Pesawat Kertas

2239 Words
    Disepanjang lorong sekolah, siswa-siswi tampak riuh. Mereka membentuk kelompok kecil masing-masing, yang memiliki topik sendiri. Namun topik terhangat yang kini menjadi perbincangan satu sekolah tak lain adalah, mengenai seorang siswi baru yang ternyata adalah penghuni baru dari rumah nomor 23 yang melegenda di kota tersebut.     Rumah nomor 23, merupakan rumah yang berdiri di sebuah kopleks perumahan elite. Entah mengapa, sejak dulu, konstruksi rumah tersebut tidak pernah dirubah. Padahal sekitaran rumah tersebut telah berubah menjadi perumahan elit yang bernilai jual tinggi. Hingga kini, tak banyak yang tahu siapakah pemegang kepemilikan rumah tersebut. Yang jelas, sejak dahulu telah banyak rumor yang beredar, bahwa siapa pun yang berhubungan atau bahkan menempati rumah tersebut, pasti akan mengalami kesialan dalam hidupnya.     Entah karena gaya rumah tersebut yang mengusung gaya zaman penjajahan yang terkesan horor, ataupun memang ada gaya magis yang tak bisa dijelaskan, rumah tersebut benar-benar dijauhi oleh warga setempat yang telah mengetahui dengan jelas mengenai rumor tersebut. Hingga saat ini, rumor tersebut tetap berhembus. Apalagi, kini rumah nomor 23 yang antik tersebut telah memiliki penghuni baru, siapa lagi jika bukan Affa.     Affa menghela napas. Ia melangkah dengan percaya diri ditengah lorong sekolah. Lorong yang tadinya begitu ramai, menjadi lengang saat Affa melewatinya. Affa merasa diperlakukan seperti virus pembawa penyakit yang sangat berbahaya. Ia belum mengetahui perihal rumor mengenai rumah yang ia tempati. Bagaimana ia bisa tahu, jika orang-orang saja tak mau mengajaknya bicara.     Kini Affa tiba di kelasnya. Berbeda dengan orang-orang di lorong sekolah, teman-teman Affa di kelas nampaknya telah bersepakat untuk tak menganggap Affa ada. Mereka terus melanjutkan kegiatan mereka dan tak mempedulikan Affa yang baru saja masuk ke dalam kelas. Affa memilih membuka ponselnya dan membaca e-book yang ia miliki. Tapi samar-samar Affa mendengar suara seseorang di ambang pintu kelas.     "Pagi Ghuan. Tumbenan lo dateng ke kelas gue, ada apa?" Itu suara Wida.     "Bukan urusan lo. Minggir!" Suara Ghuan terdengar sangat dingin. Jejak-jejak kekonyolan yang sering pemuda itu tunjukkan pada Affa, entah terbang ke mana.     "Tapi, Ghuan!! Gue belom selesai ngomong!!" Wida berteriak dan mengikuti langkah Ghuan yang ternyata telah masuk ke dalam kelas Affa dan mendekati gadis itu.     "Tunggu, jangan bilang lo ke sini buat nyamperin cewe penghuni rumah nomor 23 ini?" Wida bertanya tak percaya. Ghuan hanya melirik sinis, ia duduk dihadapan Affa dan mengetuk meja dengan gaya slengean.     "Hai calon bini. Selamat pagi. Pagi yang cerah, apalagi kalo lo ada di hadapan gue kayak begini." Affa melirik Ghuan yang baru saja melemparkan gombalannya. Ghuan sendiri masih setia memasang wajah datarnya, disetiap kondisi. Termasuk untuk saat ini.     "Ngapain ke sini? Sana, balik ke habitat lo," usir Affa.     "Lo nyuruh gue balik ke habitat? Berarti gue bener dong di sini. Kan, habitat gue, hati lo!! Waktunya bilang, ea, ea, ea!! Mantep gak tuh!!" Ghuan terlihat heboh sendiri. Kini, Affa dan Ghuan tengah menjadi perhatian seisi kelas.     "Ghuan," panggil Wida. Namun Ghuan tak menjawab, untuk sekedar menoleh pun Ghuan tak melakukannya. Ia tetap menatap Affa dengan fokus. Satu titik. Titik itu. Hanya itu.     "Ih lo makin pesek aja. Kayaknya tiap hari, idung lo makin kedalem sebanyak 0,001 milimeter deh. Hem kasian, makin lama itu idung berubah jadi kutil tuh. Tapi, gak papa karena gue mancung, ada sekitar 50% kemungkinan anak-anak kita nanti terlahir dengan hidung yang mancung. Jadi, lo gak usah kepikiran," ucap Ghuan dengan serius.     "Dasar gila," umpat Affa.     "Ya, tergila-gila karenamu. Kiw kiw kiw kiw kiw, mantap gila. Oh iya, kayaknya mulai hari ini kita mulai pakek kata 'aku, kamu' aja ya. Kita harus membiasakan diri, kan parah kalo nanti kita pasih pakek 'gue, lo' dihadapan anak-anak kita."     "Lo--" ucapan Affa segera dipotong oleh Ghuan.     "Aku."     "Lo--"     "Aku Affa," Ghuan kembali membenarkan.     "Lo, ish diem dulu!! Lo emang sarap jadi orang!!" Affa membekap mulut Ghuan yang sempat akan memotong perkataan Affa lagi.     Gerak-gerik keduanya sejak tadi tak luput dari perhatian Wida, yang memang masih berdiri di samping Ghuan. Wida telah tertelan oleh emosi, wajahnya memerah. Kemarin-kemarin, Wida memang telah mendengar kabar jika Ghuan tengah mendekati seorang siswi. Tapi Wida tak tahu jika yang tengah didekati oleh Ghuan, adalah Affa. Teman yang baru saja menjadi mantan temannya.     Wida maju dan melepas tangan pucat Affa yang masih bertengger manis di sana. "Lo!! Jangan sentuh-sentuh Ghuan, bisa-bisa kesialan lo nular sama dia. Kalo mau sial, sial aja sendiri. Gak usah ngajak orang lain!!" semprot Wida penuh emosi. Jarinya menunjuk Affa dengan kesal.     Affa hanya menatap tak mengerti pada Wida. Kenapa temannya itu bisa berubah menjadi seperti ini dalam satu hari? Lalu mengapa dirinya disebut sebagai pembawa sial? Oh ayo lah, Affa butuh penjelasan.     "Maksud lo apaan si?"     "Lo masih nanya maksud gue? Gue--" ucapan Wida terpotong saat Ghuan berdiri dari duduknya dan mendorong Wida agar tak menghalangi pandangannya dari Affa.     "Awas ah, berisik banget. Mulut lo itu, kayak kenalpot bajaj. Bikin polusi udara. Kagak ada faedahnya lo buka mulut. Jangan nyebar hal yang belum tentu bener adanya. Lo mau jadi ratu hoax kedua? Gua cuma ngingetin ya. Kalo lo mau sesat, mending sesat sendiri, jangan ajak-ajak orang lain." Ghuan membalikkan kata-kata Wida. Wajah Wida memucat, siapa pun yang berada diposisinya pasti akan seperti ini.     Orang yang kalian sukai mempermalukan kalian di depan banyak orang. Terlebih, hal itu disebabkan karena orang yang kalian sukai membela orang yang yang ia sukai. Ah rumit sekali.     Beberapa teman Wida sudah maju, jika Dhan si guru ramah, tak masuk ke dalam kelas, mungkin saja kini Ghuan tengah adu mulut dengan para wanita. Untungnya Dhan lebih dulu memerintahkan Ghuan kembali ke kelasnya dan murid-muridnya segera duduk ditempat mereka masing-masing, karena jam pelajaran akan dimulai.     Affa tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Tampaknya, Affa masih memikirkan perkataan Wida yang mengatakan bahwa dirinya adalah pembawa sial. Istirahat nanti, Affa harus berbicara dengan Wida. Itu harus. Namun rencana Affa harus pupus, karena sebelum istirahat dirinya telah dipanggil terlebih dahulu oleh wali kelas tampannya, Dhan.     Rupanya, Dhan membicarakan mengenai Affa yang hari ini tak bisa fokus dalam pelajaran. Dhan selaku wali kelas, menawarkan diri sebagai tempat berbagi isi hati, jika memang Affa tengah mengalami kesulitan. Apalagi, Dhan mengatakan bahwa dirinya adalah teman baik dari Guntur.     Tapi Affa bungkam tak berniat menjelaskan alasan mengapa dirinya kehilangan fokus. Hingga akhirnya, Dhan mengizinkan Affa untuk kembali ke kelas. Affa undur diri, saat keluar dari ruang guru, Affa disambut oleh Ghuan yang ternyata telah menunggunya sejak tadi.     "Udah?" tanya Ghuan. Affa hanya mengangguk. Keduanya kini berjalan bersisian menuju taman belakang. Keduanya menjadi perhatian setiap orang yang mereka lewati. Para siswa berpikir betapa sayangnya Affa tak bisa didekati karena rumor kutukan, padahal Affa termasuk tipe gadis yang manis. Sedangkan para siswi tengah gigit jari, karena pujaan hati mereka tengah berjalan berdampingan dengan siswi yang menjadi perbincangan satu sekolahan.     Affa bukannya tidak menyadari lirikan sinis dan bisikan-bisikan yang menyentil ginjalnya, hanya saja Affa tak ingin membuat masalah besar. Ia malah melirik pada sosok Ghuan yang mendominasi di sampingnya, begitu tinggi dan memesona.     Ghuan memang tampan, kepribadiannya juga menyenangkan, walaupun sesekali kalian harus bersabar karena Ghuan berubah tengil dan dingin. Affa menunduk dan tersenyum, kenapa dadanya terasa berdetak tak karuan? Ini terlalu cepat.     Gerak-gerik Affa tak lepas dari pengamatan Ghuan. Pemuda itu menyeringai saat menemukan ide jail. Ghuan melambatkan langkahnya dan melangkah dibelakang Affa. Ia secara perlahan mengambil sejumput rambut Affa dan menghentikan langkahnya, otomatis Affa yang masih melangkah segera meringis sakit karena rambutnya tertarik.     "Anjir sakit bego!!" Affa tak habis pikir, kenapa Ghuan bisa berubah menyebalkan secepat ini?     "Jalan sendirian emang sakit. Makanya mending jalan berdua. Susah, seneng bareng-bareng. Tapi gak papa sih. Dan language Affa, kamu calon ibu, jaga bahasa kamu. Nanti calon anak-anak kita gak berbudi bahasa yang baik gimana?" Ghuan menarik turunkan alisnya dengan lincah.     "Apaan si, kagak jelas banget." Bibir Affa berucap seperti itu, namun pipinya untuk pertama kalinya memerah karena perkataan Ghuan. Posisi keduanya yang telah berada di luar ruangan, tepatnya di jalan setapak di antara dua gedung, membuat angin yang berhembus terasa lebih kuat. Bahkan rambut Affa yang sebhau terbang tak tentu arah. Wajah Affa yang memerah dan senyum malu-malunya, menambah pesona tersendiri yang bisa Ghuan tangkap.     Namun, mata Ghuan segera menyipit saat melihat noda merah kebiruan di sekitar leher Affa. Ghuan mencondongkan tubuhnya untuk melihat ruam tersebut dari dekat. Namun bukannya melihat ruam, Ghuan malah dengan sekilas dapat melihat seseorang dibalik tembok lantai tiga gedung. Seseorang itu mengangkat sebuah pot berukuran sedang ditangannya. Ghuan memperkirakan arah jatuhnya pot tersebut.     Dan dengan cepat Ghuan bisa memperkirakan bahwa orang itu menargetkan Affa. Sedetik kemudian, Ghuan menjadi tameng untuk tubuh Affa saat pot tanah liat itu jatuh menuju kepala Affa.     Semua orang yang melihat kejadian itu menjerit histeris. Punggung kemeja sekolah Ghuan yang berwarna putih, berubah menjadi cokelat kemerahan, karena tanah. Ia kini setengah menindih Affa yang terbaring dijalan setapak tersebut.     Mungkin karena kaget, Affa sudah tak sadarkan diri saat Ghuan memperhatikannya. Ghuan mengangkat wajahnya dan menatap tempat dimana pot tersebut jatuh. Dan sekelebat, Ghuan bisa melihat seorang siswi berambut kemerahan berbalik pergi dari sisi dinding.     "Wida?" bisik Ghuan.     Tapi, Ghuan tak memiliki waktu untuk memikirkan hal tersebut. Ia kembali menunduk dan mengangkat Affa ke atas punggungnya. Ia melirik sinis pada teman-temannya yang berkerubung dan berbisik-bisik tak jelas, tampak tak berniat menolong Affa.     "Bacod lo pada!! Minggir!! Atau gue bener-bener buat kalian ngerasain apa itu kesialan," ancam Ghuan serius. Teman-teman Ghuan secara teratur membuka jalan dan membiarkan Ghuan berlari dengan Affa di punggungnya.     Ghuan menendang pintu UKS hingga terbuka lebar. Seorang dokter jaga pria, yang tengah mengerjakan tugasnya hampir jatuh dari kursi saking kagetnya.     "Ghuan, kamu kenapa selalu datang dengan cara yang grasak-grusuk?" Dokter muda tersebut bangkit dari kursinya. Wajah dokter tersebut sangat tampan. Saking tampannya, bisa dikatakan cantik.     "Maaf Bang Jon. Ini, calon bininya Ghuan pingsan." Ghuan menunduk sedikit, membiarkan dokter yang ia panggil dengan panggilan bang Jon, melihat Affa.     "Baringkan di sana!" Joni menunjuk sebuah ranjang. Ghuan segera membaringkan Affa. Ia segera menepi, membiarkan dokter Joni untuk memeriksa Affa.     "Siswi ini tidak terluka. Dia hanya kehilangan kesadaran karena terkejut. Kau tidak perlu khawatir. Yang harus kau khawatirkan adalah kondisi dirimu sendiri. Duduklah, biarkan aku mengecek punggungmu. Kau seorang atlet, tubuhmu tidak boleh cidera." Ghuan menurut dan duduk disebuah kursi, ia membuka kemeja sekolahnya dan membiarkan Joni mengobati lukanya. Tak lama, Dhan datang.     "Bagaimana kondisi Affa?" tanya Dhan.     "Tenang aja Pak, calon bini saya cuma kaget kok."     Dhan tertawa setelah mendengar jawaban Ghuan. Sinar matanya terlihat berubah, namun Ghuan tampak tak menyadarinya. Tak lama bel masuk berbunyi. Dhan segera menyuruh Ghuan kembali ke kelas setelah mendapatkan perawatan medis dari Joni.     Awalnya, Ghuan sempat menolak. Tapi Dhan mengancam akan melaporkan Ghuan pada pak Asep. Pak Asep sendiri, adalah guru fisika yang bisa dibilang sering mendisiplinkan Ghuan dan Ing, jika melakukan hal-hal aneh.     Akhirnya Ghuan menurut dan kembali ke kelas. Walaupun sebelumnya, Ghuan beberapa kali menitipkan Affa kepada Dhan dan Joni.     "Pokoknya saya titip calon bini punya saya. Kalau sampai lecet, saya bakal tau. Ya udah, saya ke kelas!!"     Dhan dan Joni hanya bisa tertawa. Namun, tawa mereka seketika berhenti setelah Ghuan menghilang. Dhan duduk di kursi yang ia tarik ke samping ranjang Affa. Matanya mengamati relief wajah Affa yang tenang. Ia berdehem dan bertanya,"Dia benar-benar tak terluka bukan?"         "Tenang saja, tidak ada luka apa pun. Dia hanya terkejut. Sebentar lagi dia pasti sadar."     Dhan mengangguk setelah mendengar jawaban Joni. Benar saja, Affa mulai mengedipkan matanya beberapa saat kemudian. Dengan bantuan Dhan, Affa duduk bersandar di kepala ranjang.     "Mau minum?" Joni menyodorkan gelas air putih, Affa mengangguk dan menerimanya. "Gimana perasaan kamu Affa? Apa pusing?" kini, Dhan yang bertanya.     Affa menggeleng. "Affa gak pusing kok. Tapi, Ghuan mana? Dia tadi, itu kena gimana--" Affa tampak bingung sendiri.     "Tenang Affa, Ghuan hanya mengalami sedikit memar di punggungnya. Tadi dokter sudah mengobatinya, oh iya kenalkan, saya dokter Joni, dokter jaga di sini."     "Oh, iya. Terima kasih dokter. Saya gak papa kan dokter? Saya boleh balik ke kelas?" tanya Affa."     Jika kamu tidak merasa pusing, kamu boleh kembali ke kelas," jawab Joni.     "Ya sudah ayo bapak antar kamu ke kelas." Dhan berdiri dan membantu Affa untuk kembali ke kelas. ***     Sekembalinya Affa dari ruang kesehatan. Affa sama sekali tak mendapatkan sambutan apa pun dari teman-teman kelasnya. Hanya saja, Dhan menitipkan Affa kepada Anggi selaku ketua kelas. Anggi sendiri hanya menjawab sekenanya. Dan tak mendekati Affa setelah Dhan pergi.     Jam pelajaran berlangsung kembali. Tak ada yang aneh. Namun tampaknya Wida sangat gelisah. Ia merasa seakan-akan tengah diawasi dan merasakan firasat buruk. Selama jam pelajaran berlangsng Affa menyempatkan diri untuk menanyakan keadaan Ghuan. Tapi Affa hamper membantin ponselnya saat membaca balasan dari Ghuan. Si Kue Kaleng Tenang aja. Cuma memar doing. Hati aku masih aman kok. Cuma kamu doing isinya. Btw nanti aku gak bisa nganter pulang kamu. Aku harus latihan. Hati-hati di jalan ya. Jaga hati, jaga mata, sama kayak aku yang jaga mereka cuma buat kamu.     Sekolah berakhir. Affa ditinggal sendirian di ruangan kelas. Ia masih membereskan barang-barangnya. Dan pada akhirnya Affa bisa pulang. Saat kakinya baru mengambil satu langkah di luar kelas, sebuah pesawat kertas terbang dan jatuh tepat di depan kakinya.     Affa mencari siapa pemilik pesawat kertas tersebut. Namun sayangnya, lorong sekolah telah sepi. Akhirnya Affa memutuskan untuk memungutnya, ia juga membuka lipatan pesawat kertas tersebut saat tahu jika ada sebuah tulisan di dalamnya.     "Tenang saja sayang, yang jahat akan kuberi hukuman.     23❤"     Affa menelengkan kepalanya, maksudnya apa? Affa sama sekali tak paham. Dan ia yakin pesan serta pesawat tersebut memang bukan untuknya. Jadi Affa kembali meletakkan pesawat tersebut di lantai dan melangkah pergi.     Setelah Affa menjauh sosok misterius berpakaian hitam muncul dan mengambil pesawat kertas tersebut. Ia melihatnya dan menyimpannya ke dalam saku hoodienya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD