Cuaca hari ini terasa sangat panas. Sejak tadi, keringat terasa terus saja keluar dari setiap pori-pori kulit Affa. Untungnya Senu paham dengan apa yang dirasakan oleh Affa. Ia membuat Affa mandi ditengah hari dan memakaikan gaun rumahan yang tipis untuk meminimallisir rasa panas. Sedangkan kini, Senu tengah menyuapi Affa dengan potongan buah dingin yang dibalut oleh cokelat beku. Pria itu tampak senang saat Affa dengan antusias mengunyah buah yang ia sodorkan. Makin lama, Affa memang makin manja dan menurut padanya. Jujur saja, itu membuatnya senang.
"Nah setelah makan buah, nanti tidur siang ya," pinta Senu.
Affa seketika menghentikan kunyahannya. Matanya yang tak berfungsi bergerak tak fokus, tampak mencoba menebak di mana keberadaan Senu. "Affa gak suka tidur siang. Gak mau tidur siang. Enggak ngantuk juga."
"Harus tidur siang. Atau kau akan kelelahan. Masalah mengantuk, sebentar lagi kau pasti akan mengantuk, tenang saja. Ayo buka mulutnya lagi, tinggal satu potong buah strawberry yang tersisa, aaa!!" Senu tampaknya tak mau mendapatkan penolakan apa pun dari Affa. Affa membuka mulutnya dengan patuh. Dan saat strawberry itu masuk kedalam mulutnya, lidah Affa terasa dimanjakan oleh manisnya buah beri tersebut. Tanpa sadar Affa tersenyum karenanya.
"Sekarang minum dulu." Affa minum dengan patuh. Sekarang Affa mulai mengantuk. Perutnya terasa sangat kenyang. Bagaimana tidak, setelah makan dengan tumis capcai udang, Affa juga dibuat menikmati potongan buah beku yang manis. Memang, biasanya Affa akan cepat mengantuk jika perutnya kenyang. Tapi, Affa tidak memiliki kebiasaan tidur siang.
Entah mengapa, setelah Senu membuatnya buta. Affa rutin tidur siang. Dan itu sangat aneh menurut Affa, apalagi Affa akan mengantuk tepat setelah Senu mengatakan bahwa dirinya akan mengantuk. Apa dirinya terkena hipnotis?
Pikiran Affa buyar seketika, saat dirinya dibuat duduk mengangkang di atas pangkuan Senu. Affa bisa merasakan hembusan napas Senu yang menerpa wajahnya, hangat. Serta wangi. Wajah Affa seketika memanas, karena sempat-sempatnya dirinya memikirkan wangi napas Senu.
"Kenapa wajahmu memerah, ayo mengaku, kau memikirkan apa?" bisik Senu, nadanya sarat dengan godaan.
Affa menggeleng dan menenggelamkan wajahnya pada d**a Senu, menyembunyikan wajahnya yang dihiasi semburat merah. Semburat tersebut kini terus menyebar, hingga turun ke leher dan telinganya. Senu yang melihat hal tersebut hanya bisa menyeringai. Ia merapikan helaian rambut Affa, hingga lehernya yang putih terlihat jelas.
Senu menunduk dan menjilat leher Affa dengan gerakan menggoda. Tapi, gerakannya terhenti saat mendengar dengkur halus. Affa telah tidur rupanya. Senu benar-benar menghentikan aksinya dan membaringkan Affa di sofa. Setelah memastikan Affa nyaman dengan posisinya. Senu menjauh dan mengecek ponsel Affa. Lagi-lagi rahang Senu mengetat kuat. Ia tengah menahan emosinya yang hampir meledak. Senu menoleh dan memastikan Affa masih tidur, ia memilih untuk melangkah pergi, ada sesuatu yang harus ia selesaikan saat ini juga. Senu harsu segera pergi agar dirinya bisa kembali saat Affa bangun nanti.
***
"Ini beneran cari mati namanya," ucap Ing sembari mengikuti langkah Ghuan yang kini mengendap-ngendap di sepanjang lorong sekolah.
"Ssttt diem deh!! Emang harus gini. Tadi pagi, Papa nganterin gue, jadi gue gak bisa langsung otw ke rumah calon bini gue. Nah sekarang gue harus cabut."
"Tapi gak harus cabut juga kali, kalo ketauan sama si Kumis bisa berabe. Lo tau sendirikan gimana sentimennya si Kumis sama kita," Ing mencoba mengingatkan. Ing memang nakal, dan tak senang diatur. Tapi, dirinya tak pernah membolos sekolah. Pantang baginya untuk membolos. Kata Mama, itu gak boleh. Pikir Ing.
Ghuan menghentikan langkahnya, dan menoleh pada Ing. "Kalo lo takut, jangan ikut. Gue gak bakal kesasar inih. Gue tau posisi pemilik hati gue."
"Kentut!! Tapi, kitakan bagai kecebong dan air got. Gak bisa terpisahkan. Jadi gue harus ngikutin lo."
"Bentar, yang jadi kecebong siapa? Terus air gotnya?" tanya Ghuan.
"Jelas, lo air got karena lo bau. Dan gue kecebong, setidaknya kecebong imut-imut kek banci Thailand."
"Ih si anying kalo ngomong kagak disaring dulu. Tadi katanya lo takut sama si Kumis, mending sana lo balik ke kelas!! Kan lo hobi banget belajar, sama ngotak-ngatiik hati cowo."
"Enggak ah. Mending ikut lo, kalo ketemu si Kumis nanti tinggal gue cabut tu kumisnya atu-atu. Langsung kicep dah."
Ghuan hampir menyemburkan tawanya. Namun ia lebih dulu sadar, jika kini ia dan Ing tengah proses untuk melarikan diri dari sekolah.
"Btw, lo mau ke rumah si Affa kenapa dah?"
"Gue cuma mau mastiin kalo Affa emang beneran ada di rumah--"
"Kalian ngapain di sini? Kenapa gak masuk kelas?"
Suara seorang perempuan menghentikan ucapan Ghuan. Ghuan dan Ing serentak menoleh ke sumber suara. Dan mata mereka seketika membulat saat melihat Stella yang memeluk setumpuk kertas.
"Eh bu ketos. Kita cuma lagi kerja bakti, nyari kecoa sama curut. Iya gak Ghuan?" Ing lebih dulu tersadar dari kekagetannya. Kini Ghuan dan Ing tak lagi berpose seperti maling yang takut ketahuan. Keduanya telah berdiri dengan tegap, menghadap pada Stella.
Stella menutupi mulutnya dan tertawa anggun. "Kak Ing, apa Kakak tidak lelah terus-terusan bersikap kekanakan? Umur Kakak makin hari makin menua, dan Kakak masih betah berada di sini. Sudah waktunya Kakak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi." Stella tampak menasihati dengan sopan. Tapi Ing sama sekali tak bereaksi, ia malah sibuk mengorek lubang hidungnya yang terasa gatal. Stella tampak mengernyit tak senang. Sedangkan Ghuan tengah bersiap melemparkan kata-kata pedas miliknya.
"Eh bu ketos, jangan so-soan ngasih nasehat sama orang lain!! Emang hidup situ udah bener? Mau Ing kagak naek kelas kek, atau bahkan tetep sekolah di sini, ampe dia bangkotan juga bukan urusan lo. Hidup-hidup dia, dia juga bayar sekolah. Kagak ngerugiin lo juga kan?"
Stella hanya tersenyum. "Oke terserahlah. Btw aku tanya sekali lagi. Kenapa kalian ada di sini? Sekarang KBM udah dimulai loh."
"Tadikan Ing udah jawab, kita lagi kerja bakti nyariin kecoa sama curut yang suka ngebacot."
Stella menghela napasnya. "Sebenarnya, tanpa bertanya pun, aku tau kalau kalian mau kabur. Tapi, aku cuma mau ngasih kesempatan buat kalian. Siapa tau kalian balik ke kelas. Tapi, kayaknya kalian udah terlalu batu, dan cuma ada satu hal yang bisa menggagalkan rencana kalian itu."
Senyuman Stella seketika membuat bulu kuduk Ghuan dan Ing berdiri tegak. Firasat buruk merasuki hati mereka saat melihat salah satu tangan Stella terangkat tinggi, dan teriakan Stella menyusul nyaring. "Pak Asep!! Ini Ghuan dan kak Ing mau kabur!!"
Ghuan serta Ing menoleh serentak saat mendengar suara peluit maut. Dan diujung lorong, keduanya bisa melihat seorang pria paruh baya dengan kumis tebal tengah bertolak pinggang dan melotot garang. "Ghuan, Ing jangan berulah!!! Berhenti di sana!!!" teriak guru berkumis tebal tersebut. Saat ia berbicara, kumisnya yang tebal bergoyang-goyang, membuat Ghuan maupun Ing geli bukan main.
Ing segera berlari meninggalkan Ghuan yang beberapa detik masih terpaku di tempatnya berdiri. "Ih si onyed!! Kenapa gue ditinggal?!!" Ghuan berteriak histeris karena Pa Asep, sang guru fisika yang terkenal galak, hampir saja menangkap dirinya.
"Maaf Ghuan, gue alergi sama Cihuahua berkumis!!" Ing membalas dengan sebuah teriakan yang tak kalah histeris.
Keduanya berlari dengan kuat menghindari kejaran Pa Asep yang memang sejak dulu telah menandai keduanya karena suka membuat onar, ya walaupun keduanya juga terkenal sebagai murid berprestasi. Stella hanya terkekeh pelan di tempatnya, pemandangan tersebut sangat menghibur. Namun matanya berkilat aneh saat mengingat perkataan Ghuan dan Ing tadi, ia memang sempat mendengar pembicaraan keduanya.
"Ah, kenapa aku masih di sini? Aku harus segera ke ruang guru," ucap Stella menyadarkan dirinya dan segera melangkah menuju ruang guru dengan kilat aneh di kedua matanya.
***
Tangan Affa bergetar hebat. Ia telah bangun dari tidur siangnya. Dan alangkah beruntungnya Affa, bahwa Senu tak berada di sekitarnya. Bahkan Affa bisa memastikan bahwa Senu memang benar-benar tak berada di rumah ini. Dan kini, Affa tengah meraba-raba udara dan benda-benda di sekitarnya. Affa juga harus beberapa kali berjengit kaget karena ada beberapa barang yang jatuh dan menimbulkan suara nyaring.
Affa tak peduli. Yang harus ia lakukan saat ini juga adalah, segera mencari telepon rumah yang memang berada di ruang keluarga. Ponsel Affa memang menghilang, tapi jika ia menemukan telepon rumah tersebut. Setidaknya Affa bisa meminta bantuan polisi setempat, karena Affa hafal nomor telepon darurat, Affa juga bisa meraba-raba tombol telepon rumah.
Dan akhirnya dapat!! Affa menemukan telepon rumah di atas meja yang tak terlalu tinggi. Ia meraba-raba dan mengangkat gagang telepon, jemari Affa mulai mencoba menekan kombinasi angka nomor telepon darurat yang ia hafal.Namun percobaan itu, harus gagal berkali-kali. Hingga rasa sesak di d**a Affa terasa kembali.
Tangan Affa juga bergetar semakin kuat. Kepala Affa terasa pening bukan main. Serangan panik Affa kembali!! Dan kenapa harus kembali di saat yang tidak tepat seperti ini?!! Affa meraung dalam hatinya.
Tapi, usaha Affa akhirnya berbuah manis. Affa berhasil menekan kombinasi nomor yang tepat dan sambungan terhubung. "Dengan kantor Polisi di--"
Affa memotong ucapan Polisi yang menjaga pusat informasi tersebut, "To-tolong. Tolong. Tolong Affa. Hah hah. Tolong Affa, Affa mohon. Hah hah." Affa kesulitan berbicara karena lehernya terasa tercekik. Paru-parunya juga mulai terasa perih. Rasa takut yang teramat kini menyelubungi diri Affa, kegelapan yang memang beberapa hari ini telah menemani Affa terasa berubah sangat menyeramkan.
"Nona Affa, mohon tenang!! Dimana posisi nona sekarang?"
"Hiks, rumah nomor 23 di jalan Pelita." Affa mulai menangis saat suara diujung sambungan tak lagi terdengar.
"Affa mohon, tolong--"
"Kenapa kau meminta tolong Affa?"
Tubuh Affa menegang. Suara polisi tadi, berubah menjadi suara seseorang yang telah Affa kenali. Itu, suara Senu. Tapi, bagaimana bisa? Bagaimana bisa Senu mengambil alih sambungan telepon polisi tersebut.
"Sayang, kenapa kau malah diam?" Affa berjengit saat suara Senu terdengar nyata di telinga kiri Affa yang tak ditempeli telepon rumah. Disertai terpaan napas hangat yang membelai leher serta pipi Affa. Sepasang tangan yang kekar, memeluk perut Affa dengan erat dari belakang.
"Se-Senu?"
"Ya, ini aku. Tampaknya aku selama ini bersikap terlalu lunak padamu ya? Hingga kau bersikap seperti ini." Senu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Affa.
Affa bertambah kesulitan bernapas. Wajahnya pucat pasi. Dan tubuhnya bergetar sepenuhnya. Senu yang memang telah memeluk perut Affa, bisa merasakan getaran tubuh Affa yang tak normal. Senu bisa menebak alasan dibalik semua itu, apalagi jika bukan karena serangan paniknya yang kembali.
Dengan tenang, Senu mengangkat tubuh Affa dan membawanya ke dalam ruangan rahasia. Setibanya di sana, Senu segera membuka laci dan mengeluarkan obat berwarna putih. Ia memasukkannya ke dalam gelas air putih, dan meminumkan airnya pada Affa. Setelah meneguk air tersebut, Affa secara bertahap mulai tenang. Keringat dingin dan getaran tubuhnya telah berhenti.
Tapi, Affa belum bisa sepenuhnya merasa tenang. Kenapa? Karena Senu belum membuka suara sejak tadi. Itu sukses membuat Affa ketakutan, ia tengah menerka-nerka, hal apa yang akan Senu lakukan selanjutnya.
Benar saja, Senu secara tiba-tiba menindih Affa dan berbisik di telinga gadis itu. "Kau membuatku marah. Sangat marah. Dan terimalah hukuman dariku sayang."
Setelah itu, Affa menjerit histeris karena Senu merobek gaun tipis yang Affa kenakan dalam satu gerakan. Lalu dengan kasarnya, Senu mencium dan memagut bibir Affa. Ia juga memberikan tanda-tanda kemerahan di sekitar leher dan bahu Affa yang kini telah terekspos bebas.Tangis dan jerit Affa semakin kuat, saat Senu menarik bra Affa. Menyentaknya hingga terlepas dari tempatnya. Affa mengerang, tali bra yang putus sedikit melukai pundaknya.
Tapi, perlakuan Senu selanjutnya membuat Affa menjerit hingga kehilangan suaranya. Senu dengan ringan menjilat buah d**a Affa, namun membiarkan puncaknya tetap tak tersentuh hingga akhir. Senu tampaknya tengah mempermainkan gairah Affa.
Affa menjerit-jerit tak terkendali. Hingga tenggorankannya sakit dan ia tak memiliki tenaga lagi untuk berkontak. Hal itu membuat Senu menyeringai dan dengan sekali gerakan, ia mencucup puncak p******a Affa dengan gemas. Punggung Affa melengkung, membentuk sebuah busur yang indah. Senu menyeringai saat melihat Affa memejamkan matanya dengan rapat dengan wajahnya yang memerah. Keringat mulai mengucur kembali di sekujur tubuh Affa. Tangis Affa yang sempat reda kembali pecah dan semakin keras.
Senu mengabaikan Affa yang berkontak dan memohon untuk menghentikan semua ini. Ia bahkan semakin gencar melancarkan aksinya dan semakin membuat Affa merasakan panas dingin.Tubuh Affa menegang saat area paling sensitif di tubuhnya mulai dirambah oleh Senu. Pria itu membelai inti Affa yang masih tertutupi celana dalam, dengan lembut. Menggoda Affa dengan sentuhannya yang akan membawanya ke dalam jurang kenikmatan surga dunia. Kaki Affa dipentangkan lebar-lebar, memudahkan akses Senu menjelajahi area sensitif Affa tersebut.
Affa menjerit serta membelalakan matanya, saat merasakan sesuatu yang basah dan panas menyentuh area sensitif miliknya yang masih terlindungi celana dalam tipis. Seketika sesuatu yang sejak tadi Affa tahan terlepas, diiringi lolongan Affa yang keras. Tubuh Affa melengkung, mengekspresikan rasa tanpa kata. Perut bagian bawah Affa terasa mengejang pelan. Sensasi ini sungguh aneh, tapi sebagian dari diri Affa menyukai sensasi ini.
Tapi beberapa saat kemudian, tubuhnya yang mungil melemas dan tergeletak tak berdaya. Ia terisak pelan. Tubuhnya terasa basah oleh keringat. Area senstifnya juga terasa berkedut dan sangat basah setelah lolongannya tadi. Seluruh anggota badan Affa terasa sangat lemas. Ia kelelahan.
Matanya memberat dan hampir tertutup. Sebelum mendengar bisikan Senu yang mengerikan, "Kau harus tetap terjaga sayang, kita baru saja melakukan pemanasan. Dan kita akan memulai acara utamanya."