"Assalammualaikum," sapaku menjawab telphon mas Widi.
"Waalaikum salam, bagaimana keadaan Bian, Nay?"
"Alhamdulillah, Mas. Dia sudah tidur dengan pulas."
"Owh, syukurlah kalau begitu. Kamu belum tidur?"
"Belum, Mas. Mau melanjutkan menulis naskah n****+ baru saya."
"Ow, maaf ya kalau saya mengganggu, besok saja saya telphon balik."
"Nggak kok, Mas. Saya nggak terganggu... Ada apa mas?"
"Tidak ada apa-apa, cuma mau tanya keadaan Bian saja!"
"Terima kasih, Mas, sudah peduli dengan Bian." aku tersenyum memandang tembok putih didepanku
"Sama-sama... saya ingat anak saya, Lutfi. Sekarang sedang kuliah di Jogja."
"Wah, anak mas Widi sudah kuliah?"
"Sudah, makanya sepi di rumah."
Hening sesat, aku ragu bertanya keberadaan istrinya. Takut mas Widi salah paham. Tapi karena rasa penasaran yang teramat sangat, aku memberanikan diri bertanya.
"Memangnya istri Mas Widi kemana?" tanyaku hati-hati.
"Kami bercerai lima tahun lalu."
Aku diam, ternyata perjalanan hidup kami tidak jauh berbeda. Tapi kali ini aku tidak nekad melanjutkan pertanyaan. Aku yakin tidak ada pasangan yang ingin bercerai, tapi jika itu pilihan terbaik, apa boleh buat. Setiap pasangan pasti sudah memikirkan dengan matang konsekuensi pilihan mereka.
"Maaf, Mas...." ujarku dengan suara parau.
"Santai saja... Ohya, bagaimana kalau besok kita lanjutkan pembicaraan yang kemarin."
"Baik, Mas... Masih ditempat yang sama ketemunya?"
"Iya,... Besok jam dua belas, aku jemput, ya! Night!"
"Ee,... " Suaraku tertahan, sejenak aku terpaku karena saluran telphon telah terputus. Bahkan mas Widi tidak memberiku kesempatan untuk menolak. Aku benar-benar belum siap dekat dengan lelaki mana pun.
***
"Nay, jangan begitu! Nggak enak kan kalau Nak Widi kesini tapi kamunya udah jalan duluan!"
"Tapi, Ma... Nay nggak enak sama omongan tetangga!"
"Ya sudah, biar kamu tenang, mama dan Bian akan ikut bersama kalian."
Aku menatap wajah mama yang terlihat bersemangat, terpaksa aku setuju dengan permintaannya. Walau bagaimana pun, statusku sebagai janda selalu menjadi santapan tetangga untuk diolok-olok. Entah apa mau mereka, padahal, aku tidak pernah ambil pusing dengan urusan ibu-ibu di komplek ini.
Tepat pukul sebelas tiga puluh, Aku pergi menjemput Bian ke sekolah. langkahku terhenti melihat mas Arman dan Maya sudah menunggu di sana. Dalam perjanjian perceraian kami, hak asuh Bian jatuh padaku, tapi kapan pun mas Arman ingin datang dan mengajak Bian menginap di rumahnya, aku tidak boleh melarangnya.
"Mas Arman ngapain di sini?" tanyaku mendekat. Aku tidak ingin dia menjemput Bian hari ini. Tidak maslah jika di lain waktu.
"Mau jemput Bian! Hari ini aku ingin mengajaknya makan siang, agar tidak kurang gizi!"
Gigiku gemertuk mendengar ucapan mas Arman. Dia benar-benar telah berubah. Tidak ada lagi tersisa sedikitpun belas kasih dari mulutnya. Aku tahu dia kesal karena aku minta cerai, tapi aku sungguh sudah tidak sanggup hidup bersamanya. Aku menatap Maya yang menggendong anaknya. Dia sama sekali tidak menyapaku.
"Apa maksudmu mas bicara seperti itu?... Aku sanggup membelikan Bian makanan yang layak. Uang yang kamu berikan setiap bulan tidak pernah kusentuh. Semua masih utuh di rekening!"
"Owh, jadi selama ini kamu tidak butuh uang dariku? Baik aku akn berhenti mengirimnya. Untuk apa memberikan uang setiap bulan jika kamu tidak butuh!"
"Mamaaa... " teriak Bian mendekat.
"Biaaaan, ... Assalammualaikum, Sayang. Sudah pulang?"
"Waalaikum salam, sudah, Ma!"
"Salim sama papa dan bunda Maya!" imbuhku setelah Bian mencium punggung tanganku. Aku tidak pernah berusaha memberi jarak antara dia dan ayahnya.
Bian meraih tangan ayahnya lalu menciumnya. Tapi tidak dengan tangan Maya. Dia membiarkan tangan wanita itu menggantung.
"Bian! Salim dong sama bunda!" bujuk mas Arman menarik tangan Bian, sedikit memaksa menyambut tangan Maya.
"Sudahlah mas, kalua dia tidak mau, aku juga tidak masalah... Sekarang kamu tahu kan, seperti apa mamanya mendidik anak kamu!"
Kata-kata Maya membuat darahku mendidih. Apa maksudnya bicara seperti itu? Tapi aku memilih diam, malas rasanya adu mulut dengannya. Malu pada orang yang diam diam menguping. Beberapa orang yang mengenaliku dan Mas Arman selaku penasaran setiap kami bertemu di sini.
Entah sudah berapa kali kuperingatkan mas Arman agar memberi tahu jika dia ingin menjemput Bian, agar aku tidak datang sia-sia ke sekolah. Tapi tetap saja mas Arman tidak pernah mau melakukannya. Entah apa alasannya.
"Bian, ayo ikut papa, hari ini, papa akan ajak kamu makan siang di restoran. Kamu bisa makan apa saja yang kamu mau!"
Seperti biasa, Bian tidak pernah mau langsung menjawab, ia selalu menoleh padaku meminta persetujuan. Biasanya aku tidak pernah menahannya untuk ikut dengan papanya. Tapi kali ini, aku ingin membawanya bersamaku menemui mas Widi.
Aku diam saja tidak mengangguk tidak juga menggeleng, seolah menyerahkan sepenuhnya keputusan padanya.
"Bian mau pulang sama mama, Pa!"
Jawab Bian sembari bersembunyi di belakangku.
"Bian! Kamu nggak kangen sama papa? ... Itu kepala kamu kenapa, kok di perban?" pertanyaan mas Arman beruntun mencecar Bian. Ia berusaha menariknya. Tapi Bian menjauh dan menarik gamisku.
"Ma, ayo kita pulang!" teriaknya.
Aku menatap mas Arman lalu sedikit mengangguk, izin pamit. Tanpa menunggu jawabannya aku berbalik mengikuti Bian yang telah berganti merik tanganku. Seolah memintaku agar berjalan lebih cepat. Sesaat kemudian, motor metik kesayangnku meninggalkan sekolah itu.
***
"Assamalmmualaikum..."
Aku bergegas membuka pintu. "Waalaikum salam," jawabku dari dalam. Aku tersenyum saat melihat mas Widi sudah berdiri didepan pintu.
"Nak Widi sudah datang?"
Sapa mama basa basi tergopoh gopoh bersama Bian.
"Sudah, Tante ..." jawab mas Widi sopan. "Hai, Bian, apa kabar jagoan?" tanyanya sembari jongkok, menyamakan posisi dengan Bian.
"Baik, Om." jawab Bian menyambut tos tangan mas Widi.
"Mas Widi, maaf. Saya harap mas Widi tidak keberatan mama dan Bian Ikut."
"Tenang saja, Nay. Aku senag bisa mengajak Tante dan Bian makan siang bersama. Ayo, kita berangkat."
Aku menunduk saat mama melirikku. Ah, mama, kenapa ia begitu semagat?
"Bian mau makan apa?" tanya mas Widi setibanya di restoran.
Bian terlihat subuk membolak balik album menu mencari makanan kesukaannya. Setelah menentukan pilihannya, mas Widi mencatatnya lalu menyerahkannya pada pelayan.
"Mas Widi, sedang apa di sini?" sapa seorang wanita.
Mataku segera menoleh arah suara itu, suara yang sangat kukenal. Maya datang menghampiri yang diikuti mas Arman dari belakang.
Mama menggenggam jemariku, seolah memberi kekuatan padaku apapun yang akan terjadi nanti.
"Maya. Arman, kalian di sini juga?" tanyanya menyambut tangan mas Arman yang menjulur.
"Iya, Mas. Kami mau makan siang di sini."
"Owh, sama dong kalau begitu, aku juga mau makan siang... Ohya, Nay, kenalkan, ini Maya adikku dan suaminya."
Seketika darahku berdesir, dadaku bergemuruh. Oh Tuhan, jadi dia kakak dari wanita yang telah merebut suamiku?