Ulama-Habaib Berdampingan Membangun Beyawi

4138 Words
Berdampingan Membangun Betawi Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama lokal Betawi, di Jakarta atau Batavia itu. Ada sebutan Habaib yang menandakan bahwa ia adalah anak keturunan Rasulullah SAW Para Habaib itu datang ke Betawi sejak jaman penaklukan Sunda Kelapa oleh R Fatahillah (Jatinegara Kaum) dan seiring migrasi besar-besaran dari tanah Hijren terutama pada abad 18. Dalam dunia Islam, baik dari sunni maupun syiah, di Arab maupun di luar Arab, bertarikat ataupun tidak, dikenal dengan adanya golongan-golongan yang mengaku sebagai ahlul bayt, atau sebagai keturunan nabi. Dengan berbagai silsilah yang dinyatakan sebagai yang paling valid atau benar, mereka banyak yang diagung-agungkan oleh ummat. Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme. Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci. Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan Nabi Muhammad SAW. Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah : Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khawariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri. Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi. Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman. Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul. Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad. Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif). Berjuang Jenderal Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House. Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap — lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen — Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Al Qur’an yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi. Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi Nasrani itu mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh. ”Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris saat itu. Seperti layaknya meneruskan perang Salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai — figur yang dihormati di masa penjajahan. Ia memang banyak belajar dari kekalahan kumpeni pada Sunda Kelapa yang saat itu ditaklukan R Fatahillah. Sesudah Sunda Kelapa kembali berusaha direbut VOC Kumpeni, tetapi itupun sangat tidak mudah bahkan terus menerus mendapat perlawanan rakyat yang dikomandoi oleh kyai dari Jawa, para ulama dan Jawara, pendekar Banten yang bahu membahu mempertahankan Sunda Kelapa atau Batavia dari pendudukan penjajahan asing. Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini — sekalipun oleh para ulama Betawi tidak diindahkan — lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan. Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi, ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.” Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, Prof Dr Abdul Karim Amrulah (HAMKA) yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam. Menurut HAMKA, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air — meskipun keduanya dimasukkan ke dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu. Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi, kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak menghasilkan ulama terkemuka. Seiring dengan arus urbanisasi itu, mereka datang ke Sunda Kelapa pada waktu itu. Ini bisa dilacak dengan kedatangan para Habaib di bumi Betawi di makam-makam keramat yang ada di Luar Batang, Kramat Bandan, Koja, Kwitang, Al Hawi, Kalibata dll yang menandakan bahwa kaum Habaib tidak membentuk komunitas sendiri menjadi kaum Arab, namun bersimbiosis dengan ulama lokal Betawi dalam bahu membahu pergerakan dakwah Islam dari masa lalu hinggi kini. Pergerakan jalur maritim lewat pantai utara Jawa yakni Pelabuhan barang Tanjung Priok dan Pasar Ikan Muara Angke. Yang awalnya komunitas penduduk itu berada di belahan utara Jakarta sedikit demi sedikit bergeser ke arah Selatan atau Kota mulai dari Pekojan, Tanah Abang, Senin, hingga akhirnya kawasan kampung Arab tidak bisa menjadi d******i penduduk karena Jakarta sudah bercampur baur. Ada mungkin orang akan mencari jejaknya lewat kumpulan makam Habaib Arab yang ada di Kramat Luar Batang, kampung Bandan, Al Hawi Cililitan, Kalibata, hingga Bekasi, Depok, Bogor bahkan Banten. Keberadaan makam para Habaib ini tetap lestari karena ziarah makam, peringatan Maulid dan Haul (memperingati hari meninggalnya orang), upacara menikah, tasmiyah (aqiqah, pemotongan rambut pada bayi) sampai upacara saat meninggal menjadi tradisi dan adat kalangan Habaib. Berdampingan Kaum Habaib sangat terbuka dan berjalan seiring berdampingan dengan ulama setempat, karena ajaran Islam yang dibawa sama, bahkan ulama lokal banyak berguru dengan Habaib dan Habaib juga banyak berguru dengan ulama Betawi yang berbobot. Sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup menonjol masa itu, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil didokumentasikan. Beberapa yang berhasil diketahui berkiprah dalam melaksanakan ibadah haji saat ini — dengan pesawat udara — hanya perlu waktu 10 jam. Tidak demikian ketika perjalanan masih menggunakan kapal layar. Perlu waktu berbulan-bulan, mungkin lebih setahun, dengan berbagai resiko selama pelayaran. Dalam suasana demikian, sejak abad ke-18 orang Betawi banyak yang pergi ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Karena perjalanan yang begitu sulit, setelah menunaikan rukun Islam ke-5, banyak yang tidak kembali ke tanah air dan bermukim di Mekah al Maukaramlah. Mereka yang bermukim di sana menggunakan Al Batawi sebagai nama keluarga. Menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Misalnya, Syech Abdul Somad al Falimbani dari Palembang, Syech Arsyad Al Banjari dari Banjarmasin, Syech Basuni Imran al Sambasi dari Sambas dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten. Masih dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syech Junaid, seorang ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama al-Betawi. Ia amat termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram. Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama Mahzab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan Jakarta Barat, ini. Enam ulama Betawi mulai Guru Marzuki, Guru Mughni, Guru Mansyur, Guru Madjid, Guru Mahmud dan Guru Khalid juga dikemudian hari yang hadir sebagai simpul pengikat mata rantai emas keilmuan (sanad ‘ilm) dari hampir setiap ulama di kemudian hari. Keenam guru utama ini adalah murid terkemuka Syekh Junaid Al Betawi. Selama itu di Betawi bukan sepi oleh perlawanan rakyat. Justru bersamaan dengan berakhirnya Perang Diponegoro, saat itu di Betawi muncul awal letupan-letupan sosial sebagaimana Kisah Si Pitung, Jampang dan Entong Gendut dan nun jauh di bagian barat Betawi yakni bagian paling Barat Pulau Jawa, Kab Cilegon (sekarang Provinsi Banten-red), muncul pemberontakan lokal petani desa oleh Haji Wasid, H. Abdul Karim, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Ulama-ulama lokal yang pergi haji, kemudian banyak belajar dengan Syaikh Junaid di Mekkah. Syech Junaid mempunyai dua orang putera dan dua orang puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya yang menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syech Junaid yakni As’ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia 100 tahun. Kawasan Pekojan dikenal melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim Roji’un, dan Kyai Syamun. Termasuk Habib Ustman bin Yahya dan Guru Mansyur dari Kampung Jembatan Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru kepada penduduk, ”Betawi, rempug.” Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Al Habsji (1870-1966), ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman yang melukis gambar Pangeran Diponegoro bertempur dengan seekor macan sambil memegang pistol sambil terjatuh.. Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti KH R Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, KH Fathullah Harun dan KH Sjafi’i Al-Hazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad. Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan — sebagai bagian dari jihad fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Al Hamidi (Matraman). Ada ratusan buku karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu. Di antara murid Syekh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah Syech Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syech Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syech Junaid. Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Mujtaba tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujtaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi al Bantani dan Syech Ahmad Khatib al Minangkabawi. Sedangkan putera almarhum guru Marzuki Cipinang Muara Jakarta Timur, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya. Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah Syafi’ie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tohiriah) itu kini berkembang pesat sekali. Keduanya memiliki sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi. KH Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinya menangani 63 lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan masjid yang megah. Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Al-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi’ie — perguruannya menghasilkan ribuan orang — di antara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia. KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu. Kalau KH Abdullah Sjafii pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi. Maka, rekan seangkatannya, KH Tohir Rohili selama dua periode pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Seperti juga KH Abdullah Syafiie, ia mulai berdakwah keliling Jakarta dengan bersepeda. Tiap Ahad pagi, di majelisnya yang juga merupakan kediamannya, diadakan pengajian, yang jamaahnya cukup banyak. Ulama Betawi, angkatan KH Abdullah Syafii dan KH Tohir Rohili, yakni Mualim Rojiun, KH Nur Ali, Bekasi, sangat ditakuti oleh Belanda karena keberaniannya di front terdepan Bekasi — Karawang — Purwakarta, KH Fathullah Harun, KH Zayadi dari Klender, Mualim Tabrani, Paseban, dan sejumlah kyai lainnya. Ulama Betawi sesudah angkatan ini adalah KH Syafi’i Hazami, mantan ketua MUI Jakarta Raya, yang memiliki belasan perguruan Islam di Ibukota. Kemudian KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki tiga buah pesantren yang kesemuanya bernama Al-Awwabin, di Tebet, Depok I, dan Tugu (Sawangan Depok). Tiga pesantrennya itu memiliki ribuan santri sejak tingkat TK sampai SLTA. Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren — sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok — KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran. Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH. Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar. Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Al Habsyi, putera Habib Muhammad Al Habsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid perempuan ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya. Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Al Hazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya. Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Al Hamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Al Hamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi juga di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara. Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Pada masa itu di Betawi sejaman dengan Singa Podium Jakarta Habib n****+ bin Salim bin Ahmad Jindan alm, Habib Syekh Ali Jufri alm (Condet), KH Syukron Makmun, KH Hasyim Adnan (Kayu Manis) dll. Perjuangan Habib Alawi kemudian diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo forum alim ulama Betawi yang pada waktu itu dikomandani KH Saifuddin Amsir ke DPR menolak SDSB. Keluarga Jamalullail termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluarga Jamalulail. Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi juru dakwah yang handal. Mereka telah mempelopori berdirinya surau-surau di Jakarta — yang kini menjadi masjid — seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717. Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujtaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Ustman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya. Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri atau Hari Idul Adha. Tahun 80 sampai akhir tahun 2000 an gaya berdakwah ulama Betawi tetap berbobot dan bersahaja. Di balik riuh denyut ibukota, kehadiran gaya orasi KH Zainudin MZ (alm) adalah cukup fenomenal sebagai awal kebangkitan dakwah di akhir abad 19 karena banyak menyedot perhatian dan simpati puluhan ribu pengunjung dan dakwah Islam menjadi menarik bisa masuk ke acara televisi, media telivisi dan elektronik. Kemunculannya lewat polesan KH Dr. Idham Khalid alm semasa menjadi ketua NU dan sekaligus Ketua PPP pada waktu itu, di kemudian hari menjadikan gaya berdakwah KH Zainuddin MZ dan H. Rhoma Irama (Bang Haji) pada Pemilu 1977 menjadi rujukan banyak ustadz dan kyai yang masuk ke dalam dunia televisi dan media. Mulailah bermunculan dai-dai bintang ibukota yang lahir dari sentuhan dingin dari Habaib dan ulama Betawi. Dengan demikian, selain arus gelombang urbanisasi pada kurun tahun 70-90 an dan simbiose mutulalisme masyarakat setempat pada akhirnya banyak juga melahirkan ulama-ulama yang sebelumnya belajar pada ulama-ulama lokal bahkan internasional kemudian masuk ke ibu kota berbaur dengan tradisi masyarakat setempat, seperti Buya Hamka alm (Univ Hamka), KH Sukron Makmun (Ittiihadul Mubalighin, Ponpes Darul Rohman, Kebayoran Baru), KH Abdurrahman Wahid alm (PBNU Ciganjur), Prof. Dr. Nur Kholismadjid alm (Paramadina), KH Iskandar Noer As-Shidiqy (Assyidiqiyah Jakarta Barat) dll dan belakangan seabrek ustadz-ustadz muda muncul ke panggung dakwah seperti Ustadz Jefry Bukhori (alm), KH Arifin Ilham (Ad Zikra Depok), Ustadz Solmed, Ustadz Guntur, Ustadz Cecep, Ustadz Maulana, Mamak Dedeh dan yang jelas bukan ustadz dadakan dan ustadz karbitan dll. Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak melulu berada di atas panggung podium (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun para ulama dan Habaib juga berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan. Ada banyak ulama Betawi yang cukup banyak dikenal produktif menulis kitab bukan sekedar penerjemah seperti Dr Nahrowi Al Indunisie alm (Mampang), Syekh Muhadjirin Amsar Ad-Dari alm (Bekasi Utara), Guru Mansyur, Syaikh Junaid Al Betawi, KH Syafi’i Hadzami, dll. Tentu berbeda dengan gaya ustadz baru pada jaman sekarang yang mudah tergiur oleh perang tarif dan rating di media, sehingga mudah pasang harga. Sudah barang tentu pergerakan ustadz jaman sekarang, akan mudah terkikis oleh para ustadz dan Habaib kampung Betawi yang ikhlas berdakwah dan mereka cukup berbobot secara keilmuan dan mereka kuat menjaga tradisi dalam menjalankan ajaran agama. Ulama dan Habaib lokal Betawi juga dikenal sangat keras dan kuat serta energik dalam mengembangkan syiar Islam di berbagai majlis taklim dan pesantren yang begitu banyak tersebar seantero Ibu Kota Jakarta, karena sangat jelas mereka sangat mengerti ilmu agama (‘alim) dan bisa dijadikan petunjuk (mua‘alim). Untuk mendapatkan mereka sangat mudah, cukup hadir dengan melakukan rihlah dan silaturahmi di banyak acara pengajian, peringatan Maulid atau Haul ulama serta Habaib yang ada di Jakarta. Ulama dan Habaib di Jakarta dapat dikatakan berdampingan dalam berdakwah. Lahan dan garapan umat yang mendiami kota Jakarta yang sangat luas serta ber ragam, namun masih dalam satu nafas gerakan Islam, satu Thariqah (jalan) yakni Thariqah Islam Ahlus Sunnah wal Jamma’ah. Pluralitas dan keberagaman aliran serta madzhab dalam Islam yang bersebar di berbagai lembaga agama, organisasi masa bahkan partai politik bila dikelola dengan baik tentu saja dalam pengembangan dan penyebaran ajaran Islam yang penuh Rahmatan Lil ‘Alamin ini dengan cara-cara tawassut, i’tidal, toleran dan mauizah’idzotil khasanah akan melahirkan kekayaan khazanah keilmuan (dapat menjadi al ikhtilafu ummah ila rahmah) dan budaya Islam yang menjadi modal sosial dalam membangun negeri. Jadi gerakan modernisasi dan yang puritan tradisional dalam Islam sebenarnya bisa berjalan seiring dan seirama dalam menyongsong masa depan yang lebih baik. Yang mencirikan pergerakan Habaib adalah pada masa kini, kalangan ini biasa di sebut kaum Alawiyin, karena bernasab dengan jalur keturunan Rasulullah SAW dan berbagai pesantren serta majlis taklim yang ada di Ibu kota ini tidak menjadi ekslusif, namun semakin terbuka menerima murid atau jamaah anak muda, sehingga tidak heran Majlis Taklim yang awalnya hanya terkenal di Majlis Taklim Minggu Pagi Habib Ali Kwitang Kawasan Pasar Senin, Jakarta Pusat, kini banyak bermunculan semacam Majlis Taklim Habib Munzir (alm) yang terkenal dengan Majlis Rasulullah SAW, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Mustofa Alaydrus Tebet, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Hasan bi Jakfar Assegaf dan ribuan majlis Taklim dan pesantren yang tersebar di seantero Betawi saat ini. Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan menebar hawa sejuk keshalihan , seluruh penjuru kota Betawi hingga sekarang. Tatkala keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bumbungan asap polusi maksiat kota metropolitan, Jakarta bisa dibilang hampir tidak pernah sepi melahirkan tokoh –tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syiar Islam Nusantara. (***)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD