!” omelnya lalu beranjak dari hadapanku. Aku tertawa lagi, tapi lalu panik saat melihatnya bersiap keluar ruang praktek. Buru buru dong aku kejar, enak ajak aku di tinggal begitu aja. “Mau kemana?” tanyaku menjeda langkahnya yang hampir mencapai pintu. Dia menggeram sekarang. “APA LAGI SIH BANG!!” bentaknya kali ini. “Mau kemana?, masa gue di tinggal?” protesku. “Gak dengar suara azan asar?, gue mau usoli trus pulang” jawabnya benar sekali karena suara azan terdengar dari speaker yang ada di lorong luar ruang praktek dokter. Persis di rumah ayah Nino dan papa Eno yang memasang speker azan di area umum rumah mereka, supaya orang tau kalo sudah masuk waktu sholat. Di rumah sakit juga begitu, walaupun bercampur dengan speaker untuk pusat infomasi. “Bareng, gue juga mau usoli, terus gue antar elo pulang. DAN GUE GAK NERIMA DI TOLAK!!” bentakku gantian di bagian akhir. Dia menggeram lagi. “SERAH!!, MINGGIR!!” balasnya menjerit mendorong tubuhku menyingkir dari pintu. “Astaga…cewek kalo ngambek ngapa mendadak kaya wonder woman yang punya kekuatan super” ejekku. “BODO!!” jawabnya beneran berlalu meninggalkanku. Yang resek tuh sebenernya dia, bukan aku. Aku udah minta maaf, usaha juga perbaiki hubungan silaturahmi kami, kok ya masih jutek terus?. Tapia pa aku punya pilihan?, sudah terlanjuran, kepalang basah, mending mandi sekalian, istilahnya gitu. Lalu seperti mengerjaiku, dia membiarkan aku menunggu lama dong di depan ruang istirahat atau ruang tunggu suster ya?, entahlah aku tidak tau, pokoknya dia masuk ruangan itu dan tidak keluar keluar. “Lama banget sih??” semburku kesal juga jadinya. “Lah gue mana tau kalo abang nungguin gue, kirain ke masjid buat usoli” jawabnya santai sekali. Aku yang menggeram kali ini. “Gue bilang tadi bareng, artinya elo usoli juga di masjid barang gue” omelku. “Mager, jadi gue usoli di dalam tadi, abang sana usoli di masjid” jawabnya. Astaga…menguras emosiku sekali Bella hari ini. “Temanin!!” jawabku mencekal tangannya supaya dia tidak kabur lagi. “Bang…males…” tolaknya. Aku tidak perduli jadi aku bertahan menarik tangannya menuju lift, bodo amat orang sekelilng kami jadi mengawasi. Harus di paksa, kalo tidak bisa bisa dia kabur lagi. Dan memang menurut diam, sampai kami tiba di masjid rumah sakit. “Tunggu di sini, diam diam, gue usoli dulu” pesanku sebelum masuk masjid untuk usoli dan meninggalkannya di depan pintu masuk masjid. Dan rasanya aku sudah buru buru sekali melakukan usoli asar, tapi tenyata setelah aku selesai, Bella tidak ada di mana pun di depan masjid. “Benaran nyebelin elo tuh Bel!!!” keluhku saat bertanya pada pekerja yang bertugas menjaga kebersihan halaman masjid kalo melihat Bella pergi. Pasti pekerja itu kenal, kalo Bella membawa serta jas dokter miliknya, dan tidak ada orang lain selain Bella yang keliaran di depan masjid dengan menenteng jas dokter. Apa aku kesal?, tentu saja, dongkol tepatnya. Mau aku telpon untuk tanya keberadaannya, tapikan nomorku di blok. Jadi aku bisa apa selain menunggu dan berharap Bella beneran pulang ke rumahnya dan bukan kelayapan sepulang kerja. Aku mau telpon Irash, aku terlanjur mager, pasti dia ledek aku lagi. Jadi hanya bisa diam menunggu kabar dari Bella, karena aku tidak mungkin berharap kalo Bella akan minta maaf padaku karena meninggalkan aku begitu saja. Aku baru menyerah saat jam 9 malam. Hanya bisa berpikir, kalo terjadi sesuatu pada Bella pasti akan ada kabar. Dan tidak ada kabar apa pun sampai jam 9 malam, sekalipun aku tunggu, kali ada yang mengabariku tentang Bella. Dan ternyata tidak ada. Lalu aku hanya bisa menenangkan diriku dengan berpikir kalo Bella sudah cukup besar untuk sampai rumah dengan selamat, dan kenyataan kalo sebelumnya pasti dia pulang sendiri, atau di jemput Irash atau papinya, atau supir maminya, intinya yang penting dia selamat sampai rumah dan tidak kelayapan dulu selepas dia kerja. Lalu aku mau tidak perduli setelah itu, karena dia juga tidak perduli rasa khawatirku. Tapi kok ya gak bisa. Tetap aja aku mencarinya untuk mencari tau atau malah memastikan dia baik baik saja gara gara kemarin itu. Walaupun aku harus menahan malu saat datang lagi ke rumah sakit untuk menemui Bella. Yakan gak mungkin aku kejar ke rumah, nanti papi maminya tanya macam macam gimana?. Melas aku harus hadapi pertanyaan orang tua terkait masalah receh macam ini. “Sakit gigi lagi mas Noah?” tanya suster saat aku muncul lagi di meja pendaftaran yang sama. Kenapa susternya dia lagi sih?. Kemana suster lain?, memangnya gak shiff shiff-an?. “Bella mana?, udah selesai belum kerjanya?” tanyaku. Itu pun aku mengukur waktu supaya pas dengan jam Bella pulang dan selesai dengan urusan usoli dan urusan lain sebelum dia pulang. Sampai aku terburu buru juga setelah selesai absen asar di masjid rumah sakit. “Sudah selesai sih jam kerjanya, tapi saya gak tau udah pulang atau belum mas” jawabnya. Aku menghela nafas menanggapi. “Gak mas Noah telpon aja?” tanyanya lagi. Nah itu, malas bangetkan?, masa aku mesti bilang kalo Bella blokir nomorku?. “Mba aja bisa gak, gak di angkat angkat, tapi jangan bilang ada saya. Dia lagi ngambek sama saya” kataku terpaksa. Suster itu tertawa. “Tapi saya gak punya nomor dokter Bella mas” jawabnya lebih menyebalkan. Gimana sih?, masa gak punya nomor Bella?, merekakan rekan kerja. “Mas coba sekali lagi aja, kali gak kedengaran” katanya memberi saran. Ya memang bisa aku lakukan, andai saja nomorku tidak dia blokir. Aku telpon lewat line telpon pun, tidak bisa, semua dia blokir. Berharap lewat SMS, tidak dia jawab juga, pesanku. “Okey mba, saya coba telpon lagi deh” jawabku walaupun dusta juga akhirnya. Hadeh…orang kok ya, di berikan teknologi canggih lewat keberadaan handphone supaya mempermudah komunikasi, malah dia tutup aksesn kesitu. Gak kasihan apa dengan para peneliti yang berusaha untuk kemajuan umat manusia?. Bantu aku Tuhan!!!. Hanya bisa doa akunya. Lalu di tengah putus asaku, tiba tiba aku lihat Bella berjalan keluar lift menuju loby tempat aku menunggu, ngapain jugakan aku menunggu di lantai dua tempat praktek dokter yang sudah selesai untuk jam itu?, jadi setelah bicara pada suster, aku memilih turun ke lantai satu lagi. “Abang!!” serunya kaget saat langkahnya aku jeda. Aku menghela nafas dulu, meredam kesalku, bisa berabe kalo aku malah emosi. “Ayo pulang, gue antar” kataku buru buru mencekal tangannya. Entah malas bertengkar denganku, atau memang merasa bersalah karena sudah meninggalkanku kemarin begitu saja, pokoknya dia tidak banyak protes saat aku ajak menuju mobilku. Aku tidak mau ambil resiko dia kabur lagi, kalo aku suruh menungguku di loby bersama satpam. “Abang mau marah soal kemarin ya?” tanyanya takut takut begitu kami berdua masuk mobil. Aku menghela nafas dulu dan membatalkan niatku menyalahkan mesin mobil supaya kami berlalu dari parkiran rumah sakit. “Jangan gitu lagi ya. Gue gak bohong waktu gue bilang khawatir sama elo. Udah tiba tiba ngilang. Kalo elo gak blok nomor gue, masih mending, jadi gue bisa telpon elo, jadi bisa mastiin elo aman sampai rumah. Inikan gak, elo blok nomor gue. Masa iya gue cari tau dari mami papi elo. Gue mau bilang apa kalo gue tanya elo udah di rumah apa belum. Ya kalo elo benar sampai rumah, kalo elo ngayap dulu, apa gak jadi pertanyaan macam macam dari mami atau papi elo, kalo gue telpon mereka?” jawabku setenang mungkin. Aslinya aku mau sekali mengamuk. “Maaf…” desisnya menunduk. Jadi kasihan akunya. “Ya udah, yang penting elo baik baik aja sekarang” jawabku. “Gue baik baik aja kok, kemarin pun naik taksi trus pulang ke rumah, gak kemana mana kok bang. Mau ngapain juga. Gue cape, mending istirahat di rumah” jawabnya lagi. “Bagus” jawabku sambil mengacak rambutnya lalu dia merona menatapku. Gak maksud gitu sih akunya, hanya supaya dia tau, aku gak mungkin beneran marah, sekalipun dia selalu buat aku kesal. “Abang…gue jadi baper” rengeknya manja kembali. Aku tertawa. “Nonton yuk Bel, udah lama kita gak nonton” ajakku terlintas begitu saja. Jadi melongokan menatapku, pasti dia kaget. “Ya gak sekarang, nantilah weekend, sabtu deh. Sekarang mah elo pasti cape, gue juga cape nih mikiran elo yang awet banget ngambeknya” keluhku kemudian. Tertawalah dia. “Kita nontonnya berdua?” tanyanya. “Mau rame rame juga ngapain, kalo kita ribut lagi, pasti mereka bully gue lagi” keluhku. Tertawalah lagi. “Abang jadinya ngajak gue kencan?” tanyanya lagi mulai menye menye khasnya. Aku berdecak. “Ada yang ngarep nih kayanya bisa kencan sama bujang keceh. Emang elo gak ngeri kalo gue sosot di dalam bioskop?” ejekku. “MAU!!!” jeritnya lalu terbahak. Ampun deh, kalo udah balik normal aja, langsung centil lagi. “Tapi baikan dulu elo sama guenya. Jangan cuma gimmick” pintaku menemukan celah. “Iya…” jawabnya. “Janji?” tanyaku. “Iya bang…udah sih, nanya mulu kaya bocah” jawabnya. “Buka blokir nomor gue, jangan lupa. Nanti kita janjiannya gimana?” kataku semakin bisa memaksanya. Dia diam dulu. “Tuhkan, gimmick elo sih mau baikan sama guenya” keluhku malas lagi. “Bukan itu, tapi abang jemput guenya mampir masuk rumahkan?. Pamit sama papi sama mami, dan bukan nunggu di mobil?” jawabnya. Waduh, bagian ini yang malas sebenarnya. Hadapi tante Karin sepele, soalnya selalu menanggapi santai keributanku dengan Bella persis mamaku. Tapikan papinya Bella tidak mungkin begitu juga. Gak tau ya, belakangan aku merasa om Obi mulai kelihatan cool atau jaim kalo depan aku. Tidak ada lagi tuh candaan padaku, macam melelekku dengan sebutan anak anyun, kata ledekan semua orang pada mamaku yang memang dari dulu suka sekali manyun atau cemberut. “Tapi papi elo kasih izin gak ya Bel?” tanyaku. “Makanya, papi mulai suka komplen kalo abang gak mampir masuk dulu, trus nunggu di mobil. Papi bilang abang takut ketemu papi” jawabnya. “Gue gak takut sama papi elo” sanggahku. “Ya udah ketemu papilah, izin sama papi, kaya bang Timmy apa bang Biyan izin sama om Nino kalo mau ajak si kembar keluar” jawabnya. Aku menghela nafas. “Tapikan mereka memang pacaran” sanggahku lagi. “Kenzo tetap izin sama om Rengga sekalipun cuma jemput Kiera buat ke rumah kembar, dan mereka gak pacaran. Itu etitude bang, papi bilang jadi laki yang baik ya harus gitu kalo bawa anak perawan orang ke luar rumah. Jadi tanggung jawabnya ada” jawabnya lagi. Aku diam dulu. “Kalo abang gak berani atau segan ketemu papi buat izin, gak usah jadi deh” jawabnya menjeda diamku. “Terus elo ngambek lagi sama gue?” protesku. “Udah pasti itu mah, mulai malas gue sama laki yang demen PHP” jawabnya. Astaga.. dia bilang PHP dong. “Okey, gue jemput elo trus gue izin bawa elo sama papi elo” jawabku menyerah. “BENERAN BANG!!!” jeritnya lebay. Aku mengangguk lalu dia bersorak. “Sayang bang Noah banyak banyak” ungkapnya lalu merangkul lenganku dengan mode girang. Aku jadi tertawa. “Lebay lo, di ajak nonton doang aja girang’ jawabku lalu menyalahkan mobilku supaya kami berlalu dari parkiran rumah sakit. “Bodo!!. Yang penting bisa kencan sama abang” jawabnya lalu bersorak girang lagi. Aku hanya tertawa menanggapi, lalu kembalilah keceriaan Bella yang aku kenalin dengan baik. Dia meledekku yang diam saja sementara dia nyanyi nyanyi dengan suara cekaknya mengikuti music di radio, dan aku hanya tertawa saja. Keceriaannya menular padaku, sekalipun jalanan macet sekali sore ini. Beneran berkicau lagi Incess Bella, kalo Kimmy memanggil Bella. Sampai kami tiba di depan pintu masuk rumahnya. “Buka blokir gue, tar gue laporan udah sampai rumah gimana?” kejarku soal ini. “Iya” jawabnya. “Sekarang!!” perintahku. Menurut dong mengotak ngatik handphonenya. “DONE!!” jawabnya. Baru aku tersenyum menatapnya. “Sana masuk deh, istirahat. Nanti kalo gue sampai rumah, gue kabarin” perintahku lagi. “Tapia bang jadi ya ajak gue nonton terus izin sama papi, kalo gak gue blok lagi sih” ancamnya. “Iya…udah sana masuk” perintahku mengulang. Menurut dong turun dari mobilku lalu menungguku berlalu setelah aku pastikan nomorku tidak lagi terblokir. Tinggal mikir atau persiapkan diri menghadapi papinya, untuk izin. Kenapa jadi deg degan gini akunya?. Ampun deh Bell, gak abis abis nyiksa aku tuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD