Part 13

1560 Words
Hotel Shalva adalah lokasi yang Alam tuju saat itu. Rana menoleh ke sana kemari hingga melongok pada Langit yang ternyata terlelap di perjalanan. Hotel tersebut terletak di Jakarta, lokasinya berada di pusat peradaban. 600 meter dari Grand Indonesia dan 1,4 km Monumen Selamat Datang. Cukup strategis karena dekat ke segala tempat. Sebagaimana Sarinah berjarak 3 km dari Hotel Shalva Jakarta, sedangkan Pasar Tanah Abang berjarak 3,2 km. Bandara terdekat adalah Bandara Halim Perdanakusuma, 11 km dari akomodasi. Konon, Hotel Shalva Jakarta menawarkan akomodasi dengan teras dan tempat parkir pribadi gratis untuk yang berkendara, dan Rana rasa Pak Alam memarkirkan kendaraannya di sana. Sama-sama suka yang gratisan kayak Rana ternyata. Fasilitas yang ditawarkan di akomodasi ini meliputi restoran, resepsionis 24 jam, layanan kamar, dan Wi-Fi gratis di seluruh areanya. Anak-anak pun bisa menginap di sana, makanya mantan istri Pak Alam minta meet di sini. Ah, mungkin ini hanya sebagian kecil pikiran Rana yang tak sesuai maksud temu mereka di hotel ini. Rana pun membuka sabuk pengamannya, mengikuti gerak Pak Alam yang hendak keluar dari mobil. Dalam diam Rana memerhatikan, dari bagaimana cara Alam menggendong Langit tanpa niat membangunkan, begitu lembut, aura ke-ayahannya menguar pekat. Ehm. Kalau begini sih, Pak Alam memang ayah potensial untuk anak-anak. "Rana." Alam memanggilnya, menghentikan langkah, pun dengan Rana yang mengekor di belakang punggung lebarnya. "Ya, Pak?" Berbaliklah dia demi menatap wajah Rana. "Haruskah saya genggam tangan kamu supaya kita jalannya bersisian?" Eh? "Ah, maaf." Cepat-cepat Rana pajukan pijakan dan berdiri di sebelah Pak Alam sambil bilang, "Begini?" Jalan berdampingan, tapi tidak dengan berpegangan tangan. "Ya, saya akan menyesuaikan langkah kamu. Jadi jangan khawatir capek karena langkah lebar saya nggak akan ada kalau kamu berjalan di situ." Ya ampun! Apa, tuh? Gombalan, ya? Atau modus? Manis banget kayak janji 'buaya' kepada mangsanya. Duh, Rana baper jangan? "Oh iya, kenapa harus bawa aku sih, Pak?" "Terus saya harus bawa siapa? Di rumah adanya kamu." Rana mengerucutkan bibir tanpa Pak Alam tahu. Tibalah mereka di lobi, yang kemudian singgahi meja resepsionis. Hal yang membuat Rana sontak menoleh. "Loh, Pak, pesan kamar juga?" "Iya, nggak mungkin saya nunggu di sini sampai Mamanya Langit datang, kan? Sementara kamu juga lihat, ini anak kebo banget tidurnya, saya nggak tega ngebangunin." Oh, oke. "Tapi cuma satu nih kamarnya?" "Terus berapa? Dua? Emangnya kamu mau bayar sendiri biaya ruangnya?" Dih! Pelit. Rana mencibir dalam hati. Terus ngapain ngajak dia? Rana sih mending nggak dibawa ke sininya kalau begini. Tapi, sayang, nasi sudah menjadi bubur. Gandum sudah diolah jadi tepung. Rana bisa apa? Hanya berdoa supaya nggak ada hal meresahkan yang terjadi kepada dirinya selama singgah di satu kamar dengan Mr. Alam YTH. Dah, gitu aja. "Eum ... Pak. Kita nggak nginap, kan?" "Kamunya udah siap emang?" Rana kiceup. Siap apaan, tuh? Siap mau ngapain dulu, nih? Dengan sialannya, otak Rana traveling. Bagus, rincian film 21 tahun ke atas menari-nari dengan tak tahu diri hingga pipi Rana memanas tanpa diminta. "Ih, apa sih," gumamnya. Sejenak saja, menginjak lift, mata mereka bertemu. Hingga pintu dari kotak besi ini tertutup. Rana berdeham. Sedang Pak Alam tatapannya kembali lurus ke depan, Langit masih lelap dalam gendongan. Fakyu deh, fakyu! Selalu saja, jantung Rana dibuat deg-degan di luar ritme normalnya. Kenapa, sih?! Kan Rana jadi nggak sanggup berdiri di jarak terdekat dengan Pak Alam. Tanpa terasa, langkah mereka sampai di kamar pilihan. "Pak." "Apa?" Rana manggil terus dari tadi. Di mulai saat Alam buka kunci, lalu merebahkan Langit di kasur yang tidak berani Rana duduki. Apalagi pintu kamar itu sudah dikunci juga dari dalam. Harus begitu, ya? Well ... "Awan sama Guntur nggak diajak?" "Mereka lagi main. Sudah saya telepon. Di rumah juga ada ART yang biasanya jaga anak-anak kalau saya ada seminar motivator di luar kota." Rana membulatkan bibirnya. Sepertinya Pak Alam ini sosok yang cukup terencana. Segala tindakannya seperti tanpa cela. Tapi, kenapa bercerai sama istrinya, ya? Kan Rana jadi kepo. "Kamu mau sampai kapan berdiri?" "Hm?" Oh, iya. Pantas kaki Rana pegal dari tadi. Sedangkan Alam mulai membuka gesper di pinggang. Eh, lho?! Rana ciut seketika. Isi di balik celana itu seberapa besar, ya, ukurannya? Astagfirullah. Terlalu jauh jalan-jalannya, otak Rana sampai tersesat di belantara warning yang tak seharusnya dia pikirkan. Cepat-cepat Rana alihkan pandang. Pak Alam mulai memelorotkan celana bahan yang dia kenakan. Sedang Rana memilih duduk di sofa tersedia. Kamar didesain minimalis, dan Rana baru mengedarkan tatapan. Iya, ke mana saja asal tidak melihat Pak Alam yang koloran. "Kalau lapar bilang, ya." "Iya." Rana kaku maksimal. Lain dengan Alam yang sudah rebahan di sebelah Langit-nya. "Betewe, kamu nggak mau rebahan juga?" Rana mendelik. "Di samping Bapak?" "Ya ... kalau kamu berkenan, silakan." Alam pun mepet-mepet kepada bungsunya. Yang dia tepuk sisi ranjang itu kalau-kalau Rana mau bobok di sana. "Tapi di sebelah Langit juga ada tempat kosong. Kamu pilih aja." Ah, nggak tahu, ah! Rana suudzon terus bawaannya. "Makasih. Aku di sini aja." *** Lama. Dari jam empat sorean sampai mau jam 18:00 pun nggak ada tuh tanda-tanda ibunda Langit yang katanya kangen pengin ketemu di Shalva, hotel kesinggahan Rana sekarang. Dan dengan kekeraskepalaannya akibat takut kena modus, Rana masih duduk di tempat semula. Memainkan ponsel sampai-sampai baterainya sekarat, mau tak mau Rana charger benda pengalih fokus dari sosok Pak Alam yang Rana rasa ... dari tadi beliau menatapnya. Ehm. Apa hanya perasaan Rana saja? Dan sekarang Pak Alam sedang di kamar mandi. Adalah detik di mana Langit mulai terjaga. "Kak Rana ..." "Eh, iya. Udah bangun?" Barulah Rana berani mendekati ranjang yang ada Langitnya. "Papi mana?" "Lagi mandi." Langit pun mengerjap. Uh, lucu. Umurnya 9 tahun memang, tapi tampang Langit baby face sekali. Jadi pengin punya satu yang kayak gini. "Mama belum datang, ya?" "Belum." Yang Rana usap kepala Langit, niatnya sih hanya menyingkirkan helai rambut anak itu yang menjatuhi kening. Tapi, gimana nih? Rana betah. Langit pun menguap. "Papi udah lama di kamar mandinya?" "Barusan sih." "Langit pengin pipis." Duh. Rana kudu ottoke? Dia harus bagaimana? Dan Rana memikirkannya. "Coba Langit gedor-gedor aja pintunya." Beringsutlah dia dari ranjang, tapi tangan kecil Langit menarik telapak Rana sambil bilang, "Sama Kakak." "Sendiri aja, kan keliatan dari sini." Langit pun patuh, tangan kecilnya mengetuk pintu kamar mandi sambil bilang, "Papi!" "Pi, buka!" Dari dalam kedengaran, "Sebentar. Papi masih mandi." "Langit udah diujung!" Di tempatnya Rana melihat pintu itu terbuka, sosok kecil Langit pun nyelundup ke dalamnya. Tak menampilkan Pak Alam, memang. Tapi entah kenapa pipi Rana panas membayangkan ... Aduh, stop! Namun, tak lama, dengan semprulnya Langit bilang, "Kak Rana, punya Papi besar!" Begitu dia selesai dan keluar dari kamar mandi seiring dengan Alam yang lengkap berpakaian. Dibilang seperti itu, pipi Rana yang bersemu. Pun, Rana yang kaku. Lain dengan Alam yang tertawa sambil membekap mulut kecil putranya. "Maaf, ya." Mengerjap. "Oh ... iya, Pak." Jadi, itu sungguhan? Betul apa yang Langit bilang? Terus, bisa nggak Rana dilenyapkan?! Malu. Padahal yang Langit sebut bukan punya Rana. Cuma kok Rana yang ciut malu oleh kenyataan? Dan, ya ... Begitulah. Gantian, Rana yang mandi. Sementara Alam dan Langit keluar mencari makanan, pun mau beli pakaian. Katanya sih demikian. Langit nggak mau mandi kalau nggak ada baju ganti. Lalu, lama Rana menanti. Dia nonton televisi sambil mengecek ponsel yang pas sekali, benda itu berbunyi. "Halo, Pak?" Alam Semesta memanggilnya. "Pak?" Terkesiap sosok Alam di seberang telepon sana. Terdengar dari nada bicaranya yang bilang, "Ah, nggak. Sebentar lagi saya sampai." "Oh ... oke." Rana pun kebingungan, ditutupnya panggilan itu. "Udah, nih? Gitu doang?" Rana kira ada hal penting apa sampai-sampai Pak Alam meneleponnya. Atau mungkin mantan istrinya mau datang, dan Rana harus mempersilakan beliau menunggu serta menjelaskan kalau keberadaan Rana di sini adalah 'bukan ancaman', begitu? Tapi, tidak terjadi. Yang ada, benar, Alam yang datang bersama Langit yang nyeruntul bawa seplastik mainan. "Dibeliin sama Papi." Itu kata Langit. Rana sih no comment. Terserah, kan itu uang Pak Alam, untuk anaknya juga. Sedangkan Rana? Memangnya dia siapa? "Ini." Alam serahkan seplastik belanjaan. Barulah Rana bicara, "Apa nih?" Yang tak ada sahutan, Alam memilih sajikan makanan hasil belinya di meja depan TV. Lalu bilang sama Langit untuk segera mandi, kan sudah ada pakaian ganti, pun mainan hasil rampok Langit di mall, mau tak mau Alam bayar mainan-mainan itu yang sudah Langit peluk sambil bilang, "Langit mau mandi kalau Papi beliin semua ini. Deal!" Makanya, sekarang Langit sudah meluncur ke kamar kecil untuk segera bersihkan badannya sendiri. Sementara Rana, melotot di tempatnya. "Kenapa? Nggak suka? Atau nggak pas ukurannya?" Padahal Alam sudah mengira-ngira. Jadi, bukan 34B, ya? Paham, kan, kenapa Rana tercengang pengin meledak tapi nggak kuasa? Dengan polosnya Pak Alam bicara, "Tadinya saya nelepon kamu mau tanyain itu. Tapi takut nggak sopan, atau kamu salah paham. Sementara niat saya baik, daripada semalaman pakai baju bekas kerja, bau keringat, pasti nggak sehat. Sudah, terima aja." Yang mana seluruh belanjaan itu telah Rana keluarkan di atas kasur, dan pintu kamar terketuk dari luar. Langsung Alam buka. Cepat-cepat Rana masukkan mulai dari bra hingga celana dalam. Uh ... bisa-bisanya Pak Alam belikan itu. Pengin nangis di pojokan, tapi nampol gerangan kayaknya lebih patut Rana laksanakan. "Langit masih mandi, mau tunggu di luar atau--" Itu sih yang Rana dengar, hingga pada saat dia berbalik ... adalah detik di mana matanya bertemu dengan sorotan asing yang berucap, "Oh, maaf." Entah, untuk siapa. Rana lihat perempuan itu duduk di sofa dan bilang kepada Pak Alam bahwa, "Kayaknya nggak lebih baik dari aku." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD