bab 1
Jakarta,2014
Brugg.....aku melemparkan tas ke ujung tempat tidurku. Persetan Bowi, ucapan sebagai laki-laki tidak bisa benar-benar aku pegang. Untung saja aku belum menikah sama dia, ternyata seperti itu kelakuan dia di belakangku.
“Hallo sayang...”
“Hallo Bowi, kamu di mana?”
“Aku di Mal Casablanca sayang, sedang cari dasi.”
‘’Ok, mobil harus di servis nanti saya kirim sopir ke sana untuk jemput kamu dan antarkan kamu ke apartemen.”
“Tapi...”
“Share lokasi sekarang ya Wi...”
Aku mengambil secarik kertas, dan aku menuliskan pesan di kertas itu Bowi, mulai hari ini aku pecat kamu sebagai manajer keuangan dari perusahaan, mulai besok bereskan ruang kerja kamu dan serah terima jabatan dengan Andang jam 08.00 tepat. Terima kasih telah berselingkuh dengan Nadia sahabatku dan untuk pernikahan kita, segera akan saya cancell. Untuk semua hubungan pekerjaan yang masih tersisa, HRD secepatnya akan menghubungi kamu.
“Pak Rahmat....Pak Rahmat....”
“Iya Non, maaf bapak sedang minum kopi di Pantry.”
“Ok pak tidak apa-apa, saya mau minta tolong pak Rahmat untuk ambil dan servis mobil yang di pakai pak Bowi di Mal Casablanca dan Siapkan mobil lain, saya akan ke Tokyo sore ini mungkin bisa di antar oleh pak Basir.”
Di bantu oleh mbok Nah aku merapikan beberapa pakaianku. Aku akan mengirimkan pesan atau mungkin telepon nanti untuk mama dan papa agar segera mengurus pembatalan pernikahanku dengan keluarga Bowi. Dan syukurlah masih ada tiket yang tersisa untuk aku ke Tokyo sore ini.
***
Bandara Soekarno-Hatta, 15.45
Pak Basir memarkirkan mobil di sisi bandara keberangkatan. Aku melangkah kan kaki dengan pasti untuk melakukan perjalanan. Entah, kepergianku apa hanya untuk sekedar berlibur semata, atau melanjutkan pendidikan S2- Bisnisku yang sempat aku tunda.
“Anne, Anne tunggu sebentar An....”
“Ada apa lagi Wi?”
“An, kamu tidak boleh pergi An... maafkan aku...”
“Maaf?”
“Tolong An, maafkan aku, aku harus bilang apa kepada keluarga besar kita?”
“Hubungan kita berakhir, cukup...”
Bowi dan Nadia terus memegang tanganku seraya meminta maaf, dengan sangat meyakinkan mereka memintaku untuk tidak pergi.
Aku memalingkan pandanganku dari Bowi, lelaki yang cukup lama aku kenal lebih dari 5 tahun sejak kami SMA dahulu. Aku membuka kacamata hitamku, dan aku memberikan senyum....senyum terakhir untuknya. Entah, entah perasaan apa yang berkecamuk di dadaku hari ini. Dan aku tidak sanggup menatap lama-lama wajah Nadia yang pura-pura menangis di hadapanku.
Aku terus menarik koperku ke depan. Walaupun Bowi dan Nadia mengejarku....tapi aku tetap pergi. Mereka terus memanggil namaku di koridor, dan aku tetap membulatkan tekat dan langkahku untuk segera pergi. Cukup, cukup sampai di sini hubungan kita, walau aku sadar tidak hanya kehilangan orang yang aku sayangi tapi juga sosok sahabatku. Kedekatan mereka terkadang membuat aku curiga, tapi benar-benar hari ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, mereka berjalan, bergandengan, bahkan saling meletakkan bahu di sebuah restoran Thailand yang cukup terbuka di sebuah Mal perbelanjaan. Aku menghela nafas panjang, sembari merebahkan kursiku agar terasa nyaman.
Dalam perjalanan, aku mengetik beberapa pesan untuk mama dan papa, pesan tentang hubungan aku dengan Bowi, keputusan pembatalan pernikahan kami dan keinginan aku untuk kuliah S-2 kembali di Jepang. Mungkin, keputusan papa untuk memberikan aku posisi Manajer di perusahaan belum tepat kali ini, biarkan waktu memberi aku sosok dewasa, sosok kuat atau wanita yang lebih mandiri. Ya dua tahun ...cukup dua tahun saja aku pergi...