Part 6

838 Words
Pov Nayla Aku gelisah di kamar, walau sangat ingin menghubungi mas Arman, aku tetap mencoba bertahan tidak menghubunginya. Sekuat apapun aku berusaha untuk mengikhlaskan berbagi suami dengan wanita lain, tetap saja, hatiku terasa sakit. Entah sedang apa mas Arman di luar sana? Mungkinkah dia sedang bermesraan dengan istri mudanya itu? Saat cemburuku memuncak, sore itu, mas Arman datang menyusul ke rumah papa. Aku mengejar Bian yang berlari ke luar kamar mendengar suara papanya. “Bian!” teriakku. Langkahku terhenti melihat mas Arman juga setengah berlari mengejar Bian. Mata kami saling bertaut. Aku berpaling, air mataku kembali tumpah tak terbendung. Aku tidak mengerti, sejak bercerita pada mama, hatiku semakin sakit. Rasanya sulit sekali menerima kenyataan ini. “Nay, ayo kita pulang!” ajak mas Arman menarik tanganku. Aku menatapnya sendu, sebagai istri, aku tidak ingin membantahnya. Sesaat aku melirik papa yang menatapku dan mas Arman bergantian. “Pa, Nay, pamit pulang, ya!” ucapku menunduk, mengharap keikhlasan hatinya. “Nay, papa tidak akan menghalangi kamu jika ingin kembali bersama suamimu. Tapi jangan pernah ragu untuk pulang ke rumah ini kapan pun kamu mau,” aku mengangguk, kutoleh mama yang mematung di depan pintu kamar. Aku mencium punggung tangan mereka bergantian, Bian mengikutiku mencium kedua tangan eyangnya. Tapi saat mas Arman juga menjulurkan tangannya, mereka menolak. Keduanya terlihat masih kesal. ** “Kemana saja kamu seharian, Mas?” tanyaku setibanya di rumah. “Apa kamu pergi menemui istri mudamu itu?” “Papa melarangku di dekatmu, aku tidak ingin rebut dengannya. Makanya aku pergi. Saat aku kembali ke rumah sakit, kamar sudah kosong!” “Jawab saja pertanyaanku, Mas!” mataku membulat menatapnya, dia tampak gugup. “Kamu pergi menemui dia?” “Nay, dia juga istriku. Aku hanya mengunjunginya sebentar.” “Sebentar katamu, Mas? Di saat aku terbaring tak berdaya, sempat-sempatnya kamu memikirkan dia?” pekikku sembari berjalan cepat menuju kamar dan membanting pintu dengan kencang, lalu menguncinya dari dalam. Kuhempaskan tubuh ke Kasur. Hatiku kembali terluka bagai di sayat-sayat. Air mataku tumpah membanjiri bantal. “Nay, buka pintunya! Bukankah saat di Bandung kemarin kita sudah berbaikan?” teriak mas Arman menggedor pintu, memaksaku membukanya. “Apa mama dan papamu yang membuat kamu berubah lagi seperti ini?” Mendengar kata-kata itu, emosiku semakin meninggi. Ya Tuhan, dia benar-benar keterlaluan, tega-teganya dia menuduh orangtuaku sebagai penghasut. Aku tidak bisa tinggal diam mendengar tuduhannya. “Tega kamu, mas, menuduh orangtuaku penghasut! Mereka hanya ingin membela anaknya yang sedang di sakiti!” teriakku tidak teriama. “Aku nggak nyakitin kamu, Nay! Justru aku ingin meringankan beban kamu sebagai istri. Kamu dan Maya bisa saling berbagi tugas untuk saling meringankan. Itulah salah satu hikmah dibalik poligami.” Aku menangis mendengar kata-katanya, mas Arman sedikit pun tidak mau memahami perasaanku. Dia terus menuduhku tidak paham agama. Sampai akhirnya aku merasa apa yang diucapkannya itu benar, aku lah yang salah, karena pemahamanku yang sangat minim soal agama, sehingga tidak bisa menerima Maya sebagai adikku. Aku berusaha berdamai dengan hatiku, mencoba menjalani pernikahan babak baru yang ditawarkan mas Arman. Selanjutnya rumah tangga kami kembali normal seperti semula. Mas Arman membagi waktunya dengan Adil, tiga hari di rumahku dan tiga hari di rumah Maya. “Mas, sarapan dulu,” ajakku menuangkan nasinya. Satu bulan sudah berlalu sejak mas Arman menikah lagi, aku terus berjuang bertahan di sampingnya. Walau kerap kali air mataku menetes tanpa sebab. “Terima kasi, Nay.” Dia duduk di kursi di sampingku. Kami bertiga sarapan bersama, Bian duduk di sebelahku. Ia tampak lahap menghabiskan sarapnnya. Jika mas Arman sedang di rumah, maka dia lah yang mengantar Bian ke sekolah, sekalian lewat menuju kantornya. Aku senang melihat mas Arman yang semakin semangat bekerja, mungkin dia sadar harus bekerja lebih keras karena sekarang memiliki dua dapur, pikirku. ** Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke delapan. Aku ingin membuat kejutan kecil untuknya, membelikan kue ulang tahun dan sebuah kado. Pukul Sepuluh pagi, aku bergegas menjemput Bian pulang sekolah, setelah itu aku membawanya ke restoran pusat, tempat mas Arman berkantor. Sesampainya di restoran, dadaku berdesir. Balon latex berwarna-warni menghiasai setiap sudut restoran, hiasan balon foil bertuliskan ‘HBD to you’ tertata rapi di pintu masuk kantor. Pintu kaca masuk, tertulis ‘close’. Dadaku berdesir melihat kejutan itu, jika pesta ini untuk ulang tahun pernikahan kami, kenapa mas Arman tidak menyuruhku datang? Buru-buru aku membuka ponsel, mungkin ada pesan singkat dari mas Arman yang terlewat. Nihil, tidak ada pesan apa-apa di sana. Kugenggam tangan Bian kuat melangkah masuk ke restoran, perasaanku tidak enak. Aku mendorong pintu kaca yang ternyata tidak dikunci, sehingga aku bisa masuk ke dalam. Mataku terbelak saat membuka pintu penghubung antara restoran dan Kantor. lututku terasa lemas. Jika tidak ada Bian yang menggenggam jemariku, mungkin aku sudah pigsan. jujur, aku cemburu. aku tidak sanggup melihat ini semua. "Mas Arman!" pekikku dengan suara parau. "Nayla?" sahutnya gugup. "Kamu keterlaluan mas! Tega kamu merayakan ulang tahun Maya di restoran ini! Kamu lupa, hari ini adalah hari ulangtahun pernikahan kita? Atau kamu sengaja melakukan ini semua?" protesku berurai air mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD