Bab.17 Menghukum

1247 Words
  Welly bengong kemudian bergegas berlari ke sana.   Setelah melihat Welly, Monica juga segera turun.   "Maaf, semua kelalaian tugas saya ...." Monica berdiri di tepi jalan dengan gemetar. Melihat luka di tubuh Welly, dia membungkuk dan berkata, "Tolong ...."   Hanya saja kali ini Monica belum selesai bicara sudah dipatahkan oleh Welly.   "Apakah kamu punya uang? Sepuluh juta saja cukup," ucap Welly.   Monica mengerutkan kening dan berkata, "Apakah sangat mendesak? Jika tidak begitu mendesak, tolong ikut dengan saya dulu. Saya ingin membawamu ke sebuah tempat."   Welly melihat Monica berwajah serius tidak tahan penasaran. Sebenarnya dia hendak membawa dirinya ke mana.   Welly menoleh dan melihat ke klinik milik Martina Sujaya di seberang jalan. Dia tidak ingin ingkar janji dan ditertawakan lagi.   Tapi Welly melihat keterdesakkan dari mata Monica, langsung merasa apakah telah terjadi sesuatu yang tidak baik?   Welly merenung sejenak dan barulah berkata, "Ayo."   Monica begitu buru-buru mencarinya, mungkin masalah lebih penting. Welly berpikir dan merenung. Lagian masih ada waktu setengah jam, dirinya pergi dulu melihat apa yang terjadi, barulah mengantar uang, mungkin waktu juga cukup.   "Menyetirlah," kata Welly datar. Monica lantas menghidupkan mobil dan pergi perlahan.   Mobil baru saja pergi, Candra Zainal dan Donny Jaka sudah keluar dari klinik.   Mereka berdua melihat jalanan yang kosong langsung saling bertatapan.   "Gawat, Bang Welly kali ini beneran marah!" Donny menghela napas.   Candra memelototi klinik kemudian berkata sedikit marah, "Kenapa Lisa Zulnadi jadi seperti ini? Sungguh tidak masuk akal!"   Semakin dipikirkan, Candra semakin marah. Dalam hati ingin pergi memberitahu Lisa, tempo hari makan dan tidak cukup uang untuk membayarnya, Welly yang sudah membantu tepat waktu.   Tapi dia berpikir tenang, mungkin sekalipun dia sudah berkata begitu, Lisa juga tidak akan percaya.   Wanita bodoh ini, sekarang asalkan berhubungan dengan Welly, maka dia sama sekali tidak percaya.   "Ayo pergi!" Candra menghela napas dan berbalik pergi.   Hanya saja dalam hatinya berpikir. Kesalahpahaman Lisa pada Welly sekarang sangat dalam. Bagaimanapun juga di satu sisi adalah teman baik, satu sisi lagi adalah Kakak sepupu. Dirinya sungguh tidak nyaman terjepit di tengah.   Kalau begitu harus bagaimana barulah bisa menyelesaikan salah paham antara mereka berdua?   Candra memeras otak juga tidak mendapatkan cara.   Di klinik, Martina sedang membereskan peralatan medis yang digunakan untuk Welly tadi, tapi wajahnya tetap saja suram.   Dia sekarang sedikit malas meladeni Lisa. Dia bahkan tidak bisa mengerti, kenapa Lisa memperlakukan Welly seperti itu.   Lisa malah tidak peduli. Dia membenci Welly sudah sampai intinya.   Menurutnya, kalau memang Martina adalah teman baiknya, maka sekalipun tidak bisa membenci Welly bersama, juga tidak boleh baik padanya.   Temannya tidak banyak, jadi tidak boleh kehilangan Martina.   Lisa berpikir sejenak, kalau memang begitu, maka dirinya harus pikirkan cara agar antara Martina dan Welly terjadi salah paham dan gesekan. Nantinya Martina pasti akan kemballi ke sisinya.   Lisa sedang berpikir, tatapannya mendadak jatuh pada jam tangan Welly barusan.   Meskipun Martina barusan menjejalkan jam tangan ke dalam tas, tapi hanya pura-pura saja. Setengah dari jam tangan masih di luar.   Lisa melihat ke dalam sekilas, Martina masih belum kembali.   Dia sedikit ragu, tapi akhirnya tetap memasukkan jam tangan ke dalam saku jaketnya.   Hampir bersamaan, Martina juga berjalan keluar. Dia melirik Lisa dan tidak bicara.   Lisa saat ini ketakutan, dia melihat Martina dan bertanya, "Martina, aku ... aku dengar hari Rabu di hotel Haston ada pertemuan orang ternama. Kamu mau pergi tidak? Kalau mau, aku bisa bantu kamu dapatkan satu ...."   Martina sudah mematahkan perkataan Lisa sebelum selesai, "Aku tidak pergi, aku sibuk. Aku ada urusan Rabu malam."   Nada bicara Martina sangat buruk dan menolak dengan saksama. Ini membuat Lisa merasa seperti wajah panasnya menempel pada b****g yang dingin.   Lisa tentu saja jelas kalau pertemuan orang ternama itu di level seperti apa. Orang yang bisa hadir, siapa yang bukan tokoh ternama Batang.   Meskipun Lisa dari keluarga biasa, tapi hubungan Ayahnya dan seorang Manajer departemen hotel Haston sangat baik. Kebetulan Manajer itu yang bertugas membagikan undangan, jadi lebih beberapa tiket. Sebenarnya hanya masalah kata saja.   Lisa kesal dan bergumam, "Kamu sungguh tidak tahu diuntung. Apakah kamu tahu seberapa mewahnya pertemuan ini? Yang bisa ke sana itu kaya dan mulia. Kamu sungguh tidak paham menghargai kesempatan!"   Menurut Lisa, Martina juga termasuk perempuan cantik dari seratus orang, seharusnya lebih sering pergi ke tempat seperti ini. Siapa tahu bisa mendapatkan suami kaya.   Tapi Martina jelas tidak memikirkan itu. Dia tidak menatap Lisa lagi dan berkata, "Kamu mau pergi maka pergilah. Aku nggak ingin mengejar orang kaya, hidup biasa lebih bagus."   Lisa sangat geram mendengar kata-kata Martina. Dia menunjuk Martina dengan kesal dan berkata, "Martina Sujaya, cukup ya! Aku lihat kamu memang hanya layak mencari si miskin seperti Welly Jardian itu. Hng, kamu memang suka dengannya, 'kan? Kamu sungguh rendahan!"   Lisa pergi dengan kesal setelah mengatakannya.   Dia sulit percaya, Martina begitu tidak tahu diuntung.   Dirinya berbaik hati, dengan wajah cantik Martina dan tubuh yang berkembang baik. Sama sekali tidak sulit untuk mencari anak orang kaya dari keluarga yang berkecukupan.   Tapi dia sendiri yang tidak berguna, ini membuat Lisa sakit hati.   Martina juga sama sekali tidak mengalah, dia melihat sosok Lisa dan berteriak kesal, "Benar katamu, aku memang suka dengan Welly Jardian. Kamu bisa apa? Hehe, meskipun Welly miskin, orangnya baik."   Lisa sudah berjalan keluar klinik ketika Martina selesai mengatakan ini.   Setelah menyadari apa yang dirinya katakan, wajah Martina tidak tahan menjadi merah.   Begitu teringat dengan Welly, dia tidak tahan merasa bersemangat.   Martina memukul dadanya dan bergetar. Dia memarahi dirinya dengan pikiran tidak karuan, namun sudut mulut malah tidak tahan tersenyum ....   Gedung Global adalah salah satu bangunan tertinggi Batang dan adalah landmark.   Setelah memarkir mobil di parkiran bawah tanah, Monica lantas membawa Welly menaiki lift khusus menuju lantai 72 teratas.   Welly pertama kali datang ke tempat semacam ini dan pertama kali menaiki lift begitu lama, jadi sedikit bersemangat dan gugup.   Sepanjang jalan dia berpikir apa yang terjadi sebenarnya.   Di lantai atas, pintu lift terbuka dan yang dilihat adalah koridor sepanjang puluhan meter.   Di kedua sisi koridor ada gerbang kayu padat setiap beberapa meter. Di setiap pintu gerbang berdiri seorang pria kekar dengan kacamata hitam dan setelan jas hitam.   Monica memimpin di depan, Welly mengikuti di belakang dengan gugup. Ketika dia lewat di sisi pria kekar, pria kekar yang sombong dan tegak itu, semua membungkuk dan menundukkan kepala mereka untuk memberi penghormatan.   Di ujung koridor adalah gerbang kayu phobe terbuka ganda. Ukirannya rumit dan hanya sedikit orang yang tahu. Hanya kedua gerbang ini saja sudah menghabiskan miliaran.   Ini adalah kekuatan keluarga Sardinan!   Welly tiba di gerbang dan dua pelayan membuka pintu secara perlahan-lahan.   Di dalamnya ada aula, megah, menyilaukan dan sangat mewah.   Dia hampir lupa bagaimana dirinya masuk ke pintu dan bagaimana dia duduk di aula, di atas satu-satunya sofa.   Pada saat ini di aula berdiri tidak kurang dari tiga puluh orang. Usia dan pakaian orang-orang ini berbeda.   Tapi berdiri rapi, bahkan Welly bisa melihat kedudukan tinggi rendah mereka.   Pada saat ini Monica berdiri di depan orang-orang ini. Dia menatap Welly dan mendadak membungkuk. Puluhan orang di belakang juga langsung ikut membungkuk.   Welly bengong dan bertanya kepada Monica dengan terkejut, ''Ini ... Apa yang kalian lakukan?"   Monica juga tidak mengangkat kepala, hanya bersuara suram, "Tolong Tuan muda Welly hukum!"   "Hukum?" Welly tidak bereaksi, kemudian melihat dua pria kekar berbaju hitam, menyeret dua pria yang dipukuli hingga berlumuran darah masuk.   Begitu melihat jelas orang itu, Welly langsung mengerti.   Keduanya bukan orang lain, adalah pemuda dan rekannya yang telah merebut kartu atm Welly saat di toko hotpot sebelumnya.   Hanya saja saat ini, kedua pria itu tidak lagi memiliki keangkuhan sebelumnya. Mereka hampir dipukuli setengah mati, lengan dan betis jelas sudah patah, sekarat dan memandangi Welly dengan tatapan memohon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD