Vivi Ardiani merasakan perasaan tidak enak sedari tadi pulang dari kantor kekasihnya—Satya. Gadis itu merasa selalu diawasi terus-menerus oleh lelaki berjas hitam. Tentu saja orang tak dikenalnya. Penguntit! Atau mata-mata yang dikirim oleh keluarga kekasihnya yang kaya raya itu. Entahlah..
Hingga berada di dalam kamar apartemennya pun, Vivi masih merasa was-was dan tak kunjung memejamkan matanya. Ia putuskan untuk bermain ponsel sejenak. Siapa tahu dengan bermain ponsel ia dapat tertidur tanpa memikirkan kecemasannya karena penguntit itu.
Beberapa saat kemudian, disaat mata gadis itu mulai lelah dan hendak terpejam. Tiba-tiba suara pintu kamarnya terbuka dengan kasar terdengar. Hingga ia pun menegakkan posisinya kembali.
"S-siapa kamu!?" Dengan kegugupan setengah mati dan rasa takut yang teramat dalam akan dilukai, Vivi mencoba meraba sekitarnya. Mencari keberadaan ponselnya yang sempat terpelanting kecil ketika ia terkejut tadi.
Hap!
"Mencoba menghubungi siapa heh?" Seringaian lelaki itu benar-benar membuat Vivi tak berkutik lagi kini. Ponsel yang menjadi harapannya dirampas oleh lelaki berjas hitam itu. Ia tak tahu harus berbuat apa. Dan ia juga tak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ketika lelaki itu mendekat padanya. Vivi langsung menghindar dan bangkit dari ranjang king size-nya. "M-mau apa kamu!?"
"Tenang.. aku akan bermain pelan."
Sekujur tubuh Vivi bergidik ngeri mendengar perkataan lelaki yang tak dikenalnya itu. Ia yakin bahkan seribu persen, jika lelaki yang tengah berada di kamarnya itu sedang dalam kondisi mabuk. Gerakannya yang sedikit sempoyongan, baru disadari oleh Vivi. Belum lagi bau yang menyengat dari bibirnya. Sudah pasti berasal dari minuman alkohol yang diminumnya.
"Apa maksudmu!? Aku bisa teriak kalau kamu macam-macam," tegas Vivi mencoba melindungi dirinya sendiri.
Lelaki di depannya itu justru tertawa keras mendengar ucapan yang keluar dari bibir Vivi. Semakin nafsu saja ia dibuatnya. "Teriak saja jika kau bisa."
Tanpa diduga oleh Vivi, lelaki itu semakin mendekat padanya. Niatnya yang hendak berteriak pun tak bisa, karena lelaki itu lebih dahulu mendekapnya dan membungkam mulutnya. "Mmmmmppppphhhttt..."
"Diam," bisik lelaki itu tepat hembusan napasnya menerpa telinga Vivi.
Lelaki itu membawa Vivi ke ranjang. Menghempaskan kasar tubuh Vivi. Dilepasnya paksa dasi hitam yang bertengger di lehernya. Kemudian ia menyatukan kedua tangan Vivi dan mengikatnya di kepala ranjang. "Sssstttttt.." lelaki itu meletakkan telunjuknya di bibirnya sendiri.
"Biadab! Lepaskan aku!!" teriak Vivi masih mencoba memberontak.
"Eh-eh..sssstttttt."
"Apa kubilang? Aku akan pelan. Jangan memberontak selagi aku berusaha jinaak," racau lelaki itu yang langsung menindih tubuh Vivi.
Pakaian lengkap yang melekat pada Vivi pun sekejap berhasil dikuasai olehnya. Tangan kekar itu mampu menyulap segala yang lengkap, menjadi begitu tampak jelas di hadapannya. Apalagi jika bukan pemandangan dimana tubuh putih Vivi terlihat begitu mulus. Putih bersih, terawat. Semakin senang saja pria asing itu dengan mangsanya.
Dengan kesanggupannya yang tidak seaktif sebelumnya, Vivi masih mencoba untuk melawan. Ia kesulitan berteriak karena salah satu tangan lelaki breng-sek itu membungkam mulutnya lagi. Air matanya leleh karena rasa takut dan malunya.
Meskipun ia merupakan pelakor dan kekasih dari suami orang lain, selama ini ia selalu menjaga tubuhnya agar tidak dijamah oleh siapapun. Ini semua ia lakukan demi suaminya kelak. Tapi apa? Kini semua itu menguap ke udara. Nyatanya lelaki tak dikenal ini berhasil melecehkan Vivi dan merenggut mahkota berharga yang selama ini dijaganya.
"Ssa—kitt.." Vivi yang sudah tidak berdaya hanya pasrah dengan lelaki yang berada di atas tubuhnya itu. Cairan merah mengaliri ranjangnya yang bersprei putih. Vivi menggigit bibirnya yang bengkak akibat ulah lelaki tak dikenal itu.
Sampailah aktivitas serba pemaksaan itu di titik puncak. Erangan keduanya memenuhi kamar apartemen Vivi. Keduanya mendapatkan pelepasan. Vivi lemas seketika. Mahkota yang selama ini ia jaga, tinggal nama. Pikirannya berkelana kemana-mana. Bagaimana jika nantinya ia hamil?
Breng-sek!
Setelah lelaki itu berhasil membuatnya tak berdaya, pria asing itu dengan santainya tidur di samping Vivi. Menarik selimut tebal dan menutupi tubuhnya. Tidak lupa sebelum ia benar-benar tertidur, lelaki itu sempat melepaskan ikatan dasinya pada tangan Vivi. Tak ada lagi perlawanan apapun yang coba Vivi lakukan. Toh percuma. Tak ada gunanya lagi. Ia terlanjur kotor saat ini.
Vivi menangis dan tertidur begitu saja.
Pagi harinya, ia terbangun dengan tubuh sakit semua. Bak orang yang baru saja melakukan kerja rodi. Vivi bangkit dari ranjangnya dengan melilitkan selimut tebal. Menutupi seluruh tubuhnya yang banyak terdapat bekas dari pria brengsekk itu, tanpa sehelai benang, Vivi sungguh meratapi nasibnya yang menyedihkan ini. Yang lebih parahnya lagi, Vivi tak tahu identitas pria misterius yang tiba-tiba menerobos masuk apartemennya.
Ia sungguh tidak mengenal lelaki itu.
Mengguyur tubuhnya dengan air dingin dan menggosok seluruh tubuhnya dengan kasar. Vivi menangis karena kesakitan yang dibuatnya sendiri. Ia pun tak mempedulikan fisiknya yang sudah menggigil itu. Hingga dirasa cukup bersih baginya. Vivi pun meninggalkan kamar mandi setelah memakai bathrobe-nya.
_____
Satya
Morning, Sayang. Hari ini jadi keluar?
_____
Vivi
Maaf sepertinya kita tunda dulu. Aku nggak enak badan.
_____
Satya
Kamu sakit? Aku ke apartemen kamu sekarang.
_____
Membaca pesan Satya yang nekad hendak pergi ke apartemennya, Vivi segera menghubungi Satya dan melarangnya untuk ke sini. Dikarenakan ia sedang menuju dokter kepercayaannya. Satya pun hanya percaya-percaya saja dengan segala ucapan Vivi.
Vivi lega. Ia menghembuskan napasnya, "untung saja."
Sementara itu di tempat lain. Seorang lelaki dengan penampilan kacaunya pulang kembali ke rumah mewah yang selama ini dihuninya dan telah ia anggap sebagai rumahnya sendiri.
"Loh!? Le, kamu habis dari mana? Kok berantakan gitu sih!?" tegur seorang wanita paruh baya.
Wanita itu mendekat dan langsung mengibas-kibaskan tangan kanannya di depan wajah. Lalu menutup hidungnya sendiri, "kamu mabuk!? Sejak kapan kamu suka mabuk Le!?"
"Maaf Ma." Ridho beranjak begitu saja meninggalkan Nyonya Rajasa yang masih bertanya-tanya apa yang menjadi penyebab Ridho pulang dengan keadaan berantakan seperti ini.
Memasuki kamar pribadi yang telah disiapkan untuknya. Ridho membasuh seluruh tubuhnya di bawah guyuran air dingin. Sesekali ingatannya berkelana mengingat apa yang telah ia lakukan semalam. Antara sadar dan tidak sadar, Ridho akui ia salah besar. Ia telah berdosa. Melecehkan sosok yang selama ini menjadi objeknya. Sosok yang ia pikir adalah wanita licik dan jahat. Tetapi kenyataan yang ia lihat selama ini salah. Ada sisi lain dari Vivi yang membuatnya terpikat.
Satu kata, terpikat. Vivi yang ternyata dermawan, baik hati dan penolong.
"Kemana siang-siang seperti ini!? Bukannya langsung pulang ke apartemen! Nyusahin kerjaan orang aja," dumel Ridho masih tetap membuntuti Vivi dari kejauhan.
Hingga tibalah ia pada suatu kerumunan anak-anak jalanan. Vivi memberikan bungkusan kresek yang sedari tadi ia jinjing. Ternyata isinya adalah makanan dan s**u kotak. Ridho ternganga dibuatnya. Uang yang ia dapat dari Satya bukannya dipakai untuk berbelanja. Melainkan, untuk diberikan pada anak-anak jalanan itu.
Ridho berdecak. "Wahhh, ini caramu mengurangi dosa?"
Seperti yang diketahuinya, Vivi merupakan pelakor dalam rumah tangga Satya dan Ayunda.
"Terima kasih Mama!"
Seketika Ridho terkejut dan mulai menajamkan pendengarannya dengan bantuan alat penyadap canggih. "Mama?" gumamnya. Lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
Benar 'kah anak sebanyak ini merupakan putra-putri Vivi? Jika iya, maka benar-benar laknat wanita ini. Membuang anak-anaknya ke jalanan!
"Sama-sama Sayang. Dihabiskan ya.."
"Siap Ma!"
"Oh iya, Mama kenapa jarang ke sini? Kita rindu, nggak ada Mama kita nggak belajar deh.." ucap salah seorang anak kecil berkelamin perempuan itu dengan wajah murungnya.
Vivi pun mendudukkan dirinya disela-sela mereka. Ia mengusap lembut rambut kusut anak perempuan itu.
"Maaf ya..Mama sibuk kerja." Senyum tipis dapat dengan jelas Ridho lihat.
Ia tersenyum sinis mendengar jawaban yang terlontar dari bibir Vivi. "Cih! Sibuk bekerja melacur."
"Percuma bersedekah apabila uang yang didapat berasal dari hasil yang tidak halal," lanjut lelaki berjas itu masih tetap mengamati tiap gerak-gerik Vivi.
Beberapa saat kemudian, Vivi berpamitan kepada mereka semua. Ia beranjak dan kembali ke apartemennya.
Ingatannya tentang hari itu membuat hatinya terpukul dan sedih. Bagaimana bisa ia menodai wanita yany sebenarnya hatinya sungguh mulia?
Sejak saat dimana Ridho mengikuti Vivi yang ternyata pergi menemui anak-anak jalanan itu. Ridho pun mulai menyelidiki. Ternyata, Vivi memanglah menjadi pengajar dan juga donatur kecil bagi anak-anak jalanan di sana. Mereka kerap memanggil Vivi dengan sebutan 'Mama' dikarenakan mereka sudah menganggap Vivi sebagai anak-anaknya sendiri.
Selain itu, dahulu Vivi memang benar-benar bekerja halal di sebuah restoran yang cukup besar. Ia menjadi pengelola keuangan di sana. Gajinya yang lumayan besar dan fakta bahwa ia tidak begitu suka berhura-hura atau shooping membuat uang yang dihasilkannya cukup banyak. Ia yang awalnya hanya iseng-iseng untuk sekedar berbagi malah keterusan dan ikut pula menjadi pengajar mereka. Informasi itu Ridho dapat dari salah seorang pria yang penampilannya bak preman, namun sungguh baik pula hatinya.
Memang sejatinya tampang kerap menipu. Perilaku kerap disalah artikan.
Bughhh!!
Bughh!
Bughh!!
Kepalan tangan Ridho menghantam tembok kamar mandi hingga mengalirkan darah segar yang berasal dari dirinya. Ia menatap dirinya melalui pantulan kaca besar.
"Brengsekk!!"
***