"Oh?"
Mengerjap. Rana melihat empat orang pria yang satu sama lain memiliki kemiripan di wajahnya, mereka berdiri di depan pintu kamar kos. Sedangkan Rana masih berpiyama. Baru saja dia bangun dari tidur nyenyaknya.
"Pi, Langit bisa terlambat."
Baik Rana dan Alam, keduanya menatap sosok yang paling kecil di sana. Berseragam merah putih. Sebelum kemudian Alam kembalikan tatapnya pada Rana di depan.
"Lima belas menit, cukup?"
"Y-ya?"
"Saya kasih waktu lima belas menit untuk bersiap, setelah itu saya kembali."
Awan, dia memerhatikan bagaimana cara Papinya bicara terhadap perempuan. Berdasarkan hasil analisisnya saat ini, Awan menemukan pemahaman tentang: Kenapa Papinya nggak laku di pasaran.
Yeah ...
"Baik, Pak."
Awan menggeleng prihatin.
Sudahlah, tak ada harapan.
Berikutnya Alam mengajak ketiga sang putra untuk balik ke mobil. Seiring dengan Rana yang menutup pintu kamar kosnya, hendak mandi.
Di mobil.
"Pi."
"Iya?"
Papi mereka mulai mengemudikan kendaraannya. Melaju di jalanan wilayah perkampusan dengan mata lirik sana lirik sini mencari tempat makan yang buka di jam pagi.
"Papi beneran suka sama perempuan tadi?"
Mulai lagi.
Guntur yang menanyakan, Alam meliriknya. Putra nomor duanya itu sedang fokus pada ponsel di genggaman. Tapi mulut bicara pada dirinya.
"Nggak. Siapa juga yang bilang suka?"
"Syukurlah." Secepat itu Guntur bicara. Menatap Papinya. "Suami Mami yang sekarang itu pengusaha. Setidaknya kalau Papi mau sama perempuan muda, tapi pasangan Papi jangan mahasiswa. Kakak yang tadi masih anak kampus sini, kan? Kelihatannya dia ngekos di sana karena bangunan itu."
Menunjuk gedung kampus yang baru saja mereka lalui. Di mana kini mobil tersebut Alam hentikan di sebuah rumah makan yang tak jauh dari perkampusan.
Ya ampun.
"Langit setuju sama Bang Guntur."
Alam terkekeh.
Sedang Awan masih mengusap dagunya, berpikir. Belum bisa bilang 'agree' atau tidaknya untuk argumentasi Guntur saat ini.
"Iya, tenang aja. Papi belum mau punya pasangan kok."
"Oh, itu bencana buat kami."
"Pi, ayolah ..."
Guntur maupun Langit mulai frustrasi.
***
Lima belas menit. Rana benar - benar dijemput kembali pada waktu di setelah lima belas menit itu. Hingga kini, bokongnya berciuman lama di jok mobil depan milik lelaki itu.
Pak Alam.
Begitu Rana memanggilnya.
Konon, dia menggantikan posisi Awan, nama putra pertama Mr. Alam Semesta, yang semula duduk di sisi kemudi. Yang mana kini satu per satu dari anak beliau diturunkan di depan gerbang bangunan belajarnya.
Awan dan Guntur satu sekolah.
Sedangkan yang namanya Langit, bocah SD itu, bertempat tak jauh dari lokasi belajar kedua kakaknya.
Yang mana sekolahan mereka itu, benar-benar sewilayah dan tak jauh dari tempat Rana menimba ilmu. Pantaslah sempat untuk mampir dulu menjemputnya. Membuat Rana duduk kaku di dalam sana kala Awan, Guntur, dan Langit mulai memperkenalkan diri mereka sampai kemudian masing-masing tinggalkan mobilnya.
Umh ...
"Pak."
Melirik Alam.
Lelaki itu super membosan.
Berdua di dalam mobil pun hening tak ada obrolan.
"Ya?" Sama sekali tidak melirik pada manusia di sebelahnya.
"Kita mau ke mana?"
"Ke tempat orang tua kamu."
Rana menoleh pesat. Padahal semula dia sudah kembali menatap jalanan. Tapi ucapan Pak Alam itu ...
"Bapak bercanda?"
"Apa wajah saya seperti wajah - wajah komedian bagi kamu?" Pun, Alan menoleh saling menatap untuk sejenak dengan Rana di sampingnya.
Yang mana saat itu Rana membasahi bibir.
Alam kembalikan fokus pada jalanan di depannya.
"Tenang saja, saya sudah negosiasi dengan bos kamu semalam."
"Ya, tapi--" Tak Rana selesaikan. Melainkan dia meralat untuk ucapkan, "Tolong jangan buat orang tua saya kepikiran."
"Memangnya saya mau berbuat apa di sana?"
"Itu yang saya pertanyakan. Bapak mau ngapain ke rumah orang tua saya?"
Alam embuskan napas pelan. Sabar. Nampaknya bicara dengan anak di usia transisi tak akan cukup kalau dibicarakan hanya satu kali.
"Waktu itu, nggak ingat ya? Kan saya udah bilang, mau lamaran."
"Pak, plis. Bicaralah apa yang bisa dengan mudah saya pahami."
Pelan, Alam berdecak seraya dia hentikan mobilnya pada lampu merah. Well, rumah orang tua Rana bukan di kota ini. Jadi, perjalanan di dalam mobil pun diprediksi akan lama sekali.
"Jangan khawatir. Kesayangan saya tidak setuju kalau Papinya menikah dengan mahasiswa. Jadi, buang jauh - jauh makna lamaran secara denotasi di otak kamu saat ini."
Mengerling. Rana juga nggak berharap dinikah oleh duda anak tiga ini kok. Yang benar saja! Tipe lelakinya kan seorang bujang available. Nih ya, maaf - maaf saja, tiga puluh delapan tahun itu usia tua bagi Rana yang masih dua puluh dua. Helooow!
Tak mau berdebat lagi, Rana memilih bersedekap. Buang tatap pada jendela di sebelahnya. Malas lihat wajah Pak Alam, ganteng pun nggak guna kalau menyebalkan.
***
"Oh ya, kamu sudah ada gambaran soal anak-anak saya, kan?"
"Bapak pikir? Kan tadi udah kenalan."
Alam mengangguk. Kini mereka melaju di jalan tol. Seperti biasa, Alam bicara pun matanya tak menatap Rana.
"Kita bahas kinerja kamu untuk ke depannya di sini saja tidak apa-apa, kan? Sayang waktu kalau terbuang."
"Silakan." Rana sih ikut apa kata pemilik uangnya saja, kan di sini dia yang ngutang. Jadi, terserah Pak Alam. Sadar diri mau menentang pun uangnya belum bisa melunasi perkara lecetkan lamborghini gerangan.
Pak Alam manggut-manggut sebelum kemudian bicaca, "Saya mulai penjabarannya dari Awan, ya. Putra pertama saya itu ... tolong dicatat. Ini penting saat nanti kamu mendidik mereka."
"Oh, baik." Karena tidak ada pulpen dan buku, Rana ketik saja di ponsel. "Gimana, Pak?"
"Dia masih SMP seperti yang kamu lihat tadi. Agak lemah di pelajaran PKN, saya harap kamu bisa meningkatkan nilai ujian pada mata pelajaran itu nanti."
Oke.
PKN sih, kecil. Bagi Rana yang begitu mencintai pelajaran aroma sejarah dari para pejuang kemerdekaan.
"Sedangkan Guntur, kamu cukup ajarkan dia bahasa Inggris."
Mengangguk. Bisa kok bisa. Di kampus pun nilai mata kuliah umum yang itu, Rana dapat A. Kebetulan kemampuannya di sana bisa membuat orang tuanya mengacungkan jempol dengan bangga.
"Nah ... ini." Pak Alam menjeda, membuat Rana menoleh menatapnya, detik di mana mata mereka bersua. Alam berkata, "Langit agak istimewa."
Mengernyit, Rana butuh penjabaran yang lebih banyak dari itu.
Kembalinya tatapan Alam ke depan sambil kemudian dia lanjutkan, "Untuk Langit, kamu ajarkan saja materi yang pernah kamu dapatkan di kampus. Share ke dia. Langit suka hal baru--"
"Di usianya yang masih berseragam merah putih itu? Lagi-lagi, Pak Alam bercanda."
Menolak menerima apa yang Alam paparkan. Padahal kan Alam sudah bilang kalau putra bungsunya itu 'istimewa'.
"Kita bicarakan hal ini lagi nanti."
***