Pov Arman
Aku terpaksa menikahi Maya tanpa minta izin terlebih dulu pada Nayla-istriku. Aku khawatir dia belum sanggup di madu.
Malam ini hujan cukup deras mengguyur kota Bandung. Usai ijab kabul, kami menginap di hotel Puri untuk bulan madu. Sejak pertemuanku dengan Maya di seminar pengusaha di Jakarta dua bulan lalu, kami sering bertemu.
Awalnya kami hanya berdiskusi masalah bisnis. Tapi, lambat laun pembicaraan kami mulai melebar ke masalah pribadi. Maya bercerita tentang kesulitannya mencari suami yang cocok dengannya. Sedangkan orangtuanya terus mendesak agar dia segera menikah. Aku iba melihatnya kebingungan setiap kali orangtuanya mendesak untuk menikah. Kerap kali dia menagis tersedu di depanku, dan menceritakan traumanya pada lelaki yang pernah menyakitinya.
Sejak itu, kami sering bertemu dan selalu ingin bersama, sampai akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Walau bagaimana pun, kami adalah dua insan dewasa yang saling mencintai, aku tidak ingin terjebak dalam perbuatan dosa.
Malam itu, di kamar yang dihiasi dengan bunga melati, aku dan maya duduk saling berhadapan di tepi ranjang. Aku mengecup puncak kepalanya dan membaca doa pernikahan. Belum sempat kami meminum segelas s**u untuk saling berbagi, telphon ku berdering. Dari ringtone nya, aku tahu itu panggilan dari Reno. Dia memberitahu kalau Nayla menghubungiku. Bergegas, aku menyalkan sim card dua di ponselku. Sesaat kemudian panggilan Nayla masuk. Setelah menjawab salamnya, dan memberitahu keberadaanku, buru-buru aku mengakhiri percakapan. Aku tidak ingin membuat Maya menunggu lama.
Malam ini, aku menjalankan kewajibanku sebagai suami. Aku sadar apa yang kulakukan bisa membahayakan pernikahanku dengan Nayla. Tapi aku yakin, suatu hari nanti Nayla akan menerima Maya sebagai bagian dari keluargannya, bukan sekedar madunya.
Aku berharap suatu hari nanti, kedua istriku bisa akur dan saling menyayangi, seperti aku menyayangi mereka berdua. Tentu saja aku sadar, sesadar-sadarnya, ini tidak mudah. Tapi aku akan mencoba apa pun resikonya.
Tanpa terasa, mentari kembali terbit menyinari kota Bandung. Usai sarapan, kami pergi jalan-jalan mengitari kota Bandung. Menjelang sore, kami kembali ke hotel. Ponselku kembali berbunyi. Nama Nayla tertulis di layar kaca, aku bergegas menjawab panggilan itu, dia bertanya di hotel mana aku bermalam. Aku tidak tahu jika saat itu dia sudah berada di Bandung. Tanpa curiga aku memberitahu hotel tempatku menginap bersama Maya. Aku sedikit heran, tidak biasanya Nayla menghubungiku terus menerus. Biasanya jika aku ke luar kota, akulah yang berulang kali menghubunginya.
Sore itu, baru saja aku dan Maya usai menikmati indahnya surga dunia, bel pintu kamar berbunyi. Maya buru-buru memakai kimononya, sedangkan aku memakai kembali bajuku dengan lengkap. Aku bergegas menuju pintu. Aku pikir yang datang adalah pelayan hotel yang mengantar pesananku. Walau aku sedikit curiga, tidak bisanaya pesanan datang secepat itu.
Saat membuka pintu, aku terkejut bukan main, Nayla berdiri tepat di depanku. Untung saja aku memakai baju lengkap saat membuka pintu, kalau tidak, aku tidak bisa membayangkan marahnya Nayla memergoki kami berdua.
Aku berusaha menutupi dan merahasiakan pernikahanku dengan Maya. Tapi ternyata Nayla jauh lebih jeli dari dugaanku. Aku menyuruh Maya pergi untuk mengendalikan situasi. Dia syok saat aku terpaksa mengakui pernikahnku dengan Maya. Dan yang membuatku merasa bersalah adalah, Nayla keguguran.
Aku sangat sedih karena kehilangan calon bayi kami. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Aku mencoba menghibur Nayla agar dia tidak sedih.
Keesokan harinya, setelah kondisi Nayla lebih baik, aku mengajaknya jalan-jalan. Aku tidak ingin melihatnya terus bersedih. Tapi satu sisi, aku juga ingin tahu kabar Maya setelah meninggalkan hotel. Sampai saat ini, kami belum saling berkomunikasi lagi. Aku sengaja meninggalkan dompetku di dalam laci di kamar hotel.
Setelah mengatar Nayla ke mobil, aku pamit pada Nayla untuk mengambil dompetku yang tertinggal. Bergegas aku menghubungi Maya.
"Halo, Sayang, kamu di mana sekarang?"
"Aku di kamar 223, Mas. Aku masih di hotel ini. Apa kita bisa bertemu? Aku kangen!"
"Tapi, May, aku tidak enak sama Nayla. Dia baru saja keguguran. Kamu langsung saja balik ke Jakarta ya, nanti malan aku dan Nayla juga pulang, kok."
"Baik, Mas. Tapi setelah sampai di Jakarta, segera temui aku! Jangan membuatku menunggu lama!"
"Iya, Sayang. Aku janji akan segera menemui sesampainya di Jakarta."
Setelah mengucap salam perpisahan, aku bergegas turun ke parkiran. Aku tidak mau Nayla curiga padaku.
Aku membawanya jalan-jalan menikmati indahnya kota Bandung. Sebenarnya aku tidak tega melihat kondisi Nayla. Tapi sebagai seorang istri, harusnya dia paham, jika poligami itu tidak di larang. Jika pemahamannya sudah sampai, hatimya tidak akan sesakit ini. Bukankah aku tidak mentelantarkannya? Aku masih tetap menafkahi dan menggaulinya.
Menikah dengan Maya bukan berarti aku melepasakan tanggung jawabku padanya dan Bian. Tapi, mau bagaimana lagi, aku akan bersabar memberi pengertian padanya agar bisa menerima Maya. Bukankah dengan menikahi Maya usaha bisnis kami akan semakin besar?
Maya adalah pebisnis wanita yang pintar dan cerdas. Banyak ide-ide darinya yang kupakai untuk membesarkan bisnis kuliner kami. Bahkan Maya juga menanamkan modalnya untuk membuka cabang di berbagai kota.
Seperti rencana semula, aku dan Nayla pulang ke Jakarta menpuh perjalanan malam untuk menghindari kemacetan. Awalnya aku ingin menjemput Bian langsung ke rumah eyangnya, tapi Nayla melarangku. Katanya Eyangnya yang akan mengantar Bian pulang.
Pagi menjelang siang, Bian diantar oleh eyangnya. Sebenarnya ada cemas di hatiku dengan reaksi mereka jika tahu aku menikah lagi. Tapi, apa pun resikonya aku sudah siap. Menikah lagi adalah hakku. Asalkan aku tetap bertanggung jawabku pada anak dan cucunya, tidah masalah, bukan? Semoga mereka mau menerima keputusanku menikah lagi.
Usai makan siang, saat aku dan ayah mertuakan bermain dengan Bian. Tiba-tiba, ibu berteriak minta tolong. Bergegas aku dan ayah berlari ke teras belakang. Aku tertegun melihat Nayla pingsan. Buru-buru aku membawanya ke rumah sakit karena khawatir dengan kondisinya. Apalagi pasca keguguran kemarin.
"Kau kebangetan, Arman! Kok tega-teganya kamu menyakiti Nayla! Padahal Nayla sudah menemani kami di saat kamu masih susuh. Bahkan dia rela bersujud di kaki orang tuanya demi mendapatkan restu menikah dengan kamu. Dia rela mendampungi kamu hidup susah, sampai akhirnya kamu menjadi laki-laki sukses. Tapi ini balasan yang kamu berikan pada Nayla? Keterlaluan kamu Arman!" sergah Ayah mertuaku.
Aku hanya menunduk, saat ini dia masih emosi. Percuma saja membela diri, dia tidak akan terima. Mereka tidak mengizinkan aku menemani Nayla yang masih belum sadar dari pingsannya.
Karena tidak tahu harus berbuat apa, aku pergi menemui Maya. Disinilah saat ini aku berada. Maya bukan hanya wanita yang pintar berbisnis tapi juga pintar masak.
"Ayo, Mas, kita makan." jemarinya lembut menuang nasi ke piringku. Selengkung senyum indah terukir di wajahnya. Aku merasa jauh lebih muda dari usiaku.
"Terima kasih, Sayang." kukecup keningnya sebagai ungkapan terima kasih karena telah memasak untukku.
"Sama-sama, Mas. Aku juga berterima kasih, karena Mas sudah menepati janji menemuiku."
"Tentu saja, sekarang kamu juga istriku, aku harus bersikap adil pada kalian berdua."
Kupandang senyum indah itu, dadaku bergemuruh melihat lesung pipinya. Iya, lesung pipi itu kini halal kunikmati.
Aku menyuapkan makananku ke mulutnya, tawa canda kami terhenti saat ponselku berbunyi.
"Assalammualaikum, yah." jawabku setelah menekan tombil jawab.
"Arman, jika kau sudah bosan pada Nayla. Segera kembalikan dia pada kami! Rumah kami orang tuanya terbuka lebar untuknya. Mengerti?"