Chapter 5

1089 Words
Kediaman Hamilton, Pukul 08.00 pagi. Jakarta Timur. Franklin menatap dirinya didepan cermin walk in closet miliknya yang bernuansa putih abu-abu. Dalam diamnya, Franklin memastikan kalau penampilannya sudah rapi dan baik. Kemeja yang di kenakan kali ini adalah berwarna abu-abu muda dengan celana jeans berwarna hitam. Hampir semua koleksi pakaian didalam lemarinya berwarna abu-abu muda dan hitam. Bagi Franklin, ntah kenapa sejak dulu kedua warna tersebut adalah warna netral yang masih ia kenakan hingga sekarang. Hari ini adalah hari Minggu. Satu hari yang akan ia gunakan sebaik mungkin untuk kesuatu tempat. Sebuah tempat dimana ia akan memulai hubungan serius dan menata masa depan. Sekali lagi, Franklin memperhatikan dirinya kemudian segera meraih parfum untuk menyemprotkan kearah tubuhnya. Bagi Franklin, penampilan yang rapi dan tidak berlebihan adalah sesuatu yang lebih dari cukup untuk dilakukan. Wajahnya sudah tampan, pakaian kemeja dan celana jeans merek apapun akan cocok bila melekat di tubuhnya. Pintu walk in closet terbuka. Franklin melirik melalui pantulan cermin yang ada didepan matanya. Disanalah Aifa berdiri sambil menggendong si kembar dikanan dan kirinya. "Bisa minta tolong?" Franklin menoleh kebelakang. "Maaf aku sedang sibuk, Kak." "Memangnya kamu mau kemana?" "Aku.." seketika Franklin terdiam. Tidak mungkin ia berkata hal yang sebenarnya saat ini. "Mau ketemuan sama wanita ya?" "Ha?" Franklin memasukan salah satu tangannya kedalam saku jeansnya. Dengan santai ia berjalan kearah Aifa kemudian langsung mengambil alih si kembar Rafa dan Rafi. Lebih baik ia langsung bergerak membantu Kakaknya daripada urusan pribadinya di usik. Aifa tersenyum senang. "Ya Allah adek Franklin, Aifa seneng deh! Tanpa di minta, tanpa bertanya, sudah peka duluan." "Kakak sering begini sehingga membuatku hapal." "Kalau begitu Aifa pergi sebentar ke minimarket ya. Mumpung masih pagi. Kalau sudah siang, barang diskonan bisa habis." "Iya." "Pampersnya ada di kamar. Stok ASI ada di freezer. Oke?" "Iya." "Ah sebentar." Aifa mengerutkan dahinya. "Dompetmu yang hilang kemarin sudah ketemu?" "Belum." "Tapi pin ATM sudah di blokir sama pihak Bank kan?" "Sudah." "Surat-surat penting lainnya bagaimana? KTP, SIM?" "Lagi di urus." "Foto wanita di dompet? Foto mantan? Foto calon istri?" "Tidak ada." "Kok begitu?" "Aku lebih suka simpan foto gandeng daripada foto-foto yang Kakak sebutkan tadi." Aifa terdiam. Dalam hati ia membantin. Ah, betul juga ya? Aifa tidak banyak berbicara lagi. Dengan semangat ia pun membalikkan badannya dan berlalu menuju keluar walk in closet. Franklin menghela napas panjang. Aifa selalu saja begitu, setiap hari Minggu Kakaknya itu rutin ke minimarket hanya untuk membeli keperluan rumah tangga berkualitas yang di diskon besar-besaran. Padahal Aifa bisa saja menyuruh asisten rumah tangganya. Tapi ntah kenapa semenjak menikah, Kakaknya itu lebih suka hidup mandiri layaknya seorang ibu rumah tangga pada umumnya. Franklin menoleh kearah Rafa yang ada di samping kanannya sementara Rafi ada di sebelah kirinya. Dalam hati ia merasa miris. Padahal ia sudah berpenampilan sebaik mungkin untuk bersiap-siap memulai tujuannya namun apa daya bila saat ini ia menjadi babysitter dadakan untuk dua keponakannya. Komplek perumahan Citra Indah. Pukul 11.00 siang. Franklin menatap sebuah rumah mewah yang berdiri megah didepan matanya. Ia menatap layar ponselnya dan memastikan kalau lokasi GPS yang ia atur kali ini benar. Franklin segera keluar dari mobil setelah memarkirkannya dengan rapi. Baru keluar dari mobilnya saja langkahnya terasa berat. Suhu tubuhnya tiba-tiba menjadi panas dingin. Itu semua terjadi bukan karena ia sakit, melainkan karena dirinyap gugup setengah mati. Bayangkan saja, ini pertama kalinya ia menginjak sebuah rumah dengan tujuan urusan pribadi dan masa depan. Seorang penjaga rumah mewah tersebut dengan ramah menyambut kedatangannya setelah Franklin sempat berbasa basi sejenak. Seorang penjaga rumah mewah besar yang bekerja pada orang tua Ava Fadila selama ini. Franklin menekan bel pintu rumah. Tangannya terasa berkeringat dingin. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih beberapa detik, pintu terbuka lebar. Seorang pria paruh baya berdiri di hadapan Franklin dengan raut wajah tegas. Dalam hati Franklin merasa tubuhnya gemetar sekaligus grogi. Rasa gugupnya mengalahkan rasa takutnya ketika dimasalalu berhadapan dengan guru killer atau Dosen pembimbing jurusan administrasi bisnis di universitas kota Jakarta. "Cari siapa?" "Em, bisa bertemu dengan Ayahanda Ava?" "Kebetulan saya orangnya. Ada perlu apa?" DEG. Jantung Franklin rasanya mau copot. Mungkin ini terdengar seperti berlebihan. Tapi ia sendiri merasa moment ini adalah sesuatu yang terjadi pertama kali dalam hidupnya. "Siapa Ayah?" Suara Ava terdengar dari dalam. Seketika Ava terdiam begitu ia melihat Franklin berdiri didepan pintu. Ia tidak menyangka pria itu datang kerumahnya tanpa mengabari sebelumnya. "Ayah tidak tahu. Apakah kamu mengenalnya?" Ava mengangguk. "Iya Ayah." "Teman kamu?" Ava mengangguk lagi. Wajahnya bersemu merah. Franklin terkesima menatap Ava yang cantik. Lalu Ayah Ava pun menatap Franklin. "Ayo silahkan masuk." Franklin pun memasuki rumah tersebut dan duduk di sofa bertepatan saat Ibu Ava menghampiri mereka dan menyambut kedatangan Franklin dengan baik. Tak hanya itu, beberapa cemilan makanan dan minuman terhidang dimeja sofa ruang tamu seolah-olah kedatangan Franklin benar-benar di sambut secara antusias. Ava semakin deg-degan. Dalam hati ia mulai berpikir banyak hal. Salah satunya, ada apa Franklin tiba-tiba datang dan berbicara pada Ayahnya? Ntah kenapa dalam hati ia berharap kalau Franklin akan melamarnya hari ini juga. "Ava?" "Iya Ayah?" "Masuk kedalam kamar." Ava mengangguk dan segera berlalu. Sementara Franklin meneguk ludahnya dengan gugup. Raut wajahnya pucat. Kedua tangannya sudah berkeringat dingin. Sikapnya yang pendiam dan tidak pandai berbicara banyak kata membuatnya seperti mati kutu. "Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Ibu Ava dengan heran pada Franklin. "Em, I-iya, saya baik-baik saja, Bu." "Ada apa Nak? Apakah ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?" sela Ayah Ava. Franklin tergagap. "Saya.. saya.." "Ya?" "Saya ingin.. em.. saya.." Dalam hati Franklin bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba ia merasa seperti orang bodoh? "Tujuan kamu kemari untuk apa, Nak Franklin?" tanya Ayah Ava sambil bersedekap. "Saya.." "Ya?" "Saya, saya ingin.. saya.." Franklin merasa was-was. Sementara Ayah Ava menatap Franklin dengan serius dan tegas. "Jika saat ini kamu sedang tidak baik-baik saja, lebih baik kamu pulang dulu Nak." Ayah Ava pun berdiri sambil memperhatikan jam di pergelangan tangannya karena ia sendiri saat ini sedang sibuk. "Sebentar Pak." cegah Franklin. "Ya?" "Tujuan saya kemari adalah..." "Apa?" "Saya.. em, saya ingin.." "Nak, tolong bicara yang jelas ya. Saya ini sibuk. Jadi-" "Saya ingin mengembalikan bros putri Bapak yang tertinggal kemarin di perusahaan saya." ucap Franklin akhirnya dengan cepat tanpa titik dan koma. Namun detik berikutnya, ia menyesali ucapannya dan merutuki kebodohannya hingga membuat Orang tua Ava melongo bingung. Haiii, maafkan Author di saat part lucu begini Update nya malam banget, karena jujur, sebenarnya tadi sempat ketiduran lagi sambil ngetik pegang hape . Tetap stay walaupun masih chapter 5 ya, kita lihat bagaimana nantinya seorang Franklin akan menemukan cinta sejatinya dibalik orangnya yang begitu kaku Sehat selalu buat kalian. With Love LiaRezaVahlefi Instagram lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD